Salah satu kegemaran
saya tiap kali mengikuti sebuah serial adalah ketika telah usai menonton dua
atau empat episode pertamanya (tergantung total jumlah episodenya) maka saya
akan menempatkan serial tersebut ke dalam satu dari tiga kelas, yang saya
namakan A, B, dan C. Kelas A jelas yang paling tinggi, biasanya yang masuk ke
sana adalah serial yang langsung “menonjok” saya sejak awal dan otomatis langsung
masuk ke dalam daftar wajib tonton. Sedangkan serial yang masuk ke kelas C
mempu membuat saya tertarik namun impresi awalnya terasa kurang kuat, biasanya
akan saya hold terlebih dahulu dan coba melanjutkan dan memberikan kesempatan
kedua jika waktu sudah cukup longgar. Karena kadang aktifitas sehari-hari
sangat berpengaruh pula pada penilaian terhadap sebuah serial maupun film.
Tersisa kelas B, di
sana ‘Green Mothers' Club’ berada sejauh ini. Yang membedakan kelas ini dengan
kelas di atasnya sebenarnya hanya terletak pada kualitas punch, di antara hijau
atau kuning. Tidak terlihat upaya untuk membuat semuanya bergerak super cepat
di episode pertama, padahal sejak awal ada lima karakter utama wanita di sini.
Tapi apakah salah jika narasi bergerak normal? Tidak, justru di sana charm
terbesar ‘Green Mothers' Club’ sejauh ini, penonton seperti dibawa masuk ke
dalam sebuah slice of life drama. Tapi bukan slice of life biasa, karena di
dalamnya penuh dengan koneksi yang tidak hanya sebatas saling mengisi satu sama
lain tapi juga membuatmu mengantisipasi potensi masalah yang akan muncul.
Episode pertama langsung terasa ramai, tiap karakter langsung membentuk charm
mereka sedangkan di sisi lain jalinan masalah perlahan terhubung satu sama
lain.
Seperti serial lain
yang pernah saya masukkan ke kelas B di awal, ‘Green Mothers' Club’ punya
impresi awal yang kuat dan membuat saya penasaran dengan apa yang akan terjadi
selanjutnya, dan jalannya narasi lebih condong seperti mengalir tenang
mengikuti arus, meskipun bertemu ombak kecil. Ada kesan untuk sedikit bermain
aman di sini, tidak mencoba gegabah mengikuti ambisi sehingga dapat menjauh dari
blunder yang merugikan. Jika ditangani oleh Sutradara dan Screenwriter dengan
jam terbang tinggi, mungkin materi empat episode pertama ini akan penuh dengan
ledakan, karena jujur saja ini punya berbagai masalah yang berpotensi menjurus
ke sana. Apa sih yang tidak akan jadi menarik ketika wanita bertarung melawan
wanita? Tapi di sini pertarungan itu hadir dengan cara yang a bit political.
Dan saya suka ketika
wanita saling “serang” dengan cara seperti itu. Meskipun ada beberapa yang
frontal tapi mayoritas dari mereka bermain dengan cara diplomatis. Termasuk
kisah cinta di antara Jin-ha, Louis Bunuel dan Eun-pyo. Dijadikan scene pembuka
tentu saja ada alasan di sana, walaupun memiliki lima karakter wanita yang
ditempatkan di posisi depan tapi sejauh ini narasi lebih sering mengarahkan
lampu sorotnya kepada Lee Eun-pyo, perjuangannya untuk kembali ke Korea yang
ternyata membawa babak baru yang juga tidak mudah untuk ia jalani. Dan meskipun
sejauh ini belum mendapatkan eksposisi lebih jauh tapi sepertinya kisah cinta
segitiga itu akan masuk pula ke babak baru, karena saya berasumsi bahwa gelas
yang dilempar dari atas itu berasal dari Seo Jin-ha. Tapi bukankah Louis Bunuel
dan Jin-ha mesra?
Action mereka ketika
hanya berdua saja sebenarnya tidak menunjukkan bahwa ada masalah di dalam
pernikahan mereka, tapi selalu ada misteri saat berurusan dengan isi hati
manusia. Ending episode empat dengan jelas menunjukkan itu, seperti ada
“urusan” yang belum selesai di antara Louis Bunuel dan Eun-pyo, saya menantikan
pengembangan masalah di sektor ini terutama penyebab dua nama terakhir tadi
bisa berpisah dulu. Lee Eun-pyo sendiri tampak tidak punya masalah dengan
suaminya kini, tapi cinta lama yang bersemi kembali selalu sulit untuk dipahami
oleh logika, kadang ada semacam “power” aneh yang bekerja di sana. Sama seperti
yang terjadi di antara Byun Chun-hee dan Lee Man-su, sejak awal tatapan mata
mereka misterius tapi flashback awal mula kisah Man-su dan Park Yun-joo memberi
jawaban.
Bahwa sebenarnya
meskipun menaruh fokus pada pendidikan anak-anak mereka di sini para wanita
yang telah menjadi Ibu itu harus berurusan pula dengan perasaan mereka yang
mungkin belum sepenuhnya menemukan bahagia. Seo Jin-ha tidak hanya terlibat di
cinta segitiga di atas tadi, saya dapat merasakan ada sexual tension antara
dirinya dengan Oh Geon-woo, suami dari Kim Young-mi yang sejauh ini masih
berada sedikit di belakang ketimbang empat orang Ibu lainnya itu. Tapi bukan
peran yang ia punya tidak penting, justru ia akan jadi senjata mematikan ketika
semuanya telah terbentuk dan bergeser, dari awalnya sebuah abnormal society
menjadi sebuah lingkungan yang lebih “sehat” tidak hanya bagi para orangtua
saja namun juga bagi anak-anak mereka.
Karena tidak semua
tetangga adalah tetangga yang baik, begitupula ketika orang dewasa mencoba
menjalin pertemanan maka akan ada motif yang duduk manis di dalamnya. Isu
seperti itu berputar dengan baik di empat episode ini, ditangani oleh Sutradara
Ra Ha-na dan Screenwriter Shin Yi-won di debut long series mereka di sini.
Mengalir menyenangkan sejak awal, penuh isu dan pesan yang umum ditemukan di
kehidupan nyata dengan eksposisi yang konsisten membuat konflik berkembang
menjadi semakin menarik di tiap episode terbarunya. Karakter saling sikut
karena masalah pendidikan anak, kompetisi berisikan mother’s greed yang
berbahaya. Tapi ada dilemma di sana, contohnya pada sikap Kim Young-mi yang
secara logika benar tapi di beberapa hal saya kurang setuju.
Normal kids will
live normal lives, tapi ranking the children against each other di satu sisi
justru dapat digunakan untuk menjadi tolok ukur prestasi anak. Contohnya Jung
Dong-seok, ia adalah bukti dari pentingnya mempersilahkan anak bermain dengan
rasa ingin tahu dalam masa pertumbuhannya. Definisi sebuah proper life dipertanyakan
di sini, dari sistem pendidikan, parenting, dan juga percintaan. Bukan sebuah
perpaduan yang baru memang di K-Dramaland, saya bahkan merasa ‘Green Mothers'
Club’ adalah perpaduan antara empat series populer, yakni Avengers Social Club,
Birthcare Center, dan tentu saja Sky Castle serta sedikit nafas Love ft.
Marriage & Divorce. Tapi ditemani score yang piawai menciptakan atmosfir
ganjil, apa yang awalnya tampak seperti slice of life drama ini ternyata jauh
lebih “berbahaya” dari yang saya duga. It's soothing but scary at the same
time.
“You people are all trying to raise your own kids. You shouldn't make such judgments about someone else's.”
ReplyDelete