"What
validates and makes your fictions real? Feelings."
Memang tidak mustahil tapi membangkitkan kembali sebuah cerita yang telah tidur pulas selama kurang lebih 18 tahun tentu bukan sesuatu yang mudah, apalagi untuk kisah sekelas ‘The Matrix’ yang saat manusia sedang bersiap menuju millennium di tahun 1999 kala itu duo the Wachowskis pakai untuk membawa science fiction genre melambung tinggi, menutup rangkaian kejutan the cyberpunk genre yang datang dari Total Recall dan Terminator 2: Judgment Day di tahun 1990-an, tidak hanya sekedar merevolusi penggunaan digital effects saja namun juga menarik perhatian semakin besar pada satu pertanyaan filosofis, sebuah pertanyaan abstrak tentang apakah manusia sebenarnya hanya hidup di dalam sebuah simulasi? ‘The Matrix Resurrections’ : a clever balance between reinventing and nostalgia.
Computer Programmer dan Game Designer Thomas A. Anderson (Keanu Reeves) merasa tidak bahagia dengan kehidupannya setelah menyelesaikan trilogi “Matrix” yang sangat populer itu. Menetap di San Francisco kini Thomas merasa semakin jauh dengan karakter yang ia gunakan secara rahasia menjadi hacker, yakni Neo sehingga Thomas sering merasakan halusinasi yang mengganggu pikirannya. Kehidupannya tidak hanya dikendalikan oleh mesin virtual reality saja tapi juga obat-obatan dalam jumlah banyak yang diberikan The Analyst (Neil PatrickHarris) yang membantu terapi penyembuhan Thomas. Tapi celakanya pil tersebut tidak memberikan dampak positif bagi Thomas dan justru menuntunnya bertemu Tiffany (Carrie-Anne Moss).
Tiffany merupakan Ibu dengan tiga orang anak yang dikagumi secara rahasia oleh Thomas, wanita yang gemar dengan sepeda motor itu mengingatkan Thomas pada sosok Trinity dan kemudian semakin menambah kacau isi pikirannya. Untung saja muncul Morpheus (Yahya Abdul-Mateen II) dan wanita berambut biru Kapten the hovercraft Mnemosyne, Bugs (Jessica Henwick), menunjukan kepada Thomas bahwa ia bisa menemukan his "real self", Neo. Morpheus, Bugs dan timnya berhasil menyelamatkan Neo dari Agent Smith (Jonathan Groff), membawanya ke Io bertemu dengan Niobe (Jada Pinkett Smith), tapi misi Neo lebih dari itu: membebaskan Trinity.
Kenangan penonton terhadap film “The Matrix” mungkin akan beragam, jika film pertamanya sukses memberi kejutan yang mempermainkan isi pikiran maka di dua film lanjutannya yang rilis pada tahun 2003 kentara sekali terasa degradasi kualitas petualangan yang berawal dari momen saat umat manusia tanpa sadar terperangkap di dalam simulated reality tersebut. Begitupun dari segi cerita di mana perjalanan Neo, Trinity, Morpheus dan beberapa karakter lainnya itu increasingly inflated dan well, mungkin akan semakin memusingkan bagi beberapa penonton. Film keduanya ‘The Matrix Reloaded’ memang mendapat respon yang tidak jelek serta tergolong sukses pula secara finansial, namun ‘The Matrix Revolutions’ panned by critics dan mengalami penurunan angka pada pencapaian box office.
Sebuah keputusan yang tepat memang diambil Studio Warner Bros. kala itu karena ‘The Matrix Revolutions’ terasa semakin bingung dan kelebihan beban ketika tampil, dan keputusan berani kembali mereka ambil lewat kemunculan film keempat dalam The Matrix film series ini. The Wachowskis tidak duduk bersama sebagai Sutradara dan hanya Lana yang kembali sedangkan untuk proses penulisan script Lana dibantu oleh David Mitchell dan Aleksandar Hemon, kompatriotnya di serial Netflix ‘Sense8’. Ada rasa penasaranya tentunya di sana, ini menjadi film pertama The Wachowskis tidak bersama dan seperti apa Lana akan menyampaikan kisah yang telah tertidur cukup lama itu, meskipun ia jelas mendapat suntikan ide segar. Hasilnya tidak luar biasa memang namun melebihi ekspektasi saya yang cemas ini akan berantakan.
Meta-narrative yang ambigu hadir sebagai jalan raya utama sedangkan lalu-lalang cerita di dalamnya Lana ambil dari potongan film ‘The Matrix’. Tidak heran jika kamu akan sedikit merasakan déjà vu karena memang ada proses kilas balik yang dipakai untuk membentuk kembali karakter serta membangun dunia di sekitarnya kini. Most of them diambil dari film pertama dan dikombinasikan dengan (re) introduction Neo serta Thomas sebagai satu kesatuan, lalu kemudian dikembangkan dengan memakai emosi sebagai pusat utamanya. Berbagai lines dari karakter terasa mudah dikenali oleh mereka yang telah menyaksikan film-film ‘The Matrix’ tapi hal terbaik yang Lana dan timnya lakukan di sektor cerita adalah keputusan tadi, put emotional as a center, berperan sebagai jangkar utama bagi kapal yang kembali terombang-ambing liar.
Meski telah tertidur cukup lama dan kini hanya di bawah kendali Lana saja namun ‘The Matrix Resurrections’ tetaplah The Matrix, mengombang-ambing pikiran para penontonnya dengan pertarungan antara manusia melawan “mesin” dengan kesan meta yang sangat kental, potensi untuk hilang di dalam narasi sangat besar apalagi potensi untuk merasa pusing. Tapi dengan menempatkan beberapa konflik yang oke di sini Lana berhasil memperbaiki kekurangan di dua film sebelumnya, tidak hanya dari narasi namun juga staging. ‘The Matrix Resurrections’ Lana buat sebagai bukti bahwa The Matrix masih menyimpan potensi untuk dieksploitasi lebih jauh lagi, had a lot to offer tapi kini dengan kandungan emosi yang terasa lebih mumpuni dan juga tampak lebih menjanjikan, romansa Neo dan Trinity as the plot gear.
Lana menata dengan baik kombinasi bagian di mana dia mempermainkan pikiran penonton dengan bagian lain yang berurusan dengan hati dan emosi, menempatkan keinginan Neo terhadap Trinity sebagai the central driving force dalam narasi meta. Ada humanity yang menarik di sini dan itu di luar ekspektasi saya, buah dari script serta staging yang ditata oleh Lana agar seimbang menampilkan dua bagian tersebut tadi dan tidak ada yang overkill. Mungkin akan berdampak pada kualitas excitement yang dirasakan oleh beberapa penonton tapi jangkar tadi membuat semua kegilaan itu berputar dengan satu sumbu utama yang kuat, yakni pertanyaan apakah Neo dan Trinity mampu mendapatkan kembali kebahagiaan mereka dan menghindarkan film ini dari kesan thoughtless science fiction action film yang potensinya besar di awal.
Lana mendorong kisah Neo dan Trinity dengan optimistic tone sehingga kuantitas emosi memang kecil namun kualitasnya oke, terasa hangat seperti permainan visual dan kostum yang terasa lebih colorful dan bervariasi. Saya juga suka dengan action scenes yang meski di bagian tengah terasa unmotivated tapi terasa sangat menarik di bagian awal dan akhir. Lana juga terbantu kinerja akting dari para aktor, Keanu Reeves dan Carrie-Anne Moss tampil oke sebagai central ditemani Jessica Henwick dan Yahya Abdul-Mateen II sebagai sumber energi muda. Neil Patrick Harris punya momen dan ia gunakan dengan baik untuk melengkapi elemen drama, membantu Lana yang memakai basic concept untuk menunjukkan bahwa there is always room for improvement bagi The Matrix yang kali ia campur dengan nostalgia yang manis.
Overall, ‘The Matrix Resurrections’ adalah film yang memuaskan. Mindbond, Matrix is a mayhem, “kembali” ke awal dan membangun kisah baru yang dijejali dengan wit and feeling Lana Wachowski sukses menuntun kisah Neo dan Trinity menuju sebuah tujuan baru yang menarik, memperbaiki kemerosotan di dua film sebelumnya dengan script yang segar serta staging yang terkendali dan terasa hangat. ‘The Matrix Resurrections’ menampilkan apa yang penonton harapkan yakni action scenes yang menyenangkan serta narasi yang memutar-mutar pikiranmu, namun ini lebih dari sekedar sebuah fan service belaka, Lana dan timnya tata menjadi ronde baru yang memberikan arah dan tujuan akhir yang layak didapatkan oleh karakter, dan juga bagi para penonton. Segmented.
“How do you know if you want something yourself or if your upbringing programmed you to want it?”
ReplyDelete