Return
to Sender sebenarnya bukan hanya berhasil tampak menarik di
awal karena sinopsis sederhana yang mengundang rasa penasaran itu, tapi disisi
lain ini juga menjadi film pertama dari seorang Rosamund Pike setelah tahun lalu ia sukses mengaduk-aduk penonton
dengan hubungan hate to love dan love to hate ketika berperan sebagai Amy Elliott-Dunne di Gone Girl. Mereka serupa, Return to Sender juga mencoba menjadi
sebuah thriller yang di membuat penontonnya bermain-main dengan misteri, tapi
sangat jauh untuk mengatakan mereka berada di kualitas yang sama.
Miranda
(Rosamund Pike) merupakan seorang perawat dengan
penampilan licik yang berencana menjual rumahnya untuk memulai kehidupan serta
membuat karirnya semakin maju. Suatu ketika wanita yang memiliki hubungan yang
baik dengan ayahnya Mitchell (Nick Nolte)
ini menerima tawaran dari temannya untuk menjalani kencan buta bersama pria
bernama William (Shiloh Fernandez). Celakanya
Miranda menjadi alasan mengapa William pada akhirnya masuk kedalam penjara, dan
wanita itu ditinggalkan dengan luka serta jiwa yang hancur, kondisi yang jadi
sumber niat Miranda untuk melakukan pembalasan.
Miranda dan Amy seperti
punya kepribadian yang serupa tapi tak sama, mereka sama-sama wanita yang
berhasil membuat kamu tertarik padanya namun seketika berubah menjadi rasa
ngeri setelah melihat upaya pembalasan yang mereka susun. Nah, celakanya
sutradara film ini, Fouad Mikati,
tidak berhasil memanfaatkan pesona dari karakter Miranda yang sudah dibentuk
dengan baik oleh Rosamund Pike,
bukannya memasukkan ia kedalam narasi licik di selimuti nuansa psikopat ia
malah terlalu sering menjadikan Return to
Sender kebingungan hendak menjadi sebuah thriller macam apa, penyajian yang
terasa hambar dimana nada cerita seperti tidak pernah yakin ingin berdiri
dimana.
Return
to Sender sebenarnya bisa menjadi drama tentang krisis
identitas yang dialami karakter, ia juga bisa menjadi thriller dengan sokongan fantasi pada fokus utama yang terletak
pada dendam, tapi sayangnya seolah menolak untuk mendekat menuju dua bagian
tadi dan memilih bermain-main dengan cara yang murahan. Script terasa dangkal,
bagaimana ia menampilkan trauma yang dialami Miranda juga tidak pernah terasa kuat sehingga akhirnya juga
mempengaruhi misteri dari karakter Miranda itu sendiri. Bukan hanya bingung
tapi di bagian ini saya bahkan merasa cerita seperti kurang peduli dengan
karakter Miranda, ia lebih sering sibuk membangun plot agar penonton dibuat
bertanya-tanya dengan apa yang terjadi.
Tidak salah memang jika
berusaha membuat penonton terjebak dalam misteri ya asalkan jalannya juga
teratur dan menyenangkan, bukannya justru terlalu sering menunda dengan
mondar-mandir tanpa sensasi. Return to
Sender terasa lambat dan monoton, cobaan berat yang dihadapi karakter utama
selalu miss dalam mencengkeram emosi penonton, script yang terlalu serius
mencoba misterius juga lebih sering terasa palsu karena niatnya seolah hanya
ingin membuat kamu menebak arah cerita bukan menantikan apa yang akan terjadi
pada Miranda selanjutnya. Puncak dari semua itu adalah sebuah akhir yang terasa
berlebihan karena berbagai macam tikungan yang ia hadirkan sangat sedikit yang
memberikan penonton pengungkapan pada apa yang terjadi.
Seandainya Rosamund Pike punya mesin waktu
sepertinya mungkin akan ia gunakan untuk menghindar dari film ini jika ia tahu Return to Sender hadir setelah karya
besarnya di Gone Girl. Antara menjadi
drama atau thriller, sejak awal hingga akhir Return to Sender tidak pernah menetapkan hatinya pada bagian mana
yang ingin ia gunakan sebagai senjata utamanya, sehingga hasilnya adalah
perjalanan penuh misteri tanpa sensasi. Penampilan Rosamund Pike tidak buruk, tapi film ini jelek.
0 komentar :
Post a Comment