“There is no glory in
war!”
Coba kamu sebutkan nama
film animasi apa asal Indonesia yang kamu ketahui! Mayoritas diantara kita
pasti akan mengenal film yang sama, film animasi yang berada dibawah bendera
salah satu produk ice cream itu, tapi selain itu? Film animasi Indonesia masih
sangat miskin, dan alasan paling klasik adalah dengan mengatakan karena pekerja
animasi di industri perfilman Indonesia masih sulit untuk ditemukan. Tidak, itu
karena pemain di dalam industri itu sendiri tidak berani bermain di genre
animasi, lebih memilih menciptakan film-film horror yang bahkan untuk tayang di
televisi saja masih sangat menggelikan jika dilihat dari segi kualitas. Ini
buktinya, film animasi, Battle of
Surabaya, tidak mewah memang tapi tetap mampu menjadi kemasan yang
menghibur.
Setelah kota Hiroshima dan Nagasaki di bom, Jepang memutuskan menyerah dan kesempatan tersebut
dimanfaatkan oleh negara-negara yang kala itu berada dibawa kendali Jepang.
Tapi sebuah perisitwa di Hotel Yamato
kota Surabaya menghadirkan masalah
baru bagi Indonesia, dari kedatangan kembali Belanda hingga kelompok organisasi
militer bentukan Jepang. Kondisi yang pelik menyebabkan tensi di setiap daerah
menjadi begitu ketat, namun disamping itu pergerakan untuk mempertahankan
kemerdekaan tetap berjalan dan salah satu cara yang para pejuang lakukan adalah
dengan mengirimkan berita-berita rahasia lewat sebuah surat yang diantarkan
oleh remaja penyemir sepatu bernama Musa
(Dominic).
Mari bicara tentang hal
positif dari film ini terlebih dahulu. Hal yang paling menarik dari film ini
adalah label Battle of Surabaya
sebagai film animasi yang diharapkan membawa nafas segar bagi genre animasi di
industri perfilman Indonesia memang sulit untuk dipungkiri, ia berhasil
melakukan hal tersebut, dan salah satu alasannya adalah dari segi visual apa
yang dilakukan oleh Aryanto Yuniawan
beserta timnya sudah berada di level yang memuaskan, walaupun belum sempurna.
Saya suka dengan visual dari film yang mampu membuat Disney tertarik untuk membelinya ini, penggunaan warna harus diakui
mampu memanjakan mata, bagaimana cara ia menggambarkan dan membangun latar
untuk menyokong cerita terhitung oke.
Yang jadi masalah
adalah ketika dari segi visual sendiri Battle
of Surabaya dapat dikategorikan sangat berhasil mencuri perhatian
penontonnya sejak awal tapi apa yang mereka berikan setelah itu dibagian lain
kurang berhasil membuat daya tarik mereka terus tumbuh. Kualitas film ini
terasa kurang stabil hingga akhir dan di bagian cerita bahkan sempat terasa
macet. Battle of Surabaya sering kali
terasa kurang mengalir dalam bercerita, suatu saat kamu dibawa menyaksikan
strategi menjelang pertempuran belanda, disisi lain kamu dibawa lagi menuju
Musa dan misinya, tapi disisi lainnya ia juga seolah mencoba menekan lebih jauh
hubungan Musa dan karakter-karakter disekitarnya.
Sebenarnya hal-hal tadi
merupakan usaha yang wajar tapi disini Battle
of Surabaya berikan dalam kombinasi yang kaku. Akhirnya cerita jadi terasa
sedikit monoton, terasa kurang fokus walaupun memang sering kali lelucon yang
ia berikan menghasilkan hit yang kuat bagi penonton dan menghidupkan kembali
cerita yang sempat lesu. Seandainya ia mau meninggalkan beberapa sub-plot
meskipun kita tahu maksud dan tujuan dari eksistensi sub-plot tersebut mungkin
cerita dapat lebih dinamis. Saya bahkan sering kali merasa kesulitan untuk klik
ketika di beberapa bagian tersadar bahwa judul film yang sedang saya saksikan
adalah Battle of Surabaya. Mengapa?
Karena setelah menjauh dari garis start perhatian penonton pada perjuangan
mempertahankan kemerdekaan perlahan memudar, dan yang tersisa adalah apa yang
akan terjadi pada Musa.
Bagaimana bisa saya
merasakan nasionalisme dari cerita ketika fokus terasa lebih kuat diarahkan
pada hubungan antara Musa dan Yumna? Ini dia, sub-plot yang meskipun menarik
tapi terlalu jauh mencuri atensi dari tema utama. Niat Battle of Surabaya mungkin menjadikan Musa sebagai contoh dampak
yang terjadi dari sebuah perang dan itu punya kaitan dengan pesan utama mereka,
tidak ada kemenangan dalam perang, tapi powernya tidak kuat, dan hal itu juga
dampak dari koneksi karakter dan penonton yang terkesan dipaksa. Simpati
mungkin mudah tapi tidak dengan empati karena sejak awal cerita sendiri kurang
berhasil menjadikan Musa sebagai karakter yang sangat bernilai, serta faktor
lain seperti pengisi suara serta penggunaan musik yang kurang klik dengan
karakter dan cerita, begitupula dengan editing yang menjadikan alur cerita
terasa kurang halus.
Menggunakan sejarah
perjuangan november di Surabaya sebagai dasar cerita yang mengemban pesan
perdamaian tentu saja sebuah langkah yang menarik, tapi Battle of Surabaya kurang berhasil menggunakan sisi fiksi dari
cerita untuk menghantarkan dengan kuat pesan bahwa tidak ada kemenangan dalam
perang, dan lebih disayangkan lagi ketika kisah perjuangan justru menjadi elemen pendamping dan kerap menghadirkan rasa canggung di dalam narasi. Walaupun begitu Battle of Surabaya mampu menampilkan
salah satu unsur terpenting dari sebuah film animasi dengan baik, ia punya
visual yang sangat menghibur. Cukup memuaskan.
0 komentar :
Post a Comment