Menjadi dewasa sebelum waktunya bukan suatu hal yang aneh
namun justru merupakan sebuah kelebihan yang mungkin cukup jarang kita temui.
Tapi, sukses atau tidaknya pribadi tersebut untuk dapat bertahan sangat
tergantung pada mental dan sikap yang ia miliki, karena sifatnya yang premature
dan berada di usia yang belum stabil, dewasa sebelum waktunya punya potensi
membawa pribadi tersebut menuju jurang kehancuran dengan berbagai masalah yang
mungkin menghampirinya.
Simon (Kacey Mottet Klein), remaja berusia 12 tahun yang jika dilihat
dari struktur tubuhnya akan membuat anda tidak percaya dengan apa yang ia
lakukan. Tingginya tidak seberapa, tubuhnya juga kurus, namun Simon telah
menjadi tulang punggung bagi keluarganya, orang yang mencari uang untuk membeli
makanan, minuman, hingga tisu toilet. Cukup tragis, karena Simon kini hidup
tanpa bimbingan kedua orang tuanya yang ia sebut telah tewas dalam kecelakaan
mobil.
Kini Simon hidup di sebuah apartemen di kawasan kumuh,
bersama Louise (Léa Seydoux),
kakaknya yang sangat useless, bekerja di malam hari tanpa pernah mau
memberitahu Simon jenis pekerjaan yang ia lakukan, dan gemar menghabiskan waktu
bersama kekasihnya yang Simon kenal sebagai pria dengan BMW berwarna merah.
Akhirnya, Simon terpaksa mencari uang, menaiki bukit menuju sebuah resort ski.
Tapi apa yang bisa remaja muda kerjakan di resort ski mewah? Ya, banyak
perkerjaan ringan yang tersedia untuk remaja tanpa pengalaman seperti Simon,
salah satunya adalah mencuri, seperti sarung tangan, kacamata, papan ski, yang
kemudian ia jual kembali.
Lantas apa tujuan utama film ini? Ya, tidak ada main goal
dalam konteks konflik cerita yang Ursula
Meier usung. Sister, yang dalam bahasa prancisnya berjudul L'enfant d'en
haut, adalah sebuah studi karakter yang mencoba mengangkat tema kesenjangan
sosial di masyarakat dalam lingkup ekonomi. Cerita yang ia tulis bersama Gilles Taurand dan Antoine Jaccoud ini dengan jelas sudah menggambarkan kesenjangan
sosial itu dalam bentuk dua dunia yang menjadi lahan bermain bagi Simon, resort
ski dengan segala kemewahan di puncak bukit pegunungan Alpen,
sedangkan apartemen yang berantakan di bagian bawahnya.
Kondisi keluarga disfungsional yang film ini pakai justru
menjadi fokus utama yang sangat menarik. Seorang kakak yang seharusnya
mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin, justru seolah menjadi patung
bernyawa yang selalu di berikan nafkah oleh adiknya. Ini cukup emosional,
karena setelah merasa tersentuh dengan tindakan serta perjuangan Simon, anda
justru akan menemukan sebuah beban pada karakter yang dibalut dengan rasa sakit
penuh putus asa. Ya, menjengkelkan ketika menyaksikan anak semuda itu harus
mencari uang untuk bertahan hidup bersama seorang kakak perempuannya yang tak
berguna.
Sepintas film ini akan tampak layaknya The Kid with a Bike, berkisah tentang perjuangan anak remaja untuk
dapat memperoleh kebahagiaan. Sister mungkin sedikit lebih unggul dalam konteks
dampak emosional yang ia tinggalkan. Hal tersebut berkat Klein yang sangat
mampu menjadikan karakter Simon menjadi hidup, berhasil menarik simpati
penonton kepadanya. Di bantu dengan cinematography
yang di kemas dengan baik, dua karakter utama seolah menebar
sebuah janji akan ada sebuah kejutan yang mereka berikan di film ini. Ya, mereka
seperti menyimpan sebuah misteri yang besar dan dalam, yang ternyata memang eksis dan sanggup memberikan kejutan tingkat tinggi sembari menyusupkan
rasa hancur kepada penontonnya.
Film ini akan menjadi nikmat jika anda tidak menaruh
ekspektasi yang begitu tinggi akan sebuah drama berbalut crime yang dikemas
dengan intens dan dalam. Sister justru lebih mengedepankan permainan emosi
dengan memanfaatkan hubungan keluarga, yang semakin di pertajam dengan
kesenjangan sosial ekonomi. Premisnya yang menarik sukses di eksekusi dengan
apik oleh Meier, menampilkan sesuatu yang menjanjikan sejak ia dimulai. Plot
yang ia punya memang terkesan klise, namun menjadi menarik karena dikemas
dengan cantik tanpa terkesan murahan. Ya, Meier berhasil membuat Simon bermain-main
bersama penonton.
Tapi, sebuah start yang manis dan terus di bangun dengan
penuh pertanyaan, justru rusak ketika semua telah ia ungkap. Setelah anda tahu
yang sebenarnya, film ini tidak lagi menyisakan misteri yang menarik. Hal
tersebut tampak sangat jelas pada cara ia mengakhiri semuanya, seolah bingung
sehingga apa yang ia berikan tidak menciptakan klimaks yang memukau. Mungkin
Meier punya maksud tersendiri pada cara yang ia pilih, namun saya seolah merasa
ada bagian yang tertinggal, bagian yang seharusnya dapat manjadi jembatan
terakhir penghubung cerita menuju garis akhir.
Ini film yang indah, karena setiap elemen yang ia miliki
mampu memberikan kombinasi yang sangat cantik. Anda dapat merasakan atmosfir
gelap yang ia tampilkan, rasa sedih yang menghancurkan, dan kekuatan yang
miliki rasa cinta melalui hubungan kakak dan adik. Semua berkat setting yang
telah disusun oleh Meier, baik lewat keluarga disfungsional dan juga
kesenjangan sosial. Hal tersebut membantu dua pemeran utamanya, Léa Seydoux dan
juga Klein, berhasil membangun chemistry,
Klein membuat anda terpukau dan simpati, dan berkat Klein pula pekerjaan dari
Léa Seydoux menjadi lebih mudah karena posisinya sebagai objek sumber dari
semua masalah.
Overall, Sister
(L'enfant d'en haut) adalah film yang memuaskan. Kembali saya ulang, ini
adalah film yang indah, sangat menyenangkan meskipun ia mengajak anda kedalam
sebuah proses yang di kelilingi atmosfir gelap dari konflik utama. Memang
terasa seperti ada satu bagian cerita yang kurang di bagian akhir, sehingga
penutup yang ia berikan kurang memberikan klimaks meskipun semua pesannya
tersampaikan dengan memukau. Ya, dapat dimaafkan, karena permainan emosi yang
ia tampilkan sebelumnya punya kadar hipnotis yang mumpuni.
0 komentar :
Post a Comment