"Kopi yang enak akan selalu menemukan penikmatnya."
Seperti kopi yang mampu
membuat anda merasa segar kembali setelah selesai meminumnya, begitupula pula
impresi yang berhasil diberikan oleh Filosofi
Kopi. Judul yang ia miliki memang akan menghadirkan penilaian awal sebuah
film yang tampak berat pada para calon penontonnya, namun karya terbaru dari
sutradara Cahaya Dari Timur: Beta Maluku
ini secara mengejutkan justru berhasil menghadirkan terang dan gelap dari
sebuah kehidupan dengan bermain-main bersama perpaduan antara rasa manis dan
pahit pada secangkir kopi. Filosofi Kopi:
imperfecto searching for perfecto.
Ketika customer yang
sedang mengantri mencoba bertanya kepadanya tentang filosofi dibalik kopi-kopi
yang tertera di setiap kartu, barista bernama Ben (Chicco Jerikho) dengan santai namun efektif memberikan
deskripsi setiap kopi dengan kalimat-kalimat bernada puitis andalannya.
Keahlian tersebut tidak dimiliki oleh sahabat Ben sejak kecil, Jody (Rio Dewanto), pria yang bersama
Ben mengelola kedai kopi yang mereka namai Filosofi Kopi, karena ia berperan
pada sektor keuangan demi menjaga kelangsungan bisnis mereka tersebut. Ya,
kelangsungan bisnis, Ben dan Jody bersama tiga karyawan mereka sedang berupaya
untuk menutup hutang sebesar Rp. 800 juta yang ditinggalkan oleh almarhum ayah
Jody.
There
can be miracles when you believe, dan tiba-tiba muncul
seorang pengusaha (Ronny P. Tjandra)
yang datang ke kedai filosofi kopi untuk memberikan sebuah tantangan pada Ben
dan Jody. Pria tersebut meminta mereka untuk membuat kopi paling nikmat di
Indonesia bahkan di dunia yang kelak akan ia tawarkan kepada investor, serta
imbalan yang sangat besar pada uang tunai dengan nominal sepuluh digit. Ben
faktanya berhasil menciptakan sebuah kopi yang ia sebut perfecto dan yakin kopi
tersebut dapat membawa mereka memenangkan tantangan tadi, namun kehadiran
seorang food blogger kelas internasional bernama El (Julie Estelle) menggoyahkan keyakinan tersebut dan membawa
konflik lain kedalam filosofi kopi.
Selalu terasa menarik
ketika menyaksikan sebuah film yang memiliki berbagai pesan yang tidak
sederhana tapi kemudian ia tampilkan dengan cara yang sederhana. Hal tersebut
yang menjadi kesuksesan terbesar dari film ini, bagaimana ketika ia membuat
anda terkejut ketika perputaran konflik yang tampak sederhana tadi dari sekedar
meracik atau meramu kopi terbaik justru memiliki banyak pesan dan isu menarik
untuk ditelisik. Bukan hanya menarik sebenarnya tapi dengan nada yang santai
dengan dialog catchy serta dipenuhi
beberapa lelucon yang terhitung oke filosofi kopi seperti tidak menciptakan
jarak antara ia dan penontonnya, sehingga serupa dengan konflik dan karakter
yang secara perlahan terus bertumbuh penonton juga akan merasa tertarik bahkan
mungkin tidak sedikit yang akan terjebak dan kemudian tenggelam didalam dunia
Ben serta Jody, dan semua itu terjadi secara perlahan.
Ya, sama seperti
secangkir kopi yang akan terasa nikmat ketika di cicipi sedikit demi sedikit
begitupula presentasi yang di tampilkan oleh Filosofi Kopi, tapi celakanya hal tersebut seperti pedang bermata
dua bagi Filosofi Kopi. Shaky cam di
bagian awal itu jelas terasa mengganggu namun kombinasi antara Angga Dwimas Sasongko serta penulis
naskah Jenny Jusuf terasa cerdik dan
cermat dalam membangun struktur cerita di bagian awal yang di adaptasi dari
kumpulan prosa dan puisi karya Dewi
"Dee" Lestari. Bagaimana agar kopi sebagai objek utama dapat
segera memiliki koneksi dengan kehidupan penonton tapi disisi lain kopi juga
menjadi jalan untuk membuka ruang bermain baru dimana penonton akan mencicipi
berbagai isu tentang kehidupan, mungkin seperti itu misi utama Filosofi Kopi sejak sinopsis dibagian awal. Hal tersebut tampil manis, konflik utama
mereka jaga di pusat cerita tapi secara perlahan dan juga bertahap mereka juga
mendorong masuk beberapa konflik lain tanpa menghasilkan distraksi yang mencuri
atensi penonton dari irama menyenangkan yang tercipta sejak awal.
Nah, disini kekurangan
dari Filosofi Kopi, terasa manis
ketika ia bercerita tentang hal pahit di bagian awal tapi tidak sama manisnya
ketika ia mulai menghujani penonton dengan berbagai hal “manis” dari kehidupan.
Bukan berarti kualitas dari eksekusi Angga Dwimas Sasongko disini terasa buruk
namun sulit untuk mengatakan ini berada di level yang sama dengan karya Angga
sebelumnya, Cahaya Dari Timur: Beta
Maluku. Memang ada emosi yang mumpuni terlebih dengan keintiman yang
terbangun di awal antara cerita dan juga penonton, tapi babak kedua Filosofi Kopi terasa kurang dinamis
terlebih ketika kita mulai dibawa bergeser dari sebatas pencarian kopi terbaik
menjadi sedikit studi karakter dengan menelisik permasalahan dari tiap karakter
utama. Drama yang terbangun di bagian ini tidak sama menariknya ketika cerita
masih sebatas menjadi pergulatan awal antara Ben, Jody, dan kopi terbaik.
Penyebabnya adalah
presentasi penuh rasa sabar yang memberikan dampak positif di babak pertamanya
tadi, eksposisi yang tetap dibangun dengan santai menjadikan daya cengkeram dari
babak selanjutnya tidak lagi sama. Hal yang terasa mengganggu dari Filosofi Kopi adalah ketika ia punya
banyak point kecil yang menarik sebut saja seperti persahabatan, hubungan ayah
dan anak, hingga perbedaan pola pikir dalam kehidupan yang mereka ikat dengan
baik pada pertarungan head vs heart di pusat cerita, tapi hasil akhirnya kurang
mengasyikkan. Point pertama muncul ia terasa menarik, point berikutnya juga
sama menariknya, tapi efek yang mereka ciptakan tidak kumulatif dibagian akhir.
Sesuatu yang terasa subjektif memang dimana saya bahkan merasa sedikit
kehilangan rasa tertarik di bagian tengah film terutama pada percakapan di
tengah kebun terkait Kopi Tiwus
dimana hal-hal yang berputar di bagian tersebut mayoritas terasa canggung.
Well, tapi bukan
berarti hadirnya nila setitik jadi rusak susu sebelanga, hasil akhir yang
kurang mengasyikkan tidak menandakan perjalanan yang ia tampilkan untuk menuju
kesana juga tidak mengasyikkan. Faktor lain yang mampu menjauhkan penonton dari
penilaian tersebut terletak pada kombinasi antara Chicco Jerikho dan Rio
Dewanto, dua karakter mereka konsisten hingga akhir membuat penonton
merasa mereka sebagai individu yang menarik untuk diamati. Dialog yang
dihasilkan Jenny Jusuf serta eksekusi
cekatan dari Angga pada dua karakter utamanya ini punya peran yang besar dalam
terbangunnya karakterisasi Ben dan Jody, dari lelucon yang tersirat namun
memiliki punch yang asyik, hingga pintu yang terus terbuka sehingga kita tidak merasa tidak nyaman untuk mengenal mereka lebih jauh. Chemistry dari Chicco Jerikho dan Rio
Dewanto juga punya peran yang tidak kalah besar, membawa penonton seperti
sedang hangout dalam menyaksikan pertarungan antara logika dan hati yang
terjadi diantara Ben dan Jody.
Overall, Filosofi Kopi adalah film yang
memuaskan. Hanya dengan misi pencarian kopi terbaik yang kemudian bermain-main
dengan aksi seruput kopi disana-sini yang ditampilkan dengan menggoda, anda
akan mendapatkan sebuah drama menarik berdurasi 117 menit berisikan manusia
yang memahami makna dari kehidupan mereka. Tidak perfecto memang, namun seperti salah satu kalimat yang ia miliki,
“kopi yang enak akan selalu menemukan penikmatnya”, Filosofi Kopi dengan
kesederhanaannya secara mengejutkan berhasil memberikan sebuah refresh terkait
kehidupan layaknya secangkir kopi yang membangunkan anda dari rasa kantuk,
bahwa kehidupan yang enak akan selalu berhasil ditemukan oleh mereka yang mampu untuk berani dalam menikmati kehidupan tersebut.
Lagi cari waktu untuk nonton film ini. Jarang2 ad film indonesia yang menarik perhatianku, jadi tinggi juga ekspektasi sama film ini.
ReplyDeleteSecepatnya mas Ron, minggu depan invasi dari Avengers akan tiba. :)
Delete