“Has
Putin done anything good for you?”
Siapa berani lawan Vladimir Putin? Dalam cakupan yang lebih luas tentu saja ada tapi di negara yang telah ia kendalikan sejak tahun 1999 pria 70 tahun dengan level of support di atas 69% itu nyaris tak tersentuh posisinya sebagai sang penguasa. Padahal di bawah kepemimpinan Putin Rusia mengalami kemunduran demokrasi dan pergeseran ke arah otoritarianisme, bukan hanya absennya pemilu yang adil saja tapi juga pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pemenjaraan serta penindasan terhadap lawan politiknya. Tidak heran jika warga dunia di luar negara yang sedang dalam “pengasingan” oleh beberapa negara lain itu bertanya-tanya, apakah Putin memang sekuat itu sehingga tidak ada yang berani untuk melawannya? Jawabannya adalah, ya Putin memang kuat, tapi ada yang berani mencoba melawannya. Namanya Alexei Navalny. ‘Navalny’: a David and Goliath fight with Putin.
Di tahun 2020 Pemimpin oposisi Rusia bernama Alexei Navalny mencuri perhatian banyak orang, karena perjuangan yang telah ia coba bangun mencapai satu titik yang dapat dikatakan adalah “ledakan utama” yang selama ini ia dan timnya antisipasi. Navalny sendiri telah dikenal luas di negaranya sebagai salah satu sosok yang berani secara terbuka melancarkan kritik terhadap pemerintahan yang dipimpin Vladimir Putin. Dalam penerbangan dari Tomsk menuju Moscow, Navalny jatuh sakit, dirinya kemudian dibawa ke Hospital di Omsk dan mengalami koma. Dua hari kemudian ia dievakuasi ke Berlin, Jerman.
Hasil
penyelidikan menyebutkan bahwa Navalny telah diracun dengan menggunakan Novichok nerve agent, yang merupakan
senjata kimia biner mematikan. Tidak hanya satu melainkan ada lima laboratorium
bersertifikat Organisation for the
Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) yang mengkonfirmasi hal tersebut.
Sanksi dijatuhkan kepada the Russian
Federal Security Service (FSB) namun hal tersebut tidak membuat the Kremlin bergeming, tuduhan yang
dilayangkan Navalny kepada Vladimir Putin
bahwa Presiden Rusia itu merupakan sosok utama yang bertanggung jawab atas
peracunannya juga ditanggapi secara dingin.
Sutradara Daniel Roher tidak buang waktu sejak awal dan langsung membuat agar narasi berakselerasi secara cepat, pilihan yang memang dapat dipahami karena di sini dia punya satu orang besar yang dapat dengan mudah ditempatkan di posisi antagonist. Dan juga tidak butuh waktu lama untuk “mengukuhkan” status tersebut. Dengan kekuasaan dan juga power yang ia miliki sulit untuk menampik bahwa Vladimir Putin merupakan satu dari beberapa pemimpin negara dunia yang tampak mengerikan, perlahan namun pasti Putin membangun kembali image adikuasa atau superpower yang dulu lekat dengan Uni Soviet. Daniel Roher manfaatkan fakta tersebut dengan sangat baik dengan langsung mendorong satu kasus besar di tahun 2020 yang lalu, ketika pemimpin oposisi Rusia diracuni.
Sebuah aksi yang sebenarnya sudah lazim atau tidak asing dalam permainan politik yang tentu saja penuh dengan gesekan di mana hanya si kuat yang mampu bertahan di dalam persaingan. Tapi menariknya tidak ada kesan “biasa” pada peristiwa yang menimpa Alexei Navalny itu, yang sejak awal dengan cepat memperkenalkan dirinya kepada penonton sebagai sosok pahlawan utama. Status tersebut juga memudahkan Daniel Roher untuk membangun koneksi antara Navalny dengan penonton, seorang underdog yang mencoba membawa perubahan bagi negaranya, Rusia. Sesekali Istri dan juga karyawan serta orang kepercayaannya muncul di layar, but throughout its running time camera always stays close to Navalny. Daniel Roher menggunakan akses itu dengan baik, terutama dalam membentuk runtutan menuju main chaos.
Ada beberapa isu yang coba diusung di sini tapi tentu saja yang paling dominan ialah momen the poison attack yang telah dibantah oleh the Kremlin. Daniel Roher terus memupuk secara perlahan pesona “pahlawan” Navalny yang bahkan berkata bahwa semakin perlawanannya itu dikenal banyak orang maka semakin aman pula dirinya. Tapi jangan mudah percaya dengan politikus, dan itu yang saya rasakan pada sosok Navalny. Putin bersama antek-anteknya memang dikenal tidak segan menggunakan cara kotor untuk mempertahankan kekuasaan mereka serta menghilangkan kritik terhadap rezim, tapi apakah itu otomatis membuat Navalny menjadi sosok dengan integritas yang lebih baik? Roher memberi ruang pada durasi yang singkat itu bagi pertanyaan seperti motif Navalny hingga statusnya sebagai reserve dark knight.
Dan itu pula yang membuat ‘Navalny’ terasa menarik, karena meskipun merupakan kisah tentang perjuangan perlawanan melawan penguasa namun di sisi lain tidak membuat penonton buta. Hitam dan putih hadir tapi mereka tidak terlihat kontras, ambiguitas itu muncul dan membuat pengamatan jadi punya excitement yang oke. Image Putin yang mengerikan dipertajam di sini, sedangkan lewat kepiawaiannya dan tim dalam menggunakan media sosial seperti Twitter, Youtube, hingga Tik Tok status Navalny sebagai Politikus oposisi terpenting Rusia di sepuluh tahun terakhir juga terbentuk cepat dan kuat. Satu menyerang secara eksplisit, sedangkan satunya lagi melancarkan serangannya dengan cara yang licik, dua sisi berisikan investigasi yang Daniel Roher bentuk dengan nafas thriller yang sangat dominan.
‘Navalny’ memiliki apa yang saya harapkan dari sebuah documentary film, yakni tidak hanya mampu mencuri perhatian tapi juga membawa saya masuk dan merasa seolah terlibat di dalam konflik, isu, dan pesan yang disajikan. Kamera menangkap secara konsisten secara dekat sosok Navalny dan membuat penonton merasa seperti menjadi bagian dari perjuangannya, sesuatu yang awalnya tampak sepele tapi secara perlahan tapi pasti terus bereskalasi semakin tinggi dan terasa semakin berbahaya. Nyawa menjadi taruhan dalam pertarungan David melawan Goliath ini, yang meski memang tidak menampilkan in-depth or critical analysis tentang posisi politik dari Navalny secara menyeluruh namun tetap berhasil menjadi eye opener bagi kondisi pemerintahan di negara Rusia, situasi yang sebenarnya telah jadi rahasia umum.
Tidak heran jika proses pencarian kriminal di sini bermakna ganda, karena otomatis Putin juga menjadi sorotan lewat aksinya yang akan melakukan segala yang ia bisa untuk mendiskreditkan kritikus paling kuat di Rusia bernama Navalny. Daniel Roher sukses menjaga kobaran api di panggung utama terus menyala besar, lalu membawa penonton mengamati papan putih berisikan beberapa buah foto suspect yang saling terkoneksi. Rasa curiga tidak pernah reda meski ada beberapa momen ringan yang tersaji, dari memberi makan kuda hingga Call of Duty menemani dokumentasi pada the poison attack dengan ujung atau akhir yang sebenarnya sederhana. Ada motif utama Navalny terjawab di akhir cerita, bagaimana percobaan perlawanan yang dia dan timnya lakukan adalah sebagai alarm agar tidak membiarkan kejahatan menang. Apakah Putin penjahat?
Overall, ‘Navalny’ adalah film yang memuaskan. Berakselerasi cepat sejak awal mendorong satu kasus besar di Rusia, ‘Navalny’ akan membawamu masuk ke dalam sebuah chaos yang dibentuk dengan baik oleh Daniel Roher. Dari koneksi antara penonton dengan sosok utama yang berstatus underdog, serta tentu saja image mengerikan dari si Goliath, hitam dan putih hadir dalam narasi berisikan investigasi dengan nafas thriller dominan. Mempertahankan ambiguitas membuat ‘Navalny’ berhasil membawa saya masuk dan merasa seolah terlibat di dalam konflik, isu, dan pesan yang disajikan dengan excitement yang terkendali, sebuah potret perjuangan perlawanan terhadap rezim yang dapat membuatmu bersyukur masih dapat hidup dalam kebebasan dan demokrasi, meski memang kualitasnya tak lagi baik kini.
“The only thing necessary for the triumph of evil, is for good people to do nothing. So don’t be inactive.”
ReplyDelete