Kamu
mungkin pernah mendengar kalimat yang berbunyi “Sekejam-kejamnya ibu tiri,
lebih kejam Ibu kota”, sebuah perbandingan yang lucu memang dan tidak semua
orang dapat setuju akan hal itu, karena tidak semua punya Ibu tiri dan tidak
semua Ibu tiri otomatis merupakan sosok yang kejam pula. Tapi ada satu hal yang
mungkin lebih mudah untuk menemukan pengikutnya, bahwa Ibu kota memang benar
kejam, mereka yang pernah atau pun sedang menjalani kehidupan di Ibu kota lebih
mudah untuk sepakat akan hal itu. Saya sendiri merupakan salah satunya, hingga
kini masih mencoba untuk menikmati “kejamnya” Ibu Kota Jakarta sembari
menikmati pula sisi positif yang kota ini punya. Memang perjuangan untuk dapat
“survive” lebih berat, tapi tidak semua yang terjadi di Ibu Kota adalah
negatif. Peluang pun lebih besar.


Hal
tersebut yang menjadi salah satu dasar dari serial drama terbaru Sutradara ‘Law
School’ Kim Seok-yoon yang kali ini bertugas untuk membentuk cerita yang
ditulis oleh Park Hae-young, sosok yang dua karya terakhirnya menjadi hit dan
terpatri di dalam memori saya hingga kini, yakni ‘Another Oh Hae-young’ dan ‘My
Mister’. Awal mulanya tampak sederhana, bahwa tiga kakak beradik dihadapkan
pada masalah di dalam pekerjaan dan kehidupan personal mereka karena jarak
rumah mereka yang jauh dari Seoul. Solusinya jelas sederhana, tinggal pindah
saja ke Seoul dan mencoba bertahan hidup di sana, tapi melakukan itu memang
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dari segi ekonomi terutama, satu di
antara mereka ada yang sudah dikejar Bank terkait tunggakan pinjaman, satu lagi
malah minta dibelikan mobil.


Baru
dua episode memang dan faktanya belum banyak konflik yang terjadi, seolah masih
coba disimpan dan mempersilahkan penonton mengamati kondisi karakter, pola yang
jujur saja sudah lebih dari cukup untuk memahami ke mana arah series ini akan
berjalan. Kesamaan antara Ki-jung, Chang-hee, dan Mi-jung bukan hanya di nama
depan mereka saja tapi kondisi kehidupan mereka saat ini, yakni terjebak di
dalam sebuah lingkaran monoton yang takut mereka coba untuk hancurkan maupun
ubah. Belum tampak semangat akan hal itu di episode pertama, cenderung mengarah
sedikit implisit, Kim Seok-yoon dan Park Hae-young memberi cukup banyak ruang
bagi masalah, rintangan, dan dilema bergabung menjadi sebuah momok familiar,
menjadi beban yang harus dilawan tiga karakter utama jika mereka ingin
merasakan bahagia.


Sebenarnya
hidup mereka juga tidak buruk menurut saya, mereka beruntung punya orangtua
yang masih menyediakan tempat tinggal dan makanan yang layak, namun jelas
sebagai orang dewasa di jenjang umur segitu gejolak yang berputar di dalam hati
dan pikiran mereka terasa wajar. Dan saya rasa Mr. Goo juga demikian, meski
memang dari luar ia tampak tenang atau mungkin dirinya telah berada satu
langkah di depan dari situasi yang sedang dialami Yeom bersaudara itu. Mr. Goo
sendiri di dua episode pertama ini berhasil menebar kesan misterius yang sangat
baik, dalam diam ia membuat saya bertanya-tanya apa sebenarnya yang sedang
terjadi di dalam hidupnya, tapi di sisi lain saya merasa bantuannya akan sangat
berguna bagi usaha Yeom siblings untuk melakukan perubahan di dalam hidup
mereka.


Meski
berkembang dengan tempo yang tergolong pelan tapi saya suka cara Park Hae-young
menulis runtutan cerita di dua episode pertama ini. Beberapa kali Kim Seok-yoon
mendorong scene di mana kita hanya melihat karakter berjalan, atau sekedar
merenung di dalam kereta, tapi tidak satu pun di antara mereka yang terasa
kosong. Justru membangun ironi utama menjadi semakin besar dan kuat, sebuah
ironi yang kini mungkin sudah terasa sangat familiar bagi para Millenials: the
big city and life hardships yang berpotensi berujung pada the meaningless life.
About boring, dead-end, and unfulfilled life, how enduring a life rife with
uncertainty becomes a normal thing to embrace daily when you meet that nasty
and toxic life reality. About money, that glamorous capital city life, from
work, love, happiness, family, marriage, and dream versus fate.


Masalah
tempat tinggal Yeom Siblings sendiri masih terasa rancu buat saya pada awalnya,
ketika Mi-jung menyebut Sanpo saya kira Sanpo-ri, yang letaknya sangat jauh
dari Seoul. Tapi ketika Ki-jung menyebut Gyeonggi-do dan perumpamaan putih
telur terkait posisi Gyeonggi-do terhadap Seoul itu muncul, saya juga terkejut.
Itu jelas membuat kisah Yeom Siblings ini menjadi semakin relatable, ibarat
bekerja di Jakarta namun tinggal di kota-kota satelitnya yang disebut
Bodetabek. Lagi-lagi isu yang digunakan adalah perjuangan mengejar mimpi, dan
harapan saya ini berjalan seperti ‘My Mister’ di mana karakter berusaha menahan
beban hidup mereka masing-masing namun berkumpul dan membentuk sebuah hubungan
baru, tempat di mana mereka dapat menyembuhkan "luka masa lalu"
mereka satu sama lain.


‘My
Liberation Notes’ dengan cepat membentuk pondasi isu utamanya: about choice,
about change. Nasib pekerja yang tinggal di kota satelit Seoul dan harus
menjalani hidup yang berat sejak pagi hari, sejak berangkat ke tempat kerja,
mereka bermimpi untuk bisa tinggal di Seoul, merasakan kehidupan yang tidak
membosankan. Dan untuk itu mereka harus mengambil langkah berani dengan keluar
dari zona aman dan nyaman. Memberanikan diri menantang rintangan meski memang
pada awalnya akan kesulitan karena tentu akan dihadapkan pada hal-hal asing.
Tapi aksi tersebut justru membuat hidup jadi lebih berwarna, contohnya masalah
club itu saja, potensi itu jadi arena yang lucu jelas besar. Empat karakter
utama juga punya impresi awal yang tergolong baik, membuat saya merasa semakin
dekat dengan masalah di dalam kehidupan mereka, dan berangkat dari sana
ekspektasi saya melompat satu tingkat.
“It feels like I'm taking a detour because I'm too afraid to walk on the right path.”
ReplyDelete