Sebuah
akhir yang bahagia kerap menjadi momok yang lekat pada penutup sebuah serial,
baik itu dalam bentuk tulisan maupun video, menjadi sesuatu yang mayoritas
diinginkan terjadi oleh mereka yang telah mengikuti sejak awal. Tapi makna
sebuah akhir yang bahagia atau happy ending sebenarnya memiliki cakupan yang
lebih luas, contohnya di sebuah serial romance maka tidak hanya jika sebuah masalah
selesai, misi tercapai, dan lantas dua karakter utama saling bersatu. Hal
tersebut yang kerap kali takut untuk dilakukan oleh mayoritas K-drama, mereka
lebih sering mencoba menerapkan akhir yang diharapkan oleh banyak penonton,
bahkan rela melakukan tweak dari source cerita utama yang ia adaptasi, demi
memuaskan para penonton dan tentu saja menghindar dari kontroversi. Itu tidak salah,
tapi mereka yang berani “melawan” jelas layak diberi tepuk tangan meriah.


Dan
‘Twenty-Five Twenty-One’ layak mendapat tepuk tangan meriah di akhir cerita. Sejak
awal kita tahu bahwa yang coba didorong kepada penonton di sini merupakan
perjuangan karakter untuk meraih mimpi mereka, dari olahraga anggar, musik,
dari segi akademis, hingga yang baru menemukan pijakannya di bidang jurnalistik.
Ada banyak masalah di sana, meskipun didramatisasi untuk terlihat rumit namun
pada dasarnya mereka sederhana jika ditarik satu garis lurus, yakni mengejar
mimpi tadi. Di awal kamu dibawa tenggelam dalam pertarungan antara Na Hee-do
dengan Ko Yu-rim tapi ketika cerita bergulir semakin jauh fokus mulai sedikit
bergeser pada kisah cinta antara Hee-do dan Baek Yi-jin, di awal menunggu
sedikit di belakang tapi justru jadi terlalu mencolok untuk digeser sebagai
spotlight. Alhasil yang dinantikan oleh mayoritas penonton adalah bagaimana
kisah cinta mereka akan berakhir.


Saya
salah satu dari kelompok penonton itu, penasaran seperti apa kisah cinta itu
akan berakhir apalagi di empat episode terakhir ini Kwon Do-eun dan Jung
Ji-hyun dengan cerdik membangun excitement. Terutama dalam memberi “harapan”
sebuah happy ending meski jika teliti sebenarnya kita telah diberi tahu bahwa
kemungkinan itu terjadi sangatlah kecil, bahwa di episode awal Kim Min-chae bertanya
pada sang nenek foto Baek Yi-jin. Itu merupakan clue kedua yang memangkas
peluang Baek Yi-jin dan Na Hee-do untuk bersatu, yang pertama jelas dari nama
marga Min-chae yang bukan Baek, melainkan Kim. Itu mengapa ketimbang menantikan
apakah Yi-jin dan Hee-do akhirnya bersatu atau tidak, saya justru penasaran
bagaimana persahabatan mereka itu berkembang menjadi sebuah support system yang
mereka butuhkan.


Dan
bagi saya itu hal paling menarik dari serial ini, bagaimana karakter become
each other's “angels". Seperti yang pernah saya singgung di review part
pertama, angka 2521 jika dilihat dari sisi “Spiritual Meaning” menandakan
sebuah perjuangan yang memiliki keinginan mendalam untuk mencapai hal-hal lebih
besar, yakni dengan fokus pada impian besar tersebut dan bekerja secara cerdas
untuk mewujudkannya. Hee-do dan Yi-jin ditempatkan di posisi tersebut, dan
mereka membantu satu sama lain, sama halnya dengan koneksi antar karakter
lainnya termasuk persaingan sengit Hee-do dan Yu-rim di awal. Dan judulnya juga
telah sangat mewakili fase kehidupan yang kerap “menyulitkan” manusia, yakni
ketika mereka lepas dari masa remaja dan menuju dewasa di mana pada usia 21 tahun
hingga 25 tahun mereka dipaksa untuk bertemu dengan Quarter-life crisis.


Tidak
heran, sebagai manusia yang telah merasakan fase tersebut saya jatuh cinta
dengan ‘Twenty-Five Twenty-One’ karena apa yang coba didorong dan kemudian itu
dibentuk oleh Screenwriter Kwon Do-eun dan juga Sutradara Jung Ji-hyun memiliki
komposisi yang sangat baik. Cara konflik berkembang, dari latar belakang
masalah serta koneksi satu sama lain, mereka menyajikan sebuah proses
coming-of-age yang menjadi penggambaran masa sulit perpindahan antara remaja
menuju dewasa, dari tentang perasaan cinta hingga tentu saja masa depan mereka,
termasuk pekerjaan. Kita dibawa menyaksikan kesulitan itu, ikut merasakan
perjuangan karakter namun tanpa terjebak di dalam sebuah arena yang terlalu
dark, secara konsisten bertemu dengan komedi penuh humor klasik tapi cantik
yang menjalankan tugasnya dengan sangat baik pula tentang kegembiraan dan
keindahan dari masa muda.


Di
sana keunggulan ‘Twenty-Five Twenty-One’ yang mengangkat pesonanya menjadi
semakin tinggi lagi, empat episode penutup yang secara terampil bukan hanya
jadi tempat menyelesaikan masalah yang sudah terbentuk saja tapi juga memoles
lebih mengkilap lagi pesan dan isu yang sudah dibawa sejak awal. Na Hee-do dan
Baek Yi-jin menemukan jalan buntu dalam kisah cinta mereka, tapi ada alasan
yang dibentuk kuat di sana, tidak out of nowhere dan berlandaskan ego saja.
Tidak heran momen perpisahan itu terasa hangat dan mengharukan, karena mereka
telah sukses menjadi each other's angels dalam proses menuju dewasa tadi.
Karena tidak semua orang yang singgah di kehidupan kita akan tinggal, ada yang
datang untuk membantumu belajar tentang hidup. Dan scene paling ujung itu
seolah mengkonfirmasi semuanya, bagaimana cinta pertama sulit untuk menjadi cinta
terakhir.


Bukan
tidak mungkin, tapi kebanyakan kasus yang saya temukan di kehidupan nyata
adalah demikian, karena dalam perjalanan hidup tiap orang akan menemukan cukup
banyak hal baru yang lantas berubah bentuk menjadi opsi, baik tentang pasangan
hidup hingga gejolak terkait mana yang harus diutamakan, antara cinta atau
justru pekerjaan? Moon Ji-woong dan Ko Yu-rim merupakan contoh bagaimana ketika
cinta berada di posisi teratas dan hal lain di sekitarnya bekerja dengan baik.
Lain halnya dengan Na Hee-do dan Baek Yi-jin, meskipun kita tahu bahwa ada rasa
yang tepat di antara mereka tapi kita juga sadar bahwa kisah itu hadir di waktu
yang salah. Saya suka keputusan yang mereka ambil, ketimbang memaksa semuanya
berakhir indah justru menjadi perwujudan cantik tentang realita bahwa tidak
semuanya manis di dalam hidup, dalam cinta tidak hanya bahagia tapi juga kisah
yang tak sempurna.


Itu
mengapa ketika ‘Twenty-Five Twenty-One’ berakhir tanpa sadar saya langsung
teringat dengan kenangan saya di periode usia para karakter, bagaimana periode
itu penuh dengan peristiwa pahit dan manis yang kini hanya menjadi kenangan,
sesuatu yang akan selalu simpan dalam ingatan, baik itu prestasi maupun
penyesalan atas hal-hal yang terlewatkan. Kwon Do-eun dan Jung Ji-hyun sangat
luar biasa dalam hal ini, presentasi mereka tidak hanya sukses membuat
penontonnya merasakan energi perjuangan para karakter saja tapi juga ikut
bermain dengan emosi with sensitivity. Sepanjang 16 episode saya juga beberapa
kali dibuat sangat terpukau dengan cara mereka membentuk komposisi tone,
sensation full of passion combined with the warmth side of an issue, mixed very
well dengan elemen teknis yang juga cantik.


Ya,
itu salah satu hal yang tidak boleh tidak diapresiasi di sini. Tatanan suara yang
lebih dari sekedar pemanis latar saja agar tidak kosong, namun juga berfungsi
jadi semacam energi tambahan bagi narasi. Contohnya dalam pertandingan anggar
itu, derap langkah kaki para pemain saat pertandingan serta bunyi saat the
sabre saling bertarung, mixing dan editing mereka terasa renyah di telinga
serta berperan pada excitement yang ikut dirasakan penonton. Cinematography
juga demikian, beberapa landscape yang manis terasa memorable tapi seperti
sound momen pertandingan jelas jadi tempat unjuk gigi. Close-up, medium shot,
serta long shot, saya menikmati dan mengagumi visual ‘Twenty-Five Twenty-One’
yang mempermudah penontonnya untuk “merangkul” apa yang sedang bergulir di
dalam narasi.


Contohnya
ada di penghujung episode 16, ketika Hee-do dan Yi-jin bertemu di bus station,
bagaimana emosi mereka ditangkap secara close-up, lalu berpindah ke long shot,
kemudian bergeser ke medium shot, dan kembali lagi ke close-up ketika Yi-jin
hendak mengikat tali sepatu Hee-do yang lantas diselesaikan dengan long-shot
dari sisi atas. Itu cantik, sama cantiknya dengan editing yang menata dengan
rapi urutan dalam narasi dan momen ketika soundtrack itu muncul. Tidak kalah
cantiknya tentu saja kinerja akting para cast. Dari Kim Tae-ri yang menunjukkan
mengapa ia sangat layak untuk menyandang gelar Nation's First Love, ia
membentuk Na Hee-do menjadi heroine yang sangat kuat dan memorable, kemudian
Nam Joo-hyuk yang memilih karakter tepat untuk keahlian aktingnya, dan juga
Bona yang mengendalikan dengan baik emosi dan ego Yu-rim tapi tidak pernah
gagal saat berurusan dengan aegyo.


Dia
memang tidak melulu berada di depan, tapi apa yang diberikan Choi Hyun-wook
pada Moon Ji-woong sangat impresif, ia berhasil menjadi seorang flower boys
namun dengan charm yang tidak menjengkelkan, semoga karirnya terus melesat
tinggi di masa depan. Sama halnya dengan Lee Joo-myung, have a really good
acting in ‘My Fellow Citizens’ and ‘Missing: The Other Side’, ia berhasil
menampilkan pesona cool and attractive Ji Seung-wan dalam kadar yang sangat
memikat. Karena di antara lima karakter utama sebenarnya yang “paling sulit”
itu sebenarnya karakter Ji Seung-wan, sejak awal langsung sukses mengikat
atensi saya dan pada akhirnya membuat saya jatuh hati padanya. Chemistry di
antara lima pemeran utama juga jadi sebuah charm yang akan sulit terlupakan
dari ‘Twenty-Five Twenty-One’, dari emosi hingga banter yang lucu dan konyol.


Dan
begitulah cara ‘‘Twenty-Five Twenty-One’ berakhir, kisah perjuangan anak muda
yang dengan manis juga menyelipkan jurnalisme dan parenting sebagai isu pendamping, dimulai
dengan sebuah perjuangan mengejar impian dan bergeser pada proses memahami
realita kehidupan, yang meskipun tetap mengandung suka tapi juga punya banyak
duka di dalamnya. Kwon Do-eun, Jung Ji-hyun, bersama jajaran cast dan juga
divisi teknis di belakang mereka sukses menyajikan kisah itu dengan
sangat-sangat baik, mengolah kembali materi coming-of-age yang klasik itu
dengan nafas serta pesona yang segar, menjadi sebuah kisah tentang masa muda
yang memorable. Tidak peduli seberapa berat gejolak masalah yang akan kamu
temui di masa coming-of-age itu, yang mayoritas tentunya berisikan kegalauan tentang
cinta, study, dan pekerjaan, cherish your youth! Because everyday is a practice and no matter what anyone says, don't worry, just go your way and have a happy dream, karena momen itu akan menjadi kenangan manis nan berharga, sebuah kisah klasik untuk masa
depan. But remember, sometimes you win, sometimes you learn.


"You will have no idea how much your love has brightened up my life."
ReplyDelete