“Aku mencintaimu, dulu, kini, dan nanti.”
Apa sebenarnya arti bahagia? Apakah kebahagiaan itu
punya limit atau batas? Apakah ketika kita telah mendapatkan apa yang kita
inginkan kita harus berhenti mencari rasa bahagia? Pertanyaan-pertanyaan tadi
sangat sederhana, dan film ini coba menggambarkannya dalam bentuk sebuah
biopic tanpa harus kehilangan kemampuan pesan yang ia bawa untuk tampil
universal. 3 Nafas Likas, inspirasi
sederhana dari Sumatera Utara.
Ia bukan gadis kecil biasa, ia bisa bersikap layaknya
para perempuan muda ketika diminta tolong oleh orangtuanya, tapi ia juga
merupakan wanita muda yang tangguh. Namanya Likas
beru Tarigan (Tissa Biani Azzahra), ia dapat mengalahkan anak laki-laki
ketika bermain gundu hingga ketika sedang ujian, mimpi yang ia miliki tidak
sederhana seperti para perempuan muda di tahun 1930-an kala itu. Likas ingin
menjadi guru, ia tidak takut dan siap menghadapi segala rintangan didepannya,
tidak pernah berhenti untuk mencari kebahagiaan, proses yang menghasilkan
kehidupan penuh ketenangan yang kini ia (Tuti
Kirana) rasakan ketika sedang diwawancarai oleh wanita bernama Hilda (Marissa Anita).
Perjalanan hidup Likas
(Atiqah Hasiholan) memang menarik, dari cita-cita tinggi hingga upaya
memperjuangan kesetaraan gender, ada pesona dari tindakan yang ia lakukan, hal
yang membuat seorang tentara bernama Djamin
Ginting (Vino Bastian) jatuh hati padanya, yang kemudian menjadi suaminya
dan melengkapi tiga sosok penting dalam kehidupan Likas. Likas selalu memegang
teguh janjinya pada tiga orang tersebut dalam setiap tarikan nafasnya, sesuatu
yang memberikan semangat dalam setiap perjuangannya serta kerinduannya pada
cinta.
3 Nafas Likas merupakan salah satu film di tahun ini
yang berhasil membuat saya menaikkan ekspektasi awal. Film yang bercerita
tentang perjalanan hidup istri pejuang kemerdekaan dari Sumatera Utara bernama Djamin
Ginting ini terasa sangat menarik di bagian awal, semua seperti tertata dalam
komposisi yang pas ketika Likas masih kecil, dengan irama yang manis tidak ada yang terasa terbuang
percuma di bagian ini. Sedikit mengejutkan memang karena disamping mencoba
membentuk pondasi awal cerita bagian awal dari naskah yang ditulis oleh Titien
Wattimena ini punya banyak komentar sosial skala kecil yang bukan hanya sukses
menggelitik, tapi juga terasa tajam, dari isu merantau hingga kasih sayang keluarga,
ada pula permasalahan gender yang pada jaman itu masih sangat kuat, hingga
masuk kedalam konflik utama terkait mimpi dengan menggunakan pendidikan sebagai
jalannya. Mereka terasa menarik.
Apresiasi layak diberikan pada Rako Prijanto karena
mampu menciptakan start yang kuat, terutama pada bagaimana ia membentuk greget
pada cerita yang terbangun secara perlahan itu, secara bertahap, dan itu
berhasil membuat penonton bukan hanya merasa tertarik pada sosok Likas tapi
juga mulai ikut menaruh simpati padanya, seolah ingin mendukungnya, merasa
sedih ketika mimpinya terhalangi, dan merasa penasaran pada apa yang akan
terjadi selanjutnya. Keberhasilan bagian ini untuk tampil manis juga tidak
lepas dari kemampuan para aktor, dari Arswendi
Nasution, Jajang C. Noer, dan tentu saja Tissa Biani Azzahra, tik-tok dialog dan masalah yang mereka
tampilkan mengalir dengan lembut, dan disertai dengan sisi teknis terutama pada
permainan gambar yang mumpuni, 3 Nafas
Likas adalah salah satu film yang punya paruh awal paling menarik di tahun ini.
Celakanya berbagai hal positif tadi tidak semuanya
terangkut ke babak selanjutnya, ke babak utama. Ketika semua telah terbangun
dengan sangat baik, film ini justru mulai menderita tekanan dan beban dari misi
yang ia bawa. Misi atau pesan yang ia bawa sangat banyak, dari keluarga dan
mimpi di bagian awal tadi dan mulai melebar kedalam berbagai hal yang bukan
hanya sebatas tentang cinta antara Likas
dan Djamin. Dari tentang kehidupan,
kemudian coba mengembangkan isu gender, semangat nasionalisme, hingga sokongan
istri kepada suami, mereka hadir dalam kapasitas yang kecil, dan meskipun punya
kualitas yang tidak semuanya begitu buruk tapi sesekali mengganggu irama cerita.
mayoritas dari mereka dengan status datang dan pergi, sedikit yang tinggal dan membantu
konflik utama untuk tumbuh.
Film ini terlalu banyak mencoba memasukkan berbagai
inspirasi kecil tentang cinta dan kehidupan kedalam cerita, sehingga dampaknya
aliran cerita jadi kurang lembut setelah Likas dewasa. Perputaran cerita memang
masih oke, budaya Karo yang ia gambarkan juga tampil baik, tapi terkesan ada
lompatan-lompatan yang dipaksakan kehadirannya, dan akhirnya fokus cerita pada
hubungan antara Likas dan Djamin juga ikut memudar, potensi di bagian awal
tidak pernah melangkah dan berkembang lebih jauh, bahkan daya tarik pada
kehidupan Likas sendiri juga ikut terdegradasi. Andai saja berbagai filosofi
itu dapat di kurangi kuantitasnya, atau pesan yang ingin disampaikan dapat di
persempit, mungkin alur akan lebih kuat, irama ceritanya lebih halus, meskipun
tidak dapat dipungkiri mereka memang punya kualitas yang tidak buruk.
Atau mungkin durasinya sendiri di perpanjang, sehingga
ada ruang yang lebih besar bagi berbagai isu kecil itu untuk tergali lebih
dalam, di eksplorasi lebih jauh dan lebih kuat. Dampaknya pasti positif, karena
akan semakin memperkuat pesona dari perjuangan from zero to hero yang dilakukan Likas dan Djamin, karena itu yang
terasa kurang dari film ini, pesona yang kuat diawal mulai tidak stabil ketika
karakter telah dewasa, hit and miss, datang dan pergi. Hal tersebut kurang mampu dialihkan oleh penampilan dari divisi akting yang terasa mumpuni. Dengan Batak didalam darahnya Atiqah Hasiholan
memberikan penampilan yang halus, meskipun aksen Karo yang ia tampilkan sendiri kurang tajam. Sementara Vino Bastian
sebaliknya, aksen Karo yang ia berikan terasa tajam, penggunaan beberapa kata
panggilan juga tampil dengan lafal yang baik, tapi kurang halus, sering terasa
dipaksakan.
Overall, 3 Nafas
Likas adalah film yang cukup memuaskan. 3
Nafas Likas ini seperti mencoba memasukkan 20 potong biskuit kedalam toples
yang hanya dapat menampung maksimal lima belas biskuit. Pada akhirnya memang
semuanya muat, tapi beberapa harus rusak bentuknya, dan jika dilihat dari luar
akan ada sisi toples tersebut yang terlihat menarik, tapi juga ada yang tidak.
Misi utamanya terkait perjuangan hidup itu memang tersampaikan dengan baik,
petualangan panjang itu juga tidak pernah berhenti tampil menarik, tapi ketika
ia telah berakhir power dari kekuatan cinta yang ia hasilkan tidak mampu meraih
potensi miliknya di bagian awal tadi.
0 komentar :
Post a Comment