"I belong to the front, you belong to the tail."
Orang kaya
bertindak sebagai penguasa, sedangkan kaum miskin berperan sebagai penderita.
Kejam? Sebenarnya tidak, faktanya simbiosis tersebut kini tidak lagi menjadi
sesuatu yang aneh, perlahan tampak seperti sebuah trend bahkan kewajiban yang
berlaku pada banyak ekosistem masyarakat, karena kini melakukan tindakan
humanisme sudah jauh dari kesan membanggakan. Hal tersebut akan anda temukan
pada karya terbaru dari Bong Joon-Ho,
salah satu sutradara terbaik yang dimiliki Korea
Selatan. Snowpiercer, sebuah
kritik implisit menggunakan bencana apokaliptik yang menakjubkan.
Tahun 2014,
dikala suhu global semakin menjadi isu yang mencemaskan, negara dunia sepakat
untuk bersama melakukan upaya menurunkan suhu dengan membangun satu sistem pada atmosfer. Sayangnya keberhasilan tersebut hanya sesaat, karena perlahan
suhu bumi yang tadinya panas berbalik secara frontal. Ya, zaman es itu kembali,
penduduk bumi tewas akibat suhu yang dalam kurun waktu tujuh menit dapat
merubah tangan manusia menjadi bongkahan es. Namun tidak semua, masih ada
sekelompok manusia beruntung dalam sebuah kereta api super cepat milik jutawan
kaya bernama Wilford (Ed Harris), Snowpiercer, yang secara periodik terus
berputar mengelilingi bumi.
Snowpiercer ibarat sebuah ekosistem baru, dimana yang kaya
berada di posisi depan penuh dengan kebahagiaan, sedangkan si miskin berada di
bagian ekor, setiap hari hanya makan sepotong jelly yang menjadikan mereka lupa
bagaimana rasa dari sepotong daging. Tepat 17 tahun kemudian, Curtis (Chris Evans) dan Edgar (Jamie Bell) mulai bosan dengan
pidato utusan bernama Mason (Tilda
Swinton), dan ingin merubah sistem tersebut. Walaupun awalnya ditentang
oleh Gilliam (John Hurt), sebuah
masalah yang menimpa Tanya (Octavia
Spencer) kembali menghidupkan misi mereka, terlebih dengan adanya secercah
harapan pada sosok yang diyakini dapat menolong, Namgoong Minsu (Song Kang-Ho).
Ada tiga hal
utama yang sebenarnya sudah membuat Snowpiercer tampak sangat menarik bahkan
sebelum ia mulai hadir di layar. Pertama adalah Bong Joon-Ho, anda bisa tanya google siapa pria ini, Barking Dogs Never Bite, Memories of Murder,
The Host, Mother, tidak cukup satu paragraf untuk menggambarkan sutradara
asal Korea ini yang gemar berpindah genre film. Kedua adalah jajaran cast, saya
bahkan belum memasukkan Alison Pill
dan Go Ah-Sung yang juga tampil
memikat. Dan yang terakhir adalah konsep cerita layaknya kapal Nuh yang di
adaptasi dari novel grafik berjudul Le
Transperceneige karya Jacques Lob,
Benjamin Legrand dan Jean-Marc Rochette, yang kemudian
merubah Snowpiercer menjadi sebuah
film yang segmented.
Ya, Snowpiercer adalah film yang segmented,
tingkat tinggi malah. Pada awalnya ini memang tampak seperti sebuah film fantasy yang akan memanjakan penontonnya
dengan sentuhan action mewah untuk membangun cerita yang sesungguhnya sangat
sederhana, bagaimana cara bergerak dari belakang kereta api menuju bagian
depan. Namun ternyata Snowpiercer
punya cakupan yang jauh lebih “luas”, dimana narasi padat yang Bong Joon-Ho bentuk bersama dengan Kelly Masterson ini ingin bermain dengan
cara yang lebih cerdas dalam menyampaikan misi utama mereka. Ini bukan film
dimana anda akan dituntun untuk menemukan sebuah jawaban di akhir dan kemudian
berteriak penuh kegembiraan, ini adalah film yang sepanjang ia berjalan terus
berupaya memprovokasi anda, pada isu kemanusiaan.
Segi teknis
memang memikat, namun itu semua di gunakan oleh Bong Joon-Ho hanya sebagai elemen pemanis. Cinematography gemilang dengan tingkat kepadatan yang berimbang,
dibantu dengan score yang terus membantu proses membangun cerita, editing yang
memikat, mereka di eksekusi dengan baik walaupun sebenarnya punya nilai minus
pada CGI yang tidak begitu memukau, terutama kondisi di luar kereta api.
Kekuatan utama Snowpiercer terletak
pada cara ia bercerita. Memang tidak ada perkembangan cerita yang begitu luas,
namun ia berhasil membawa penontonnya masuk kedalam proses observasi dan
analisa pada tema utama yang sukses menghadirkan konsistensi pada momentum,
tekanan, dan dinamika cerita, serta mampu terus menarik atensi penonton.
Ya, Snowpiercer tampil menarik lewat cara
yang pintar, keren, dan elegan. Sebuah kenikmatan yang menyenangkan ketika
secara bertahap bersama karakter ikut berpindah antar gerbong, seperti ditarik
kedalam petualangan sederhana yang mendebarkan, namun tetap diberikan banyak
materi-materi segar yang variatif, dari pemandangan luar kereta api, masih
dengan pergerakan plot dan warna cerita yang mengejutkan, serta black humor,
hingga eksekusi pada hal sederhana seperti rokok, estafet, sauna, sushi, dan
sekolah. Begitu pula dengan kemudahan yang ia ciptakan agar penonton ikut
menaruh simpati pada karakter, terlibat dalam permainan emosional walaupun
tidak digali terlalu dalam. Mereka semua yang kemudian menjadikan beberapa
nilai minus skala kecil, seperti pergerakan mondar-mandir yang di beberapa
titik terkesan sedikit terlalu cepat dan terlalu lambat, terasa tidak begitu
mengganggu.
Kunci utama dari
menikmati Snowpiercer adalah mampu
atau tidak penontonnya untuk terus mengikuti irama dari tempo yang ia berikan,
naik dan turun, cepat dan lambat, dibeberapa bagian bahkan off-beat. Jika jawabannya
ya, maka bersiaplah untuk mendapatkan sebuah petualangan berisikan perjuangan
yang memang tidak akan menyediakan grand prize di akhir cerita, namun berhasil
membuat tema kebebasan dan humanisme yang ia usung melekat lama di ingatan penontonnya. Ya, ini seperti
sebuah alarm dini bahkan juga sindiran frontal yang implisit pada cara berjalan
dunia masa kini yang dapat dengan mudah dikategorikan sebagai sesuatu yang
salah.
Jika harus
menilai secara individu tidak ada satupun karakter yang berdiri seorang diri
dalam menggerakkan cerita, termasuk itu Chris
Evans yang sebenarnya berperan sebagai tokoh central. Bong Joon-Ho sepeti punya misi lain untuk menyampaikan betapa
pentingnya kerjasama dan saling membantu, ia memang kerap mendorong Evans
sebagai penguasa panggung utama, namun tetap menjaga kontribusi dari Jamie Bell, Octavia Spencer, Tilda Swinton,
Song Kang-Ho, dan Go Ah-Sung agar tidak tenggelam dan
hilang, dan ikut berperan aktif dalam menggerakkan konflik dan isu yang
dilemparkan.
Overall, Snowpiercer adalah film yang memuaskan.
Ini pertama kalinya saya melakukan editing dengan melakukan pemotongan dibanyak
bagian, sebagai upaya melindungi kenikmatan dari kejutan yang ia berikan. Konsep
yang kokoh, eksekusi teknis dan cerita yang padat dan penuh percaya diri, ia mampu mengejutkan
menggunakan kekerasan, berhasil menyentuh tanpa terkesan mellow, dan yang
terpenting menyadarkan kembali penontonnya pada sisi humanisme. Beautiful & segmented, an amazing implicit thought-provoking critique about humanism. Pertanyaan terakhir yang muncul justru terasa unik, dari skala 1-10 dimana posisi Bong Joon-Ho saat ini pada
bakat yang ia miliki? Lima film memukau dalam 13 tahun, gila.
Ini film asli kereeenn bangeeettttttt!!!!! Bener2 dituntut buat mikir!
ReplyDeleteudah nonto gua,dan gua berharap ada kelanjutan gimana cara mereka hidup berdua di alam yg udah berubah :D,mohon kunjungan gan :D
ReplyDeletecingconglu.blogspot.com/
Sebuah ekosistem alam dmna tiap kelompok punya peran nya masing2 yg mutlak dan harus tetap berjalan sbagaimana mestinya agar keseimbangan tetap terjaga.Itulah hukum alam yg jika dilanggar maka hancurlah keseimbangan nya.That's it itu lh yg saya pelajari dr film ini :)
ReplyDelete