“Lu
beneran jatuh cinta sama cewek ajaib ini ya?”
Cinta itu misterius memang, di satu sisi ia dapat membuat manusia merasa bahagia seolah matahari, langit, dan musim adalah miliknya dan tercipta untuk dirinya, tapi di sisi lain cinta juga dapat menjadi sumber rasa sakit yang sulit untuk sembuh apalagi dilupakan. Tapi untuk yang terakhir tadi, agar dapat lepas dari belenggu kelam itu pun dibutuhkan kekuatan dari cinta, salah satunya dengan menemukan sosok yang dapat membuatmu merasa dicintai. Bagaimana cara menemukan sosok seperti itu? Building a bridge of chance for your love, karena takdir selalu dimulai dengan mencoba, we may become closer, or stay forever apart. We can only choose one. ‘My Sassy Girl’: sketchy love story.
Gian (Jefri Nichol) sudah dimarahi oleh sang Ibu, Ratih (Indy Barends) untuk pergi ke rumah tantenya, yang ingin menjodohkan Gian dengan seseorang. Tapi celakanya saat berada di stasiun hingga ketika telah berada di dalam kereta Gian justru terus menerus terpaku pada seorang wanita muda yang sedang mabuk. Namanya adalah Sisi (Tiara Andini), dan sangat mudah untuk menilainya sebagai sosok yang galak, ia seorang alpha female yang gemar “memanfaatkan” kepolosan Gian untuk menemani dirinya. Kisah yang berawal dari stasiun dan berlanjut ke kamar hotel itu ternyata terus berkembang semakin jauh.
Gian dan Sisi berteman dan perlahan merasa telah nyaman satu sama lain, seperti yin dan yang mereka saling melengkapi meskipun Sisi sering merundung Gian. Sisi sendiri punya keinginan untuk menjadi penulis cerita film layar lebar, dan dia punya fantasi tentang sosok di masa depan yang kembali ke masa lalu. Gian tidak percaya akan hal itu tapi dengan sabar “menyemangati” Sisi, wanita yang ternyata punya kisah muram di masa lalu dan sedang mencoba menemukan kembali kebahagiaan dalam hidupnya. Sisi masih kesulitan untuk menemukan itu, ia bahkan merasa tidak pantas untuk hidup bahagia bersama Gian.
First of all saya adalah bagian kelompok penonton yang sudah kenal lebih dahulu dengan sumber asal film ini, karya Sutradara Kwak Jae-yong yang bisa dikatakan hingga saat ini masih menjadi salah satu film romance yang paling dicintai di negara asalnya, Korea Selatan, dan bahkan dibuatkan spiritual prequel, yakni Windstruck. Berkisah tentang seorang pria yang tergolong kaku ketika berurusan tentang cinta dan suatu ketika bertemu dengan wanita asing yang unik dan energik, yang jika dirangkum dalam satu kata yakni sassy. Film tersebut saya tonton bukan di beberapa tahun terakhir ini, saya lupa tepatnya kapan tapi jelas sudah cukup lama, namun sampai sekarang masih membekas di ingatan saya berbagai momen manis dari film tersebut yang memang sangatlah ikonik.
Itupula alasan mengapa saya senang ketika Falcon Pictures mengumumkan akan mengadaptasi kisah tersebut, walaupun di sisi lain juga ada rasa waspada. Mengapa? Karena tidak semua film exist untuk kemudian dibuat ulang kembali, ada beberapa yang memang hadir membawa cerita yang cukup dipresentasikan sekali saja. Tentu saja salah satu alasan klasik bisa diterima, yakni mencoba menggunakan materi sumber utama untuk menyajikan isu dan pesan serupa dengan suntikan "nafas" yang berbeda, serta cita rasa yang berbeda pula. Tidak salah memang, dan adaptasi selalu punya tantangan tersendiri, menyesuaikan materi dengan budaya lokal misalnya agar cerita dapat diakses lebih mudah oleh penonton, termasuk pula membentuk kembali kelebihan yang exist di sumber utama dan memperbaiki kekurangannya.
Untuk mencapai itu dibutuhkan konsep yang tidak hanya jelas saja, tapi juga kuat dan konsisten. Dan itu yang membuat versi Indonesianya ini terasa menarik di awal, sejak momen di stasiun kereta itu penonton langsung disuguhi visual dengan warna-warna yang terasa kontras. Trik yang oke sebenarnya terutama untuk membentuk pesona dua karakter utamanya, banyak mengingatkan saya pada peran production design "My Stupid Boss" dalam membantu pembentukan karakter Bossman di film pertama. Fajar Bustomi dan timnya mencoba agar versi mereka punya sentuhan modern yang energik, layaknya anak muda yang penuh warna dengan sedikit paduan sentuhan futuristik yang manis. Kualitas visual ternyata konsisten menarik hingga akhir, tapi celakanya justru menjadi hal paling menarik dari film ini.
Vibrant dan terasa kontras, warna-warna yang menarik itu terus mengikat atensi saya serta perlahan terasa sangat mendominasi, dan mengalahkan peran dari emosi. Ya, ini yang saya sesalkan dari versi Indonesia bagaimana pesona terbesar di film asalnya seperti tidak pernah berhasil berdiri kokoh memimpin di depan, konsisten timbul dan tenggelam. Titien Wattimena sebenarnya tidak mengubah terlalu banyak struktur cerita, tapi bersama dengan Fajar Bustomi keduanya terasa mencoba terlalu keras untuk “mengindonesiakan” tiap elemen, baik itu dari cerita dan juga karakter. Niatnya bagus tapi eksekusinya kurang, tidak hanya pesona karakternya saja yang terasa konsisten datar tapi saya juga tidak klik dengan pesona sassy yang sejak awal seharusnya mendominasi, semakin jauh narasi bergulir ia terasa semakin melata.
Pria muda yang belum pernah pacaran, lalu bertemu wanita muda yang dominan dan aneh, ‘My Sassy Girl’ seharusnya menjadi penggambaran tentang nilai penting dari cinta, baik itu dari respect hingga sikap sabar dan menyayangi. Hal tersebut tampil cantik di tangan Kwak Jae-yong dua dekade yang lalu, dan salah satu alasan mengapa film tersebut sangat memorable, tapi sayang tidak demikian dengan versi adaptasi ini, ia terasa lebih memorable sebagai potongan sketsa, bukan satu kesatuan. Seperti ada yang "hilang" di bagian tengah, potongan yang seharusnya berperan penting mempersiapkan ledakan di babak akhir yang di sini kualitasnya kurang oke. Alhasil permasalahan yang “ternyata” dialami karakter terasa out of nowhere saat tiba, seharusnya diberi eksposisi yang membangun itu agar mengikat atensi dan perlahan terasa mencolok secara bertahap. Yang terjadi di sini: kisah wanita menyiksa pria.
Saya menikmati sepertiga awal tapi rasa senang mulai pudar setelah itu, ketika narasi mulai berisikan dialog yang terasa kaku dan kurang punchy, dan geraknya pun kurang fluid. Sama seperti kinerja akting para aktor dan chemistry yang mereka bangun. Ini acting performance pertama Tiara, keputusannya untuk memilih Sisi sebagai karakter pertamanya jelas keputusan berani, atau lebih tepatnya sebuah perjudian besar. Di satu sisi Tiara sendiri memang punya pesona unik di kehidupan nyata, tapi sebagai Sisi, pesona itu tidak terbentuk dengan baik, terasa mentah dan kaku. Jefri mencoba dengan sekuat tenaganya untuk membuat karakter Gian terasa hidup, dan secara individual dia tergolong oke, tapi itu tidak cukup mengingat di My Sassy Girl rilisan 2001 kombinasi dua karakter utamanya adalah pesona terbesar. Di sini hal tersebut terasa lemah.
Overall,
‘My Sassy Girl’ adalah film yang kurang memuaskan. Mengadaptasi sebuah karya
yang telah populer jelas bukan sebuah pekerjaan yang mudah, karena adaptasi
sendiri pada dasarnya bukan cuma sekedar aksi copy and paste saja, harus
disertai pula dengan modifikasi kecil yang dapat menjadi pembeda, syukur-syukur
sentuhan tersebut dapat memperbaiki kekurangan sumbernya. Film ini tidak
memperbaiki hal minus film ‘My Sassy Girl’ rilisan tahun 2001 tersebut, karena
lebih fokus “bertahan hidup” setelah mencoba menyuntikkan nafas lokal sebagai
modifikasi kecil tadi, yang sayangnya tidak semua berhasil dibentuk dan
disatukan dengan baik. Visual dan production design oke, tapi di luar itu semua
terasa tidak spesial, dan tidak terasa sassy. Not bad, tapi terasa kurang lengkap.
“Dua tahun lagi kita ketemu, di sini.”
ReplyDelete