RED
(Retired, Extremely Dangerous), merupakan sebuah
kejutan yang hadir tiga tahun lalu. Masuk dalam nominasi Golden Globes, meraih pendapatan tiga kali lipat dari budget, namun
disisi lain tidak mendapatkan respon positif dari banyak kritikus. RED 2 berupaya untuk meneruskan
“kesuksesan” yang telah diciptakan pendahulunya tersebut, masih dengan formula
yang sama bersama unsur kejutan yang sangat jauh lebih kecil jika dibandingkan
dengan berita kehadirannya dua tahun lalu.
Frank
Moses (Bruce Willis), kini telah menjalani kehidupan
normalnya bersama Sarah Ross (Mary-Louise
Parker), dan membuat keputusan yang terdengar familiar, tidak ingin lagi
melakukan comeback, meskipun telah dibujuk oleh sahabatnya Marvin Boggs (John Malkovich). Namun ketika ia menjauhi masalah,
justru masalah yang mendekati Frank. Dirinya beserta Marvin ternyata telah
menjadi buronan, dan masuk dalam sebuah kasus senjata nuklir yang merupakan
bagian dari proyek Perang Dingin.
Untuk membersihkan nama
mereka, Frank dan Marvin memutuskan untuk mencari sosok yang tahu lokasi dari
bom nuklir tersebut yang memaksa mereka berkeliling dunia dari USA, UK, Paris,
hingga Moskow. Celakanya ada dua kubu yang telah menjadikan mereka sebagai
target utama dengan ancaman nyawa, Victoria
Winters (Helen Mirren), wanita pensiunan yang dikontrak oleh MI6, serta Han Jo-Bae (Lee Byung-hun), pembunuh
kejam dengan dendam pribadi.
Meskipun mengusung
angka 2 pada judulnya, RED 2 tidak
menghadirkan sebuah kesulitan berarti bagi penonton yang belum menyaksikan film
pertamanya. Namun hal berbeda justru mungkin terjadi pada mereka yang telah
menyaksikan RED, memasang ekspektasi
yang tidak begitu tinggi sembari berharap kisah para pensiunan tua ini dapat
bergerak kearah positif dari segi cerita, bukan hanya sekedar menjadi sebuah
popcorn movie tanpa otak pengeruk keuntungan semata. Tapi fakta yang terjadi
justru bertolak belakang, RED 2 adalah sebuah penggambaran dari keras kepala
para sosok penting dibelakang layar.
Sebenarnya RED 2 dibuka dengan cukup manis,
terutama pada cara Dean Parisot
memasukkan kembali karakter Frank dan rekannya kedalam sebuah konflik spionase
global, adegan aksi bersama butiran peluru, dibalut bersama joke-joke yang
mampu bekerja dengan baik. Walaupun tidak berdampak positif pada ekspektasi
awal, setidaknya bagian pembuka mampu memberikan sebuah tampilan menjanjikan
yang cukup berhasil melepaskan diri dari pendahulunya. Tapi alih-alih menjadi
petualangan yang menyenangkan, RED 2 justru masuk kedalam kesalahan yang sama,
formula yang sama.
Ketika anda telah sadar
bahwa formula yang digunakan masih sama, image dari film ini secara spontan
akan bergerak kearah negatif, ya, jika. Jon
Hoeber dan Erich Hoeber seperti
melakukan copy paste dari script yang pernah mereka tulis, dan
melakukan modifikasi yang sayangnya tidak merubah cita rasa script tersebut.
Premis yang sempit tentu bukan menjadi masalah besar dari tipe film seperti
ini, namun bagaimana cara ia berkembang yang justru tampil menjengkelkan,
terutama pada plot cerita yang ketimbang menjadi sebuah misi menyelamatkan
dunia justru terlihat lebih mirip sebuah wisata keluarga dengan taruhan nyawa.
Karakter seperti dikebut, antagonis tidak total, protagonist tampil setengah
hati, dimasukkan kedalam script dengan struktur yang tidak rapi, bergerak cepat
selaras dengan dialog yang dipenuhi sindiran lucu serta one punch joke.
Keberhasilan diraih
dengan menutup semua kesalahan yang pernah dilakukan, bukan malah mengulangi
kesalahan tersebut. Lorenzo di
Bonaventura sepertinya tidak peduli dengan hal tersebut, dan tetap memilih
untuk menjadikan RED 2 persis seperti
film pertamanya, yang celakanya mungkin akan terasa basi bagi mereka yang telah
bosan dengan formula familiar tanpa eksekusi mumpuni seperti ini. RED 2 adalah
kemasan yang dipaksakan. Film ini seperti sebuah puzzle yang coba disatukan
dengan paksa untuk menjadikan kisah yang ia miliki tampak kompleks dan rumit,
namun sayangnya justru menjadikan ia tampak konyol.
Tampil mumpuni di 15
menit pertama, RED 2 berubah menjadi sebuah aksi spy penuh kekonyolan yang
kurang penting. Banyak dari mereka yang kehadirannya dengan jelas tampak
dipaksakan, hanya untuk menciptakan ruang untuk kehadiran tampilan visual dalam
bentuk ledakan, aksi saling tembak, serta aksi kejar-kejaran mobil. Kekacauan
ini semakin besar ketika film ini mulai berganti identitas, dari sebuah film
laga berbalut komedi, menjadi sebuah film komedi dengan suguhan aksi laga,
mulai tampak tidak serius, tensi cerita terus turun, dan menjadikan aksi kejar,
humor, hingga romance terasa hambar, dan menggelikan.
Namun at least RED 2
tetap mampu bergerak maju, walaupun hanya satu dari maksimal sepuluh. Hal
tersebut berkat kinerja dari para aktor yang ia miliki. Kunci film ini bukan
Willis, tapi John Malkovich yang
terus mampu memberikan warna segar di setiap kehadirannya di layar. Tidak ada
yang special dari Willis, begitupula dengan Mirren yang tetap tampil menarik
meskipun punya materi yang miskin. Yang mengejutkan justru Mary-Louise Parker yang mampu hadir sebagai sosok menjengkelkan,
serta Anthony Hopkins dengan misteri
dibalik ketenangan yang ia tampilkan. Sedangkan Catherine Zeta-Jones (Katja)
dan Lee Byung-hun murni sebagai
pemanis belaka.
Overall, RED 2 adalah film yang kurang memuaskan.
Meskipun telah menaruh ekspektasi yang tidak begitu tinggi, film ini tetap
tidak mampu mencapai level tersebut. Ini adalah kemasan daur ulang dari film
pertamanya, dengan konflik yang telah diperbaharui. Formulanya masih sama,
hasilnya pun masih sama. RED 2 adalah sebuah kisah petualangan liburan keluarga
yang bahkan cukup sulit untuk menyandang predikat popcorn movie yang
menyenangkan.
0 komentar :
Post a Comment