"Beware, children at play."
Sinister
adalah salah satu film horror yang
memorable bagi saya, bagaimana ia membawa kita penonton seolah berada disamping
karakter Ellison Oswalt untuk
menyaksikan hal-hal buruk yang kemudian terjadi. Dampak yang ia tinggalkan
terhitung besar, Sinister bukan hanya
menjadi sebuah film horror yang
menakut-nakuti penonton saat hadir di layar, mereka meninggalkan penonton dengan
teror yang mengasyikkan. Pertanyaan
disini adalah pada Sinister dari segi cerita kita sudah bertemu dengan garis
finish, lalu apa lagi yang hendak Sinister
2 ini coba lakukan, ceritakan, dan gambarkan?
Deputy
So-and-So (James Ransone) kini kembali tidak lagi sebagai
penegak hukum namun masalah yang ia hadapi masih sama: terror dari Bughuul.
Korban Bughuul kali ini adalah keluarga Collins yang tinggal di sebuah rumah di
lingkungan pertanian terpencil. Courtney Collins
(Shannyn Sossamon) bersama dua anak kembarnya, Dylan (Robert Sloan) dan Zach
(Dartanian Sloan), tinggal di rumah tempat dimana pernah terjadi
pembunuhan. Sementara Courtney terus berusaha menjaga agar kondisi keluarganya
tetap normal apa yang terjadi pada sang anak justru sebaliknya, ia “ditarik” ke
ruang bawah tanah untuk menonton film yang membawa hal-hal buruk datang meminta
hadiahnya.
Sebelum memulai rasa
kesal saya pada Sinister 2 ini
mungkin ada baiknya memulai review dengan apresiasi kecil pada usaha tim
penulis C. Robert Cargill dan Scott Derrickson yang tidak menjadikan
film ini sekedar pengulangan sangat malas metode dari pendahulunya. Usaha kecil
dengan memutar perspektif jelas layak di apresiasi, jika film pertama kita
menyaksikan kehancuran yang terjadi didalam rumah itu lewat mata karakter
dewasa kali ini semua di putar, kita menyaksikan kehancuran lewat mata
anak-anak. Tidak hanya itu saya juga suka dengan keputusan mereka untuk
mempertahankan konsep utama “menyaksikan video” secara utuh, ada nilai plus
kecil dari hal tersebut. Tapi nilai positif film ini ternyata hanya itu,
sisanya adalah rasa yang sama ketika kamu menyaksikan film-film horror “jelek”
seperti The Woman in Black 2 dan The Lazarus Effect.
Sinister
2
terasa menjengkelkan karena eksekusi yang ia tampilkan terasa jelek pada bagian
dimana berhasil bentuk dengan baik oleh film pertamanya. Film pertama membawa
kita merasa dekat dengan gambar serta video rahasia itu, mengikat penonton
dengan misteri lalu mengejutkan mereka dengan kuat, tapi Sinister 2 lebih seperti menyaksikan remaja sedang hangout di ruang
bawah tanah. Ciaran Foy memang
kembali mencoba apa yang Scott Derrickson
lakukan di Sinister, membuat penonton
peduli dan terikat dengan karakter tapi dengan nada yang tidak pernah terbentuk
dengan kuat terasa sulit untuk bisa tenggelam dalam rasa takut yang coba film
ini sajikan. Suasana takut serta kesan angker kesulitan untuk hidup, bahkan
rasa gelisah saya lebih sering mendekati titik nol.
Bukan hanya masalah
nada tapi penggunaan shocking moment
disini juga jadi kendala Sinister 2.
Strategi menakut-nakuti yang di film pertama dikemas dengan teliti disini hadir
dengan kesan mentah, Sinister 2
terlalu mengandalkan kejutan-kejutan kering serta suara-suara melengking untuk
membuat penonton terkejut dan takut. Jump
scares bukan hal yang salah di film horror asalkan ada irama yang pas, dan Sinister 2 menampilkannya seperti pemuda
yang baru pertama kali memetik gitar, tidak tahu kunci, tidak tahu nada, tidak
tahu irama, asal kocok sana-sini. Dan semua itu hadir didalam cerita yang
kesulitan mencari nafas untuk bisa hidup, misteri yang terasa lemah dan lesu,
sehingga kesan menyeramkan terasa suam-suam kuku, tidak total. Oh, itu belum
menghitung dialog yang benar-benar merusak koneksi penonton dengan karakter,
terasa canggung dan gagal membangun fantasi atau imajinasi penonton pada
cerita.
Hal lain yang juga
terasa mengganggu selain eksekusi yang terasa palsu itu adalah ketika karakter Bughuul yang di film pertama menjadi
senjata mematikan disini justru dimatikan. Kesan menakutkan Bughuul hilang
disini, di film pertama kehadirannya kuat bahkan membuat penonton ketika sedang
menyaksikan video dipenuhi dengan rasa waspada, tapi disini kesan yang ia tinggalkan adalah badut dengan penampilan ala rocker. Sisanya? Karakter dewasa
yang terkesan biasa-biasa saja serta karakter anak-anak yang tampil tidak
mengesankan, bukan hanya karena tidak mampu menolong cerita yang sudah menyedihkan
sejak sinopsis itu tapi mereka juga
tidak pernah mampu menciptakan suasana ketakutan bagi penonton.
Sinister
2
adalah tentang bagaimana pencipta terjebak dalam karya mereka sendiri, dan itu
yang terjadi pada tim produksi. Sebuah film horror
yang nakal dalam menggoda yang telah lekat dengan Sinister tidak berhasil di ulangi oleh film ini, suasana ketakutan
tidak pernah terasa menakutkan, kejutan tidak berhasil tampil mengejutkan,
kegelisahan gagal memberi penonton imajinasi yang menyenangkan. Sinister 2 seperti murni usaha
memanfaatkan apa yang tersisa dari Sinister
untuk meraih keuntungan finansial, itu terlihat dari cara mereka memperlakukan Sinister 2, sebuah horror yang lebih terasa seperti sebuah drama keluarga. Membosankan? Tidak, tapi
monoton dan melelahkan. Kamu akan mimpi indah setelah menyaksikan film ini.
Thanks to: rory pinem
0 komentar :
Post a Comment