Banyak cara yang dapat
digunakan oleh sebuah film untuk meninggalkan impresi menarik bagi penontonnya,
cara termudah tentu saja dengan menciptakan kehebohan penuh ledakan, jika film
tentang kiamat maka libatkan manusia dalam pertarungan dengan alien dan zombie misalnya. ‘Into the
Forest’ mencoba sisi sebaliknya, sebuah kisah tentang “kekacauan” yang
terjadi di sebuah bencana dengan pendekatan yang minimalis, menyaksikan
karakter bertahan hidup and shaping their life, keep you wondering with survival and sisterhood story. Produced by Juno
MacGuff, it feels like ‘Into the Wild’ meets ‘Ex Machina’ without robots
presences.
Nell
(Ellen Page) sedang bersiap menghadapi ujian, Eva (Rachel Evan Wood) sedang berlatih
menari, dan ayah mereka Robert (Callum
Keith Rennie) sedang menonton televisi, keluarga yang tinggal di cabin yang terletak di sebuah hutan
negara Kanada itu tampak normal hingga suatu ketika listrik padam. Tidak hanya
di lingkungan mereka namun di seluruh belahan dunia. Kondisi semakin panas
ketika setelah berhari-hari listrik masih padam mulai beredar kabar bahwa itu
merupakan awal dari sebuah bencana besar di mana dunia berada di ambang kiamat,
menciptakan kehebohan besar yang memaksa Nell dan Eva ikut berjuang untuk
bertahan hidup.
Film yang merupakan
tipe character-driven seperti ini punya
masalah yang sudah cukup sering coba dilakukan oleh filmmaker, sinopsis berisikan kondisi di ambang
kiamat yang memaksa manusia untuk bertahan hidup. Berdasarkan novel karya Jean Hegland di sini Patricia Rozema memilih menggunakan permainan atmosfir ketimbang
memberi kamu berbagai ledakan besar seperti meteor jatuh misalnya, dan akan
langsung mengingatkan kamu pada apa yang pernah coba dilakukan oleh ‘Z for Zachariah’ dengan situasi berbeda
yang dihadapi karakter. Namun apa yang membuat ‘Into the Forest’ tidak berada di kelas yang sama dengan film yang
dibintangi oleh Margot Robbie dan
terasa underwhelming itu adalah ini
punya masalah yang menarik dan tampil dengan pesona yang juga oke. Masalah
utama cerita tentu apa penyebab listrik menjadi padam, menciptakan setting dystopian yang oke lalu masuk ke dalam
sebuah drama tentang sisterhood yang
menarik.
Di awal masalah kiamat
terasa menarik tapi ketika mulai muncul kepanikan daya tarik ‘Into the Forest’ lebih condong pada
hubungan antara Nell dan Eva. Ketimbang membuat penontonnya bertanya 5W dan 1H
bersama karakter, Patricia Rozema lebih
condong menunjukkan usaha bertahan hidup dari dua karakter utamanya, berhadapan
dengan rasa sepi, lapar, hingga penyakit. Perlahan kondisi Nell dan Eva mulai
rapuh, tapi situasi di sekitar mereka yang mungkin saja berisikan ancaman
berbahaya memaksa Nell dan Eva untuk tetap waspada bersama rasa cemas. Itu
bekerja cukup baik untuk membuat penonton seolah berada di dalam cerita karena
ada kontras yang oke dengan kehidupan normal dan damai di bagian awal. Sekilas
kita tahu apa yang terjadi di luar sana misalnya lewat kehadiran Eli (Max Minghella) tapi Patricia Rozema
tetap membuat agar narasi terasa minimalis, dan menariknya hasilnya terasa
manis.
For
me
hal terbaik yang diberikan film ini terletak pada semangat sisterhood yang ditampilkan Nell dan Eva dengan menyaksikan
perubahan pada hubungan mereka. Ini memang kisah survival, dengan kondisi “kelam” yang mereka hadapi kakak beradik
itu harus bertindak hati-hati karena taruhannya pada nyawa mereka, membuat
mereka saling berbagi kasih sayang yang menghasilkan emosi yang cukup oke. Pacing narasi memang terasa segmented dan di beberapa bagian sempat terasa sedikit longgar, tapi tidak ada momen
menjemukan, Patricia Rozema berhasil
menciptakan sebuah drama yang mampu membuat kamu merasa chilling dengan intimitas yang cukup oke. Itu juga berkat kinerja
akting dari Ellen Page (a riveting performance from her) dan Evan Rachel Wood, masing-masing mampu
menarik empati penonton dengan cukup baik terhadap situasi yang mereka hadapi,
mata mereka merupakan mata penonton. Sebagai tim mereka juga kuat, dari tarik
dan ulur hingga kegigihan mereka yang tidak pernah goyah.
Tujuan ‘Into The Forest’ sejak awal adalah
membuat arena berisikan tekanan karena sebuah bencana lalu memasukkan penonton ke
dalam arena tersebut. Patricia Rozema
berhasil melakukan itu dengan baik menggunakan pendekatan minimalis yang
efektif. Tanpa ledakan dan zombies,
hanya sepi dan kegelapan menyaksikan manusia yang “terluka” mencoba untuk
bertahan hidup, menggunakan “horror”
dan rasa ragu untuk menciptakan arena penuh realism di mana karakter tumbuh and shaping their life. Dibantu kinerja
akting yang oke dari dua pemeran utama wanita ‘Into The Forest’ merupakan eksekusi yang segar terhadap genre yang
familiar ini, meskipun sempat terasa sedikit longgar di beberapa bagian tapi
tetap mampu menjadi kisah tentang apocalypse
yang thoughtful, devastating, and moving
tanpa terlalu terkesan meditatif ketika menggambarkan sisi kejam dari dunia
yang liar ini. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment