“Killing
is like smoking. Only the first time is hard.”
Salah satu hal yang lekat dengan cinta adalah ia bisa menjadi misterius dan membuat bingung. Kadang sikap ramah atau bahkan senyuman kecil dapat melahirkan asumsi yang membuatmu bertanya-tanya, apakah itu merupakan sebuah respon yang positif atau hanya sekedar formalitas yang sederhana saja? Atau justru sebuah jebakan agar kamu merasa diperhatikan dan berharga di awal, untuk kemudian "dipermainkan" oleh hati? Cinta memang terasa indah, tapi cinta juga bisa menjadi manipulatif serta membawamu masuk ke dalam bencana. Hal itu yang coba diutak-atik oleh Sutradara Park Chan-wook, tetap bertumpu pada reputasi brutal and merciless miliknya untuk menyajikan one of the most exciting and innovative romantic mystery in the last decade. ‘Decision to Leave’: an elegant love story.
Tubuh pria bernama Ki Do-soo (Yoo Seung-mok) ditemukan tak bernyawa di samping sebuah tebing, tempat di mana pria paruh baya kerap melakukan hobby miliknya. Do-soo memang gemar mendaki dan memanjat tebing, ia merekam aktifitasnya itu dalam bentuk video. Tapi kali ini ia nahas, tubuhnya diperkirakan terlebih dahulu menghantam tebing sebanyak tiga kali sebelum mendarat di tanah. Indikasi awal adalah Ki Do-soo melakukan aksi bunuh diri, tapi skenario lain muncul, yakni itu adalah kecelakaan yang telah direncanakan. Dugaan tersebut berlandaskan sikap Do-soo yang terlalu posesif kepada sang Istri, Seo-rae (Tang Wei), yang adalah imigran dari China. Soe-rae membantah dugaan tersebut, Hae-jun (Park Hae-il) pun demikian.
Dibantu Soo-wan (Go Kyung-pyo) Detektif yang dikenal gigih itu mulai melakukan penyelidikan terhadap kasus kematian Ki Do-soo, mencoba menemukan bukti di lapangan dan juga menginvestigasi langsung Seo-rae. Saat penyelidikan berlangsung pria yang mengisi akhir pekannya bersama sang Istri, Jung-an (Lee Jung-hyun) itu sedang kesulitan untuk tidur. Alhasil ia mencoba mengamati Seo-rae di malam hari, mengamati wanita yang berprofesi sebagai Nurse itu dari kejauhan. Tapi tanpa Hae-jun sadari ketertarikannya pada Seo-rae perlahan bergeser ke ranah berbeda, dan itu juga dialami oleh Seo-rae terhadap Hae-jun. Pertanyaannya adalah, apakah perasaan itu nyata atau hanyalah sebuah ilusi manipulatif semata?
‘Decision to Leave’ dimulai sebagai pementasan klasik whodunit crime thriller yang juga menggunakan konflik klasik: seorang Detektif sedang menyelidiki sebuah kasus kematian di mana salah satu anggota keluarga diduga sebagai tersangka utamanya. Tapi sama seperti deretan film miliknya di sini Sutradara Park Chan-wook kembali berhasil membuat penonton “terkejut” yang kali ini ia lakukan dengan menggunakan materi yang sedikit unfamiliar, yakni humorous story. Sedikit mengejutkan memang mendapati narasi diisi Park Chan-wook dengan cukup banyak elemen komedi, hadir di tengah depressing atmosphere yang konsisten menjadi jualan utama cerita. Tentu saja itu membuat warna cerita jadi terasa variatif, dan berkat penanganan yang tepat menghasilkan kombinasi yang terasa sangat padat sebagai modern crime noir with erotic tension.
Ya, apa yang dimulai sebagai crime thriller itu perlahan mulai bergeser menjadi kisah cinta yang terasa asing, memoles kondisi stockholm syndrome di mana protagonist mulai “kehilangan prinsipnya” terhadap sosok yang diduga merupakan tersangka maupun ikut andil dalam kasus kematian suaminya. Alasannya sederhana, dari luar si wanita tampak cantik dan muncul hasrat dari dalam diri that insomniac Detective untuk melindungi si wanita tersebut. Situasi itu menciptakan erotic tension sehingga meskipun narasi terus berkembang sebagai sebuah misteri pembunuhan tapi detak jantung utama film ini justru sebuah love story, di mana ketegangan bercampur pula dengan kelembutan. ‘The Handmaiden’ bermain seperti itu, dan jika mundur sedikit ke belakang ‘Stoker’ juga demikian, “mengurung” psikologis karakter terlebih dulu.
Ada titik di mana bagaimana kasus pembunuhan itu akan terjawab perlahan mundur dari spotlight, dan diganti dengan permainan cat and mouse dengan ambiguitas yang kuat antara jahat dan baik. Park Chan-wook jagonya dalam hal tadi, hubungan antara dua karakter utama mulai menjadi percampuran antara lembut dan obsesif, dan di sana ia seolah menggiring penonton untuk fokus pada apa yang sebenarnya terjadi di alam bawah sadar protagonist yang berujung pada gejolak batin di mana hasrat bertarung dengan integritas. Sesekali Hae-jun menggunakan obat tetes mata, seperti menandakan bahwa visinya telah kabur atau blurry akibat fantasy, ia rasakan lagi butterflies in the stomach. Berbagai ledakan kecil disebar oleh Park Chan-wook, staged with so much technical brilliance menuju kejutan di bagian akhir.
Kejutan yang terasa segmented, sebuah finale yang punya power dalam membuat penontonnya merasakan itu sebagai sesuatu yang heartbreaking atau justru terasa seperti resolusi yang tidak meyakinkan. Psychological thriller memang jadi salah satu elemen di film ini, dan Park Chan-wook sukses membuat penonton terus merasa waspada dengan menggunakan interaksi antara Seo-rae and Hae-joo, karena kita pada dasarnya sadar bahwa ada konsekuensi yang mutlak di sana. Hubungan yang platonic, sebuah kisah cinta yang tampil layaknya sebuah permainan dengan kendala bahasa menjadi alasan utama. Dan perlahan segala sesuatu yang sebenarnya terjadi pada dua karakter utama menjadi semakin misterius, dan hubungan itu bermain-main antara sebuah rencana jahat, cinta penuh nafsu dan gairah, atau hubungan percintaan dengan koneksi yang sangat dalam. Terus bereskalasi with ambiguity.
Ada dampak dari presentasi yang terus berselimutkan ambigu itu, seperti contohnya berbagai "belokan" itu bisa menciptakan kesan bahwa narasi terasa kurang presisi, begitupula dengan konflik yang mungkin akan terasa dibesar-besarkan. ‘Decision to Leave’ sendiri memang terkunci di elemen romance di paruh kedua meskipun tetap ada kasus kriminal di dalam cerita. Tapi kondisi tersebut bagi saya tampak seperti memang sudah diatur sedemikian rupa agar goals utama tercapai. Tampak kusut namun diurai dengan halus, bersama dengan Jeong Seo-kyeong di sini Chan-wook tampak memang sengaja “membatasi” akses bagi para penonton ke dalam cerita, disajikan sesuai dosis yang cukup membuat kita tahu, sedangkan sisanya dilepas sebagai obsessive melodrama dengan misteri yang membuatmu bertanya-tanya.
Keputusan yang jelas akan membagi penonton ke dalam beberapa kelompok. Mereka yang ingin jawaban pasti tentu akan menganggap ini adalah kisah cinta yang hanya berisikan basa-basi, tapi jika kamu coba bermain dengan interpretasi yang lebih jauh lagi mungkin kamu bisa tiba di titik tersadar bahwa ini merupakan kisah tentang kekuatan mengerikan yang dimiliki oleh cinta, bagaimana seseorang bersedia untuk melakukan apa saja demi cinta. Bahkan jika coba dilihat dari sisi lain maka salah satu atau mungkin dua karakter di film ini mengalami disorientasi atau perubahan kondisi mental yang membuat diri mereka bingung. Karena apa? Karena cinta? Tidak ada ledakan besar tapi satu ledakan itu sudah cukup untuk menyayat hati. Apalagi jika penonton telah hanyut di dalam permainan dua karakter utama yang diperankan dengan baik oleh Tang Wei dan Park Hae-il.
Jiwa dari film ini tidak hanya dari script saja, tapi juga dari karakternya, dan dengan chemistry yang memikat Tang Wei dan Park Hae-il berhasil membawa penontonnya masuk ke dalam kisah cinta yang unik itu. Tang Wei berhasil membentuk Seo-rae menjadi femme-fatale dengan pesona kuat, sosok yang berhasil membuat penonton tersenyum tiap kali Seo-rae menunjukkan sisi rentannya, karena kamu telah dibuat mengantisipasi aksi licik dengan percaya diri yang tinggi darinya. Sedangkan di sisi lain Park Hae-il berhasil membentuk Hae-joon yang sebenarnya sejak awal memiliki potensi besar untuk berakhir sebagai karakter yang klise. Seorang insomnia yang tidak hanya gigih saat investigasi, Hae-jun dengan compulsive-obsessive disorder miliknya menjadi "boneka" yang dibeli dan terombang-ambing di dalam fantasi.
Ya, fantasi, elemen yang tanpa diduga juga hadir mewarnai film ini. Perasaan itu merupakan hasil dari visual yang tampil dengan palet warna yang terasa sangat kaya dan menebar kesan hangat serta kontras. Production design juga kurang ajar, kerap membuat saya seperti merasa berada di panggung boneka atau dunia fantasi, punya value yang sangat impresif terutama pada komposisi, seperti kolam renang dengan darah itu. Begitupula dengan cinematography, memberi kesan sophisticated yang manis sehingga membuat vibe sensual konsisten tercipta, dipoles secara elegant dan membantu emosi baik pada karakter dan konflik bertumbuh menjadi semakin rumit. Visual seolah membungkus konsep yang coba diusung oleh Park Chan-wook di sini, sebuah romantic mystery dengan nafas thriller dan noir yang bergerak lembut dan disusun secara hati-hati dengan hati.
Overall, ‘Decision to Leave (Heeojil
Gyeolsim)’ adalah film yang sangat memuaskan. Perwakilan Korea
Selatan di kategori Best International
Feature Film Oscars tahun depan ini akan saya kenang sebagai sebuah romantic mystery bernafaskan noir yang
sangat lembut, satu lagi karya cantik dari mastermind
di balik hits seperti ‘Sympathy for Mr.
Vengeance’, ‘Oldboy’, ‘Lady Vengeance’, ‘Stoker’, dan ‘The Handmaiden’ yang kali ini menggabungkan kasus pembunuhan
bersama dengan melodrama about a deeply
romantic cat and mouse relationship. Impresi awal saya usai menonton film
ini adalah elegan, dari konflik berisikan tragedi yang menyakitkan dibangun secara
pintar bersama humor yang oke, serta
drama dengan muatan emosi yang terasa kuat dalam balutan elemen teknis yang
cantik serta tentu saja kinerja akting memikat dari para Aktor. All of them, masterfully staged. Segmented.
“He perished as he wished.”
ReplyDelete