Bagaimana
jika seorang pria muda yang percaya bahwa dirinya seorang psikopat kemudian
bertemu dengan seorang wanita muda berjiwa pemberontak yang memiliki bibit
seorang psikopat, lalu mereka kini dikejar oleh seorang wanita yang ingin
membalaskan dendam yang bersumber dari tragedi seorang psikopat yang hidupnya
dihancurkan oleh pria dan wanita muda tadi? Perang psikopat? Di season
pertamanya ‘The End of the F***ing World’
memberikan petualangan gila dan unik yang menyenangkan, dua hal yang kembali dieksploitasi di season kedua ini.
Petualangan
mereka pada akhirnya berada di dalam sergapan pihak kepolisian dan kini James (Alex Lawther) dan Alyssa (Jessica Barden) telah menjalani
kehidupan baru mereka. Masing-masing. Akibat insiden di tepi pantai itu James
menerima peluru yang bersarang di tubuhnya, ia harus menjalani perawatan di mana
ia mengalami kesulitan berjalan. Tidak hanya itu, sebuah tragedi menimpa ayah
James sehingga membuat pria muda yang merasa dirinya seorang psikopat
memutuskan untuk tinggal di dalam mobilnya.
Sementara
Alyssa punya kehidupan yang sedikit lebih menarik. Berada di bawah pengawasan
sang Ibu, Gwen (Christine Bottomley),
kehidupan Alyssa tampak normal, dia bahkan menaruh rasa tertarik pada pria
bernama Todd (Josh Dylan) dan mereka
berencana akan menikah. Yang menjadi masalah adalah tanpa James dan Alyssa
sadari aksi keji mereka terhadap Clive Koch
(Jonathan Aris) dahulu ternyata menjadi sumber masalah baru yang membuat
kehidupan mereka masih belum bisa jauh dari masalah, berasal dari wanita
bernama Bonnie (Naomi Ackie) yang
berniat membalaskan dendam.
Tahun 2017 yang lalu kisah tentang dua remaja beranjak dewasa yang mencoba keluar” dari
kehidupan mereka untuk kemudian sejenak bersenang-senang itu sebenarnya sudah
diakhiri dengan sebuah cliffhanger yang
bagus, namun di sisi lain memang masih terbuka pintu yang sangat lebar untuk
hadirnya kelanjutan kisah James dan Alysssa. Apa yang terjadi setelah insiden
di tepi pantai itu? Bagaimana kondisi sepasang kekasih yang sama-sama memiliki
semacam gangguan mental menjurus ke arah psikopat itu? Pertanyaan-pertanyaan
tadi berhasil dijawab dengan baik di bagian pembuka season kedua ini, Lucy Forbes yang menyutradarai empat
episode pertama berhasil menjabarkan kondisi dari dua karakter utama kita
secara padat dan terasa ringkas. Yang terpenting pesona mereka tidak tertinggal
di season pertama.
Namun
hal yang menarik di bagian awal season kedua ini adalah cerita yang masih
ditulis oleh Charlie Covell itu
justru langsung membawa penonton untuk terlebih dahulu berkenalan dengan
karakter baru. Namanya Bonnie, diperankan dengan sangat baik oleh Naomi Ackie, ia mendapat hampir satu
buah episode untuk memperkenalkan dirinya, kesempatan yang ia gunakan dengan
sangat baik. Karakter Bonnie sendiri tidak jauh berbeda dengan James dan
Alyssa, dia tampak dingin namun pesona dari seorang wanita buas terus terpancar
darinya. Bonnie pada dasarnya juga masuk ke dalam kategori yang sama dengan
James dan juga Alyssa, para manusia muda mereka masih labil dan memiliki sisi
“gila” yang jika dipupuk punya potensi berbahaya.
Pesona
“menakutkan” dari karakter Bonnie tidak lepas dari alasan utama mengapa ia bisa
masuk ke dalam kehidupan James dan Alyssa, yang di season kedua ini sebenarnya
juga ingin berusaha untuk saling mengonfirmasi isi hati mereka masing-masing.
Kemunculan Bonnie ke dalam cerita terasa halus, secara cerdik Charlie Covell menggunakan salah satu
momen paling krusial di season pertama untuk mempertemukan penonton dengan satu
lagi karakter psikopat di dalam cerita. Backstory
yang digunakan terasa kuat dan punya power mengejutkan yang cantik, tidak heran
ketika sepanjang season kedua ini meskipun mereka terus berjalan layaknya
pasangan yang sedang "bulan madu" penonton dibuat cemas terhadap
karakter James dan Alyssa.
‘The End of the F***ing World’
season kedua ini pada dasarnya merupakan kisah tentang bagaimana psikopat
mencoba membunuh psikopat. Ya, sebuah perang (?) antar psikopat? Itu sebuah hack yang sangat bagus sekali dari Charlie Covell, membuat dua karakter
lama berada di dalam proses untuk mengambil keputusan terhadap masa depan
mereka namun di sisi lain muncul ancaman yang punya potensi merusak masa depan
mereka. Presentasinya sendiri dikemas dengan tidak begitu berapi-api
sebenarnya, berjalan perlahan dengan ritme yang terasa teratur diselimuti
dengan atmosfir yang dingin penonton kembali menyaksikan bagaimana James dan
Alyssa seperti selalu dinaungi dewi keberuntungan dengan sukses “lolos” dari
berbagai marabahaya.
Aksi
balas dendam yang dilakukan Bonnie berhasil mengatur irama cerita yang juga
mampu menghadirkan eksplorasi terhadap karakter James dan Alyssa. Dua orang ini
pada dasarnya masih terluka akibat kejadian di season pertama namun sangat
jelas bagaimana Charlie Covell
membuat mereka tampak lebih dewasa secara emosi. Masih dengan jiwa indie di
pusat cerita kini James dan Alyssa berusaha untuk menahan sakit dari luka
ketimbang berteriak meronta kesakitan, cerita juga menghadirkan kondisi di mana
James dan Alyssa secara implisit menganalisa kondisi mereka saat ini akibat
dari kejadian yang telah mereka lalui, dari emosi, konsekuensi hingga trauma.
Dampak
dari setup tersebut adalah Bonnie
pada akhirnya membuat penonton sadar betapa pentingnya fungsi dari kehadirannya
di dalam cerita. Bonnie menjadi antagonis baru di dalam cerita, semi, tidak full frontal namun ia juga yang menjadi
pintu masuk bagi jawaban yang selama ini James dan Alyssa cari. Mereka tidak
lari, mereka tidak sembunyi, mereka justru menunjukkan kedewasaan untuk
menghadapi masalah yang sudah tercipta. Itu adalah petualangan sederhana yang
menyenangkan, ditemani dengan humor yang
mantap membuat kelanjutan cerita ini tidak terasa dipaksakan namun justru
menunjukkan kompleksitas dari para psikopat.
The End of the F***ing World’ season
kedua ini terasa seperti memberi kesempatan kepada James, Alyssa, dan karakter
lain untuk menginvestigasi arti dan esensi dari kehidupan mereka. Sepintas
terkesan berat memang namun Lucy Forbes
dan Destiny Ekaragha sukses
menerjemahkan script dari Charlie Covell menjadi semacam proses
refleksi yang thrilling namun tidak over-exploitation, dibantu dengan
kinerja akting yang memikat terutama dari tiga pemeran utama, cinematography dan soundtrack yang cantik, serta editing
yang terasa padat ‘The End of the F***ing World’ season 2
berhasil menyajikan sebuah penutup yang sukses menyatukan pesona, energi dan sensitivity dari cerita di season
pertama. Very well done.
"Love makes you feel quite clear about what is right and what is wrong." :)
ReplyDelete