"Be good to him and he will be good to you."
Chucky,
Billy the Puppet, Annabelle, menggunakan boneka sebagai
senjata baik itu yang bersifat pendamping hingga sebagai senjata utama untuk
mencoba meneror penontonnya merupakan sesuatu yang selalu menarik dari sebuah
film horror. Tapi kembali lagi ke dasar utama, mereka sebuah boneka sehingga
perlakuan serta cara membentuk yang harus diberikan kepada boneka-boneka itu
harus benar-benar tepat terutama pada menciptakan impresi menyeramkan dan
menakutkan yang mereka miliki. The Boy
mencoba menggunakan boneka sebagai senjata utamanya, namanya Brahams (jangan di pisah), tapi ternyata
tidak meneror melainkan menjadi boneka bodor.
Seorang nanny bernama Greta (Lauren Cohan) memperoleh pekerjaan
untuk mengasuh anak dari keluarga British Heelshire di sebuah rumah terpencil
di pedesaan Inggris. Greta diberitahu bahwa ia akan mengasuh seorang anak
bernama Brahams, namun ketika ia tiba tempat kerja barunya tersebut Greta
menemukan sebuah fakta yang mengejutkan: Brahams
ternyata merupakan sebuah boneka. Mr.
Heelshire (Jim Norton) dan Mrs.
Heelshire (Diana Hardcastle), “orangtua” Brahams, menginginkan agar Brahams
tetap menjalani rutinitas sehari-hari ketika mereka berlibur. Pada awalnya
Greta mengabaikan Brahams namun kemudian hal-hal aneh mulai menghampiri Greta.
Apakah kamu tersenyum
ketika membaca sinopsis di atas tadi?
Ya, itu adalah premis paling standard, paling klasik, dan paling klise yang
bisa diberikan oleh sebuah film dengan horror sebagai jualan utamanya. Tapi
bukan berarti menggunakan kembali hal-hal klasik tadi merupakan sesuatu yang
salah tapi dengan syarat mutlak, jangan perlakukan mereka dengan cara yang
salah. Hal itu yang justru dilakukan oleh William
Brent Bell di sini, sebenarnya memiliki materi yang tidak jelek bahkan
elemen penunjang lain seperti cast juga tidak tampil buruk, namun ketimbang
membuat penontonnya perlahan-lahan mulai terjebak dalam rasa takut dan mulai
merasa waspada yang The Boy lakukan
malah membuat penonton pelan-pelan merasa frustasi.
Di bagian awal saja The Boy sebenarnya sudah kurang oke,
menghabiskan terlalu banyak waktu mencoba untuk membuat kamu menilai dan
merasakan bahwa Brahams adalah sosok
yang menakutkan. Dalam hal misteri memang terbentuk dengan baik tapi dari sisi
karakter tidak, Brahams seharusnya
"dilepas" sehingga cerita bisa maju, bukan justru menahan cerita dan
terus berkerja keras untuk meyakinkan penonton bahwa ada yang salah dari Brahams. Pada akhirnya “feel” dari
Brahams yang notabene menjadi senjata utama di sini justru terasa kasar,
penonton seperti dipaksa untuk percaya bahwa Brahams merupakan sosok yang
menyeramkan. Itu kesalahan yang krusial, Brahams yang seharusnya menjadi sumber
rasa takut justru tampak seperti boneka yang digunakan sebagai boneka untuk
menjebak penontonnya.
Apakah sukses? Ada
beberapa bagian yang sulit memang untuk dikatakan buruk, tapi mayoritas
serangan dari The Boy untuk
menakut-nakuti penonton terasa lemah dan murahan. Mondar-mandir di cerita tidak
masalah, baik malah, tapi ia tidak punya urgensi yang oke, kamu dibuat menunggu dan menunggu
dan semakin menjengkelkan karena selain misteri yang terasa biasa-biasa saja
konsekuensi dari masalah yang dihadapi oleh Greta juga tidak berhasil untuk
membuat penonton merasa itu penting. Greta yang sisi rentannya kurang terbentuk
dengan baik oleh Lauren Cohan justru
tampak seperti wanita iseng yang konyol ketimbang seorang nanny yang nyawanya
sedang terancam. Seandainya fokus digeser ke psikologis Greta mungkin The Boy akan lebih baik karena harus
diakui goofiness dan keseraman yang dihasilkan oleh setting tidak buruk.
Berbagai kewajiban pada
tugas yang dimiliki oleh Greta sebenarnya bisa digunakan untuk membuat agar
arena di mana Greta dan Brahams berinteraksi secara intens dapat tersebar
merata, sehingga rasa khawatir penonton dapat terus terjaga bersama rasa curiga
bukannya perlahan mati dan berubah jadi rasa frustasi. Apakah Brahams
benar-benar hidup? Apakah orang tua Brahams adalah orang gila? Pertanyaan tadi
sebenarnya menarik tapi karena William
Brent Bell terlalu sibuk merakit misteri dan mereka tidak pernah tumbuh menjadi
rasa penasaran yang bisa mempertebal situasi menegangkan The Boy justru terus konsisten datar, dan ketika ending sialan itu hadir, boom, rasa kesal yang
tertinggal cukup besar. Segmented.
Thanks to: rory pinem
linknya mana om
ReplyDelete