“I'll be your boyfriend. Pretend-real
boyfriend.”
Ya namanya juga hidup, terkadang ia akan menempatkan kita pada situasi di mana harus bertemu dengan berbagai opsi jalan untuk kemudian menentukan jalan hidup mana yang akan kita pilih. Bukan berarti berbagai macam jalan tersebut sesuatu yang salah karena tentu akan muncul rintangan dan tantangan dari sana, namun hal tersebut yang membantu manusia semakin mudah untuk belajar dan memantapkan pilihan hidup kita. Terdengar berat, huh? Secara teori begitu namun tidak dengan cara penyampaian yang digunakan film ini untuk bercerita terkait isu menarik tadi. ‘Dating Amber’ : loving can hurt sometimes, but it is the only thing makes us feel alive.
Eddie (Fionn O'Shea) merupakan anak tertua di keluarganya, ia selalu diproyeksikan oleh sang Ayah untuk mengikuti jejaknya sebagai anggota militer meskipun kedua orangtuanya itu sadar bahwa Eddie tidak hanya tampak “lemah” dari segi fisik saja tapi juga dari karakter yang ia punya. Proporsi badannya yang kurus bukan menjadi satu-satunya alasan Eddie merasa berat dan ragu untuk bergabung dengan pelatihan militer namun karena ia juga sedang mengalami krisis di dalam pikirannya, yakni siapa yang sebenarnya ia sukai, pria atau wanita?
Ya, Eddie adalah seorang gay dan hal tersebut ia tutupi dengan rapi di lingkungan sekolahnya. Tidak seperti Amber (Lola Petticrew), rekan sekelas Eddie yang tidak ambil pusing dengan penilaian teman-temannya bahwa ia seorang lesbian. Amber sendiri tidak pernah menyangkal apalagi membantah penilaian tersebut hingga suatu ketika hadir ide di dalam pikirannya. Bagaimana jika dirinya yang disebut lesbian itu menjalin hubungan asmara dengan Eddie yang dilabeli sebagai gay karena hingga kini tidak memiliki seorang pacar?
Mengusung isu yang sensitif seperti ini tentu saja telah disadari oleh Sutradara dan Screenwriter David Freyne, dan ia tampaknya mencoba mengakali hal tersebut lewat cara menggabungkan dua karakter utama yang meskipun berlawanan jenis itu tapi memiliki penghalang yang menyulitkan mereka untuk bersatu. Jalan yang digunakan terasa menarik yakni menempatkan Eddie dan Amber di dalam misi untuk menipu seluruh orang di sekitar mereka dengan berpura-pura menjadi sepasang kekasih, hanya karena mereka lelah dan jengah terus dihujat akibat “perbedaan” prinsip yang mereka pilih. Itu alasan yang sudah lebih dari cukup untuk membuat dua karakter utama kita ini masuk ke dalam petualangan di mana mereka belajar tentang hidup.
Ya, belajar tentang hidup tapi di sini penyajiannya tanpa kesan berat yang dipenuhi dengan berbagai konflik yang diperas kuat. Yang coba ditampilkan oleh David Freyne lebih ke arah menggunakan situasi yang dialami oleh dua karakter utama tersebut sebagai sebuah alarm yang mengingatkan penonton pada pentingnya menentukan jalan hidup sesuai dengan keinginan kamu sendiri. Eddie dan Amber adalah bagian dari kelompok minoritas yang hingga kini masih terus berjuang, pilihan yang mereka ambil tentu saja masih terus dan akan menjadi perdebatan bagi banyak orang hingga berbuah pada pertentangan. “Perbedaan” yang satu ini memang masih sulit untuk dapat diterima oleh banyak orang dan David Freyne sadar akan hal itu.
Itu mengapa sedari awal kemunculan mereka di layar, Eddie dan Amber tidak pernah ditempatkan pada posisi orang yang sedang sakit dan mencoba sembuh, justru yang hadir adalah sebuah proses di mana mereka mencoba menikmati kebebasan buah dari hubungan palsu mereka tadi. Di sela-sela proses tersebut David Freyne dorong agar isu perbedaan identitas seksual tersebut untuk perlahan muncul ke permukaan, namun di sisi lain tetap dengan menempatkan Eddie dan Amber sebagai dua sosok yang sedang belajar dan mencoba menemukan jawaban. Alhasil narasi seperti tidak menanggung beban yang terasa berat dan mengganggu saat berjalan, terasa leluasa dalam mengeksplorasi Eddie dan Amber sebagai sosok manusia yang “ingin hidup.”
Berbicara tentang “ingin hidup” ada hal menarik lain yang digunakan David Freyne lewat isu tentang menjadi anggota militer yang harus dipilih oleh Eddie. Orangtua Eddie tampak memiliki ambisi untuk menjadi anak sulung mereka tersebut sebagai anggota militer namun di sisi lain mereka juga seperti tidak mau memaksa kehendak mereka tersebut secara berlebihan, justru mempersilahkan Eddie untuk memilih apa yang ingin ia pilih dan jalani di dalam hidupnya. Saya suka dengan cara David Freyne menggunakan peran orangtua dari masing-masing karakter, sikap yang ditunjukkan oleh mereka mewakili apa yang diharapkan dapat terjadi pada perbedaan yang sulit tadi, bagaimana setiap manusia memiliki hak memilih jalan hidup mereka sendiri.
Kisah Eddie dan Amber berhasil bekerja dengan baik karena sedari awal Freyne tidak memberi kesempatan munculnya ruang bagi penonton untuk menjadi judgmental. Penonton bertemu distraksi dari David Freyne dengan menggunakan petualangan Eddie dan Amber dalam mencoba menjalani hubungan palsu mereka semaksimal mungkin, berpetualang bersama di mana mereka juga bertemu dengan berbagai hal yang memaksa mereka mempertanyakan kembali identitas seksual mereka. Tanpa kesan eksploitatif namun justru disajikan efektif dalam membantu terbentuknya emosi dari isi pikiran dan hati karakter yang mulai berkecamuk, dilengkapi dengan humor yang oke serta pesona eksentrik dan unik yang konsisten hingga akhir.
Mungkin sedikit kekurangan terletak pada hasil akhir yang tampak seperti mencoba bermain aman, membuat petualangan itu sebuah tahapan menuju pintu masuk di mana Eddie dan Amber dapat hidup sesuai dengan “keinginan” mereka. Memang membuat punch akhir terasa kurang kuat tapi at least tidak merusak proses yang hadir sejak awal karena tidak mencoba menyajikan dramatisasi yang berlebihan. Sama seperti kinerja akting dari para aktor terutama dua pemeran utama kita. Fionn O'Shea tampil baik sebagai Eddie, kualitas sama seperti ketika berperan sebagai Ned di film ‘Handsome Devil’, sedangkan Lola Petticrew menjalankan tugasnya dengan baik membentuk Amber sebagai nafas dan energi bagi cerita, wanita “keras” namun memiliki hati yang lembut.
Overall, ‘Dating Amber’
adalah film yang memuaskan. Saya terkejut dengan kualitas yang saya dapat dari
film ini karena meskipun tidak mendorong semua elemennya agar menampilkan emosi
yang membara namun David Freyne berhasil menyajikan berbagai punch kecil yang menarik terkait salah
satu proses menjadi manusia, yakni memilih jalan hidup yang kamu inginkan. Yang
ia kemas dengan cara yang fun dan
ringan, proses “jatuhnya” para remaja sebagai bagian dari pembelajaran pada
proses beranjak dewasa yang sedang mereka jalani, tentu ditemani humor dan emosi yang oke. Menarik.
0 komentar :
Post a Comment