"We really making books better, or just making them different."
Sebagai seorang penulis
pemula di blog ini (and not superbly good
on “playing” with bahasa) saya merasakan banyak manfaat ketika tulisan saya
(yang saya inginkan) menjalani proses editing terlebih dahulu sebelum
dipublikasikan. Awalnya memang terasa kurang rela ketika tulisan saya di “modifikasi”
sedemikian rupa meskipun skalanya sangat kecil, namun ternyata dampaknya sangat
besar, tulisan saya menjadi lebih padat dengan ide dan point yang ingin disampaikan tetap eksis pula. Hubungan antara
penulis dan editor itu yang coba diceritakan oleh film ini lengkap dengan
berbagai gesekan di dalamnya, Genius, a
good enough biographical drama even though did not live up its title.
Tahun 1929, Maxwell Perkins (Colin Firth), editor
yang telah mempublikasikan karya dari penulis besar Amerika seperti Ernest Hemingway (Dominic West) dan F. Scott Fitzgerald (Guy Pearce),
diminta oleh rekannya untuk membaca naskah dari penulis bernama Thomas Wolfe (Jude Law). Perkins memberi
lampu hijau pada Wolfe namun dengan syarat novel tersebut harus direvisi dari 1000
halaman menjadi ukuran yang lebih “reasonable”
bagi pasar. Novel yang kemudian berjudul ‘Look
Homeward, Angel’ meraih kesuksesan, namun ketika Perkins mencoba menyusun
kembali materi dari naskah kedua Wolfe yang kini berjumlah 5000 halaman
temannya mengatakan bahwa hubungannya secara professional dan personal dengan
Wolfe sebaiknya dihentikan.
Dengan naskah yang
ditulis ulang dari ‘Max Perkins: Editor
Of Genius’ oleh John Logan
(Gladiator, The Aviator, Hugo) di bawah arahan Michael Grandage 'Genius'
tampil seperti sebuah pertunjukkan dengan rasa teatrikal di layar lebar.
Ceritanya menarik, beberapa ide seperti tentang hak dan metafora dalam bentuk
“perjuangan” disajikan dengan baik sehingga penonton yang tidak mengenal materi
merasa tertarik untuk mengikuti masalah di dalam cerita. Rasa teater di Genius
cukup kental, ia terus terasa menarik berkat cara Michael Grandage mementaskan hubungan antara dua karakter utama
yang terasa kontras. Saya suka di balik sinopsis
dan konflik yang sederhana Genius
mampu menampilkan hal-hal yang lebih dari sebuah proses sederhana, ada
permainan kata dan frasa di mana karakter juga menampilkan pendapat dan
perasaan masing-masing untuk menujukkan kecintaan mereka pada sastra.
‘Genius’
banyak diuntungkan dari interaksi antara dua karakter utamanya untuk
mempertahankan daya tarik cerita. Penulis dengan gairah yang besar dan
terkadang liar, editor yang teliti dan terkendali dan mencoba membuat karya
yang on point, dari situ didirikan
rangkaian interaksi yang manis, dari perbedaan pendapat hingga negosiasi
terkait karya yang hendak mereka selesaikan. Perang konflik dan kata-kata
antara Perkins dan Wolfe menghasilkan percakapan yang menarik di proses
modifikasi itu, tarik ulur menemukan konsesi untuk menghasilkan karya yang lebih
padat namun tetap memiliki “misi” serta keunikan dari penulis. Terdapat cerita
dengan tik-tok yang oke di 'Genius'
meskipun sejak awal dramatisasi menang terkesan di sengaja, dan meskipun cerita terkadang
terasa statis hubungan yang sulit antara Perkins dan Wolfe membuat cerita tidak
pernah jatuh menjadi membosankan.
Tapi walaupun menarik Genius ini ibarat api yang dijaga agar
memiliki suhu yang normal dan stabil hingga akhir. Memiliki editor dan penulis dalam satu frame untuk menggambarkan seni menulis
seharusnya dalam pertarungan intelektual itu ada “percikan” api yang lebih
mencolok di dalamnya. Dramatisasi memang ada tapi mereka kurang kuat, itu
mengapa narasi terkadang terasa statis karena ia seperti mencoba bermain aman
saja. Dan 'Genius' terasa “diperas”
di bagian akhir, seperti sadar durasi
semakin tipis ia mencoba ingin menciptakan impact dari sisi emosi yang lebih
besar namun sayangnya eksekusinya terasa kurang oke. Minus lain dari ‘Genius’
ada di pemeran pendukung yang ia punya. Karakter wanita di sini, Wolfe Aline Bernstein (Nicole Kidman)
dan istri Perkins yang bernama Louise
Saunders (Laura Linney) terasa seperti tempelan dan kurang dimanfaatkan
lebih jauh, mereka sebenarnya punya potensi untuk membuat api tadi menjadi
lebih besar.
Dari bagian cast penampilan
mereka terasa mumpuni meskipun seharusnya bisa didorong lebih tinggi lagi. Michael Grandage cermat dalam memberi
kesempatan bagi Colin Firth untuk
bersinar, ia mampu membuat Perkins sebagai
sosok yang berdedikasi secara professional
dan personal meskipun terkadang posisi sentral cerita lepas darinya. Chemistry Firth dengan Jude Law juga oke. Law di sini banyak
terbantu momen ketika karakternya bersanding bersama karakter Perkins, ketika
ia berdiri sendiri atau dengan karakter lainnya ia kurang kuat. Guy Pearce dan Dominic West menampilkan karakter mereka sesuai dengan kapasitasnya
di dalam cerita, dan Laura Linney oke
dalam menampilkan rasa frustasi Louise
Saunders terhadap Perkins. Karakter Nicole
Kidman terasa kurang dimanfaatkan, kurang berhasil menjadi “racun” yang menyengat
bagi usaha Thomas Wolfe meraih
kesuksesan.
Merupakan usaha yang
menarik dari Michael Grandage yang
seolah hendak menciptakan sebuah panggung teatrikal bagi Genius, namun hasil
akhirnya berada di bawah potensi awal. Dramatisasi di sini oke, bercerita
tentang proses menulis, editing,
hingga penerbitan bersama berbagai gesekan ego dalam bentuk kisah persahabatan
antara penulis dan editor, tapi sejak awal hingga akhir ini terasa terlalu
normal, kurang mencolok. Interaksi antar karakter mempertahankan daya tarik
cerita, dan jika kamu suka pada materi berisikan permainan kata dan frasa
dengan bertumpu pada rasa cinta terhadap sastra ini juga akan terasa oke, namun
dengan memadukan akting memikat bersama narasi tanpa percikan yang mencolok
bukan tidak mungkin Genius akan terasa menjemukan bagi beberapa penonton. It’s good, but not a genius one. Segmented.
Thanks to rory pinem
0 komentar :
Post a Comment