Puluhan, bahkan mungkin
ratusan kebaikan skala kecil yang anda ciptakan akan dengan mudah terlupakan
ketika anda melakukan sebuah kesalahan dalam skala besar yang celakanya juga
akan sangat memorable. Itu yang akan anda dapatkan dari Dead Man Down, karya
berbahasa inggris pertama dari Niels Arden Oplev, sutradara The Girl With Dragon Tattoo (Män som hatar kvinnor), sebuah thriller dengan cita rasa eropa.
Victor (Colin Farrell),
merupakan bawahan dari Alphonse Hoyt (Terrence Howard), salah satu mafia kelas
kakap. Namun keputusannya untuk bergabung bersama Alphonse ternyata tidak
seperti yang kita duga. Bukan uang, bukan pula kepuasan batin, namun Victor
ternyata mengemban misi terselubung untuk membalaskan dendamnya kepada
Alphonse, yang berasal dari sebuah insiden yang merenggut nyawa istri dan anak
perempuan tercintanya dua tahun lalu. Semua menjadi rumit karena hadir dua
kasus yang menghalangi misi utamanya.
Sumber pertama adalah
Alphonse itu sendiri, yang ternyata juga telah menjadi sasaran dari criminal
Jamaika, yang secara spontan ikut meningkatkan tingkat penjagaan pada dirinya.
Di sisi lain hadir Beatrice (Noomi Rapace), wanita dengan bekas luka diwajah
yang menjadikan ia kerap disapa monster, seorang tetangga yang kerap
menyaksikan Victor secara diam-diam melalui jendela apartemennya. Alphonse
punya misi sendiri, Victor punya misi sendiri, dan celakanya Beatrice juga
memiliki misi sendiri, yang ikut melibatkan Victor.
Seperti yang saya
harapkan sejak awal, Dead Man Down berhasil hadir dengan ciri khas yang saya
ingin saksikan dari Niels Arden Oplev, dimana ia membawa penontonnya berjalan pelan
dan nyaman, menghadirkan cerita yang kokoh, simple namun di bentuk seolah
tampak begitu kompleks, dan mampu membuat penontonnya penasaran dengan
pertanyaan kemana ia akan berjalan. Suasana crime yang ia ciptakan terasa
sangat kentara, dan itu dibalut dengan thriller yang sanggup memanfaatkan
setiap bagian yang ia miliki.
Sayang sekali, semua
hal indah tersebut hanya saya rasakan di bagian awal film, saat dimana semua
misteri itu masih terasa gelap dan belum terurai terlalu jauh. Ya, hanya bagian
awal yang saya rasa akan memiliki beberapa momen memorable, karena setelah ia
berjalan semakin jauh Dead Man Down seperti terjatuh dalam sebuah lubang yang
tidak memberikannya kesempatan untuk keluar, semua akibat ia tidak sabar untuk
membuka semua misteri yang ia miliki. Terasa terlalu frontal bagi saya,
menjadikan hal yang sebenarnya menjadi nilai utama yang ia jual justru
kehilangan daya tariknya dalam kurun waktu yang singkat dan cepat.
Ya, saya paling benci
dengan film dengan tipe seperti Dead Man Down, memberikan anda sebuah misteri
yang dibangun dengan baik diawal cerita, namun dengan begitu beraninya
memberikan porsi yang cukup besar dari setiap misteri yang ia bongkar, dan
celakanya tidak menyisakan setidaknya beberapa bagian menarik yang mungkin kelak
akan mampu menghadirkan mengejutkan. Hasilnya, saya merasa yang tersisa
hanyalah proses berisikan penantian, yang cukup menyedihkan karena selain
ceritanya yang sebenarnya klasik dan cukup predictable, Dead Man Down perlahan
sudah kehilangan daya tariknya dalam jumlah yang besar.
Ini yang terjadi pada
Dead Man Down, diawal anda tidak berharap banyak, ketika ia mulai hadir
perlahan anda mulai menaikkan ekspektasi anda berkat konflik yang menarik serta
script yang tampak meyakinkan, namun menjelang memasuki bagian tengah film anda
perlahan mulai merasa bosan, bosan, dan semakin bosan sehingga nilai yang ia
miliki perlahan berkurang, dan boom, hadir sebuah ending yang cukup memang
menarik dari tampilan visual, namun tampak bodoh untuk mengakhiri semua misteri
yang telah ia bangun sejak awal.
Well, ini menjadi bukti
bahwa mengendalikan sebuah film dengan bahasa yang bukan merupakan bahasa
dasarnya akan menjadi sebuah tantangan bagi semua sutradara. Ya, Niels Arden
Oplev seperti merasa kurang bebas dalam mengembangkan cerita yang ia miliki,
seolah terpaku dengan script yang diberikan kepadanya. Memang tidak hancur,
namun keterikatan yang sangat kuat tersebut menjadikan apa yang ia berikan
sangat tergantung pada kemampuan script untuk menarik perhatian penontonnya.
Akibatnya, ketika cerita itu menarik film juga ikut menjadi menarik, dan
sebaliknya.
Dead Man Down beruntung
karena ia berisikan para pemain yang mampu memberikan kinerja yang baik. Ya,
tidak ada satupun dari mereka yang sanggup tampil sendiri didepan, dan menjadi
sosok yang memorable untuk waktu yang lama. Semua standard, mampu menjalankan
tugasnya sesuai dengan porsi yang ia miliki, dan beberapa kali menyuntikkan
daya tarik kedalam cerita. Farrell tidak tampil brilliant, namun berhasil
menjaga misteri yang berada disekitar karakternya tetap hidup untuk beberapa
saat. Begitupula dengan Noomi Rapace yang seperti tampak mengerti keinginan
dari Niels Arden Oplev, namun kurang bersinar karena memiliki kapasitas yang
terbatas pada cerita.
Overall, Dead Man Down
adalah film yang kurang memuaskan. Sekali lagi, film ini hanya menarik diawal,
seiring berjalannya waktu perlahan mulai runtuh dalam skala yang memang sangat
kecil, namun celakanya mengalami degradasi yang sangat besar di bagian penutup.
Berjalan pelan dan tenang menjadikan film ini menarik, sekaligus bukti bahwa
Niels Arden Oplev tidak berperan besar dalam kegagalan film ini. Sumbernya
adalah script, yang seperti terasa kehilangan arah dan tampak bingung di bagian
tengah. Saksikan, dan anda akan juga akan merasakan rasa bingung yang dimiliki
oleh J.H. Wyman pada cara untuk mengakhiri film ini.
0 komentar :
Post a Comment