"I'm back, you bastards."
The
Dressmaker seperti sebuah pizza
dengan topping yang beraneka ragam.
Dari judulnya hal pertama yang terlintas di pikiran kamu mungkin adalah tentang
fashion yang memang menjadi pusat utama cerita namun materi itu tidak
sendirian, kamu akan menemukan komedi dengan nada hitam, sebuah misteri tentang
pembunuhan, hingga kisah asmara yang sensual. Tapi menariknya film yang juga
mengusung kisah balas dendam ini walaupun bermain dengan ledakan tetap terasa
hangat, seorang wanita yang menggunakan pendirian kerasnya ingin membantu
orang-orang di sekitarnya untuk berubah menjadi lebih baik. Ini seperti Chocolat yang menikah dengan fashion dan
menjadi liar.
Dengan gaya yang
terlihat badass, Tilly Dunnage (Kate
Winslet) kembali ke kota Dungatar
di pedesaan Victoria untuk merawat ibunya yang sedang sakit, Molly (Judy Davis). Namun dibalik misi
utama untuk bertemu kembali dengan ibunya perlahan Tilly mulai menggali kembali
masa lalunya di kota yang ia tinggalkan lebih dari dua dekade yang lalu itu,
kota yang memberinya kenangan buruk karena 25 tahun yang lalu Tilly dituduh
sebagai tersangka dari sebuah peristiwa kematian. Tilly berniat untuk
mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa tersebut, namun dengan
cara yang stylish.
Konsep utamanya adalah
usaha penebusan dan pengungkapan yang dilakukan oleh karakter utama, namun
seperti judul yang ia gunakan The
Dressmaker tetap memakai fashion sebagai media untuk menghidupkan konsep di
elemen cerita. Dan seperti yang saya sebutkan tadi, ini bermain dengan stylish,
bahkan saking stylish-nya mungkin akan menciptakan perasaan bingung bagi
beberapa penonton. Mengapa? Karena di tangan Jocelyn Moorhouse kisah yang diangkat dari gothic novel karya
Rosalie Ham ini menghadirkan begitu banyak genre di dalam cerita, dari misteri,
komedi, romance, hingga unsur revenge yang dikemas dengan menggunakan fashion.
Mereka tampil dalam kuantitas yang kecil, so, miss sedikit kamu akan menilai The Dressmaker sebagai kemasan yang
melelahkan.
Melelahkan di sini
bukan dalam artian tidak ada hal menarik untuk diikuti melainkan di karenakan
begitu banyaknya campur aduk genre tadi sehingga The Dressmaker menciptakan kesan ia sendiri bingung ingin menjadi
film yang seperti apa. Cerita tentang revenge
dengan pengungkapan kebenaran perlahan tumbuh, sementara perbandingan antara
latar belakang setting kota yang kusam dan tampilan Tilly yang begitu mengkilau
menjadi satu dari sekian banyak humor yang film ini punya. Perlahan The Dressmaker yang menciptakan impresi
sederhana di awal yaitu film tentang seorang pencipta pakaian justru bergerak
semakin rumit, kamu akan bertemu dengan impresi bahwa ini mulai terbagi menjadi
dua bagian, satu sisi sebuah film drama, satu lagi sebuah komedi.
Nah, menariknya adalah
meskipun terkesan sangat “sibuk” tadi The
Dressmaker berhasil mencapai garis finish dengan meninggalkan perasaan puas
bagi saya. Alasannya sederhana, walaupun berjalan penuh liku-liku, romance
terkadang terasa canggung, komedi tidak semunya yang berhasil hit, film ini
punya karakter-karakter yang begitu menarik untuk disaksikan proses
bertumbuhnya terutama karakter utamanya, Tilly Dunnage. Impresi yang diciptakan
Tilly serupa dengan Vianne Rocher di
film Chocolat, ia wanita berbeda yang
berusaha mengubah penduduk di lingkungannya yang “baru” untuk menjadi lebih
baik lagi. Kredit besar layak diberikan kepada Kate Winslet, kesan rebel tidak berlebihan namun sikap berani
justru meninggalkan pesona memikat. Cast lain juga punya andil dalam
kejutan-kejutan yang dihasilkan The
Dressmaker, terutama para penduduk kota yang rasa bencinya kepada Tilly
begitu stabil.
Hal lain yang akan kamu
kenang dari The Dressmaker adalah
rasa stylish yang ia ciptakan, dan kredit layak diberikan kepada tatanan
produksi terutama costume design yang menyokong terciptanya visual manis bagi
mata penonton. Score terasa begitu ringan namun tidak dengan cinematography.
Dengan berayun-ayun antara komedi, drama, romance, hingga tragedi pusat cerita
harus memiliki emosi yang kuat untuk menjaga agar perpindahan nada acak tadi
tidak membuat penonton kehilangan pijakan, dan frame yang dihasilkan Donald McAlpine berhasil menjaga emosi
tetap menjadi pusat sehingga ledakan-ledakan kecil di banyak bagian cerita
tidak pernah takut untuk tampil gila karena cerita tetap memiliki pijakan yang
kuat di pusat.
Memang ada kesan
sedikit berantakan dengan gerak penuh swing antar genre yang ia tampilkan,
namun dengan karakter dan plot yang sejak awal seperti sengaja dicanangkan
untuk tampil stylish Jocelyn Moorhouse
berhasil menciptakan sebuah parodi dengan rasa western classic penuh komedi
hitam yang menyenangkan untuk diikuti, kamu akan dibuat menebak apa yang akan
terjadi selanjutnya karena berbagai kejutan kecil yang ia hasilkan. Tilly
dibenci, namun ia berusaha berpindah dari penilaian tersebut dengan cara yang
stylish, membuat gaun untuk mereka yang membencinya, itu menjadi pusat yang
terus mempesona dari kisah balas dendam yang walaupun tidak punya narasi dan
plot kuat namun berkat penampilan cast yang baik, pengarahan yang konsisten,
hingga elemen design produksi yang manis, The
Dressmaker adalah sebuah drama, komedi, romance, hingga thriller yang sulit
untuk dilupakan. Charming. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment