Bagi mereka yang sudah sering mengikuti
serial dari Korea maka akan mudah untuk menerka pola yang coba diterapkan oleh
serial tersebut sejak episode pertama. Hal itu kemudian kerap saya gunakan
untuk menaruh ekspektasi terhadap cerita serta memutuskan apakah akan mengikuti
serial itu sampai akhir atau tidak, biasanya saya tentukan setelah minimal
menonton empat episode pertama dari serial dengan jumlah total episode sebanyak
16 buah. Konsep mereka memang berbeda-beda tapi sebenarnya tidak banyak K-drama
yang berani tampil dan juga bermain di luar “zona aman” dengan beberapa
template yang jauh lebih aman, tidak heran ketika ada dari mereka yang mencoba
untuk “sedikit berbeda” maka impresi yang tercipta juga akan lebih mudah
mencuri perhatian. Seperti yang coba diterapkan oleh “Pachinko”.


Bukan berarti menggunakan template
formulaic dan bermain di zona aman tadi akan membuat sebuah K-drama kehilangan
pesonanya, ada banyak faktor lain yang ikut bermain untuk menentukan mampu atau
tidaknya serial tersebut meraih hati para penontonnya. Dan tidak serta merta
pula tampil sedikit berbeda jadi sebuah jaminan bahwa serial tersebut akan
berhasil atau at least lebih mudah meraih hal tadi. Itulah yang membuat saya
terpukau dengan tiga episode pertama ini, ia berhasil memakai pola dan pendekatan sedikit berbeda tadi
untuk membuat saya jatuh hati padanya. Hingga review ini ditulis ‘Pachinko’
telah tayang lima episode, namun mengingat Kogonada dan Justin Chon berbagi
sama rata enam episode pertama maka untuk memudahkan review ini adalah untuk
tiga episode pertama terlebih dahulu.


So, pertanyaannya adalah, apa yang impresif
dari “Pachinko”? Yang mereka sajikan memang bukan sesuatu yang benar-benar
baru, saya juga merasa pernah menonton serial K-drama dengan pola seperti ini.
Tapi yang membuat Kogonada bersama tim penulis tiga episode pertama ini sangat
berhasil meraih hati saya adalah bagaimana mereka mengemas penggambaran dari
isu utama, yakni dampak dari perjuangan Korean family that immigrates to Japan
di akhir tahun 1980an. Narasinya sendiri memang tidak linear, alur maju dan
mundur sangat mendominasi sejak awal, seolah ingin menunjukkan bahwa ada dua
sisi yang coba digali di sini. Tapi yang suka pola itu tampil seimbang di
tangan Kogonada, konsisten melompat maju dan mundur tapi dengan koneksi yang
terasa padat seperti proses mengumpulkan puzzle.


Setting di tahun ketika Korea masih berada
di bawah pendudukan Jepang tentu saja membuat saya menaruh ekspektasi akan
muncul “perang” di dalam cerita. Gesekan itu memang ada tapi lebih difungsikan
untuk memoles perjuangan Sun-ja dan orang-orang Korea kala itu, lampu sorot
diarahkan ke sana yang lalu disandingkan dengan Sun-ja di tahun 1989. Tidak ada
status utama dan pendukung di antara dua bagian itu, mereka justru saling
mengisi satu sama lain, dan mengingat kisah dibuka dengan permintaan Ibu Sun-ja
untuk menghapus “kutukan” dari dalam dirinya saya dibuat menaruh curiga pada
action Sun-ja di tahun 1989. Ia tampak tenang, layaknya para orang lanjut usia
her daily life pun tampak normal, tapi
Kogonada bersama dengan tim penulis mencoba membuat penonton
mengantisipasi ledakan lewat emosi.


Sejauh ini saya berasumsi dua bagian
tersebut bekerja sama untuk menunjukkan bagaimana pendudukan Jepang di Korea
itu meninggalkan trauma yang mendalam bagi orang-orang seperti Sun-ja. Di sini
kita diajak mengamati kesulitan yang dialami penduduk lokal di tahun 1915
ketika Jepang masih menduduki negara mereka kala itu, segala macam keterbatasan
yang mereka harus jalani beserta rasa sakitnya pula. Seperti Sun-ja contohnya,
cinta meninggalkan luka, dan jika melihat bagaimana kini ia tinggal di Osaka
maka rindu akan kampung halaman juga mungkin akan terselip hadir. Tapi
menariknya di sini meski menyandang status sebagai penjajah di dalam cerita
namun tidak ada kesan eksploitasi yang terlalu berlebihan terhadap negara
Jepang itu sendiri.


Sejauh ini demikian, kisah cinta di antara
Koh Hansu dan Sun-ja juga menjadi semacam ironi ketimbang menghakimi. Saya rasa
Solomon Baek mungkin jadi pion untuk menunjukkan polemik yang dirasakan oleh
keluarga para korban, dia memang berada dua generasi di bawah Sun-ja namun
melalui pekerjaannya yang menuntut koordinasi dan koneksi with Americans,
Westerners, and Japanese, perlahan tumbuh gejolak darinya. Meskipun sejak
bertemu dengan penonton Solomon Baek telah menunjukkan pula bahwa ia adalah
seorang professional yang hanya fokus untuk melaksanakan tugasnya, tapi scene
makan malam bersama wanita Korea yang coba ia rayu bersama Sun-ja untuk menjual
tanahnya itu merupakan pintu masuk baginya untuk mencoba merasakan apa yang Sun-ja
rasakan.


Cerita memang masih terasa sangat luas
hingga tiga episode ini, dan tidak seperti K-drama pada umumnya saya sedikit
kesulitan untuk mencoba menerka bagaimana ini akan bermain ke depannya. Hal
tersebut karena Kogonada membuka dengan coba mendorong kisah yang dibentuk
melalui penjajaran dan menyampaikan beberapa ide tanpa memberikan penjelasan
yang terlalu pasti. Bukan berarti ambigu, justru sangat mudah untuk mengerti
ide yang coba disampaikan, tapi mengingat berbagai konflik hadir secara low-key
membuat narasi jadi seperti tidak punya urgensi, lebih bermain sebagai sebuah
proses mengamati. Itu mengapa sangat penting untuk coba membuat jauh-jauh
ekspektasi hadirnya “perang” penuh ledakan di tiga episode ini, karena luka itu
disajikan lewat perjuangan Sun-ja dan dampaknya di masa depan.


Tapi memang begitulah Kogonada, kamu bisa
coba tonton film ‘Columbus’ yang ia sutradarai dan saya merasakan feel yang
sama dipindahkan olehnya ke ‘Pachinko’ ini. Artistic and grounded, ia membuat
karakter mencoba meraba-raba kehidupan mereka dan lalu mempersilahkan penonton
untuk bermain dengan intuitif mereka, untuk memahami apa yang karakter rasakan.
Dan menariknya hal itu sangat mudah, pesona karakter langsung terbentuk dengan
sangat baik, terkesan perlahan memang namun tiap kesempatan dipakai dengan baik
untuk berbicara kepada penonton tentang gejolak yang sedang mereka alami. Semua
dibungkus dengan elemen teknis yang juga manis, terutama cinematography serta
tone dan visual, mereka seperti punya nyawa yang ikut berbicara. Kini giliran
Justin Chon untuk melanjutkan.
“You know it as well, what the world is like right now.”
ReplyDelete