“It
doesn't matter what you do, only matters what they think you've done.”
The Rock, Deadpool, dan Wonder Woman tampil dalam satu film bersama? Tidak heran jika pada mulanya film ini menjadi rebutan empat buah major studios yang saling sikut untuk mendapatkan rights atas film ini. Namun menariknya pemenang dari perang penawaran tadi justru melepas film ini dan kemudian langsung direbut oleh Netflix, mengambil alih proyek terbaru Sutradara 'Skyscraper', 'We're the Millers' dan 'Central Intelligence' dan menjejalinya dengan budget besar, $ 200 juta dan menjadikannya film termahal yang diproduksi oleh Netflix so far, bersanding bersama film terbaru dari the Russo Brothers, The Gray Man. Discarded by Universal, picked up by Netflix. ‘Red Notice’: a collection of classic action comedy tricks.
Dua ribu tahun yang lalu Marc Antony menghadiahi Cleopatra tiga telur berhiaskan berlian sebagai hadiah pernikahan, yang kemudian hilang dan ditemukan kembali oleh seorang petani pada tahun 1907. Hanya dua buah telur yang berhasil ditemukan sedangkan telur ketiga masih menjadi objek pencarian banyak pihak, tapi kini satu dari telur yang dipajang di Roma juga menghilang. Seorang profiler kriminal FBI, Special Agent John Hartley (Dwayne Johnson) ditugaskan untuk mendampingi Interpol agent Urvashi Das (Ritu Arya) menyelidiki hilangnya salah satu telur yang dipajang di Museo Nazionale di Castel Sant'Angelo di Roma itu, tempat di mana ia bertemu dengan pria bernama Nolan Booth (Ryan Reynolds), salah satu master pencuri terkenal dunia.
Telur yang berhasil ia curi itu dibawa oleh Booth ke Bali tapi sayangnya di sana pula tempat dimulainya kekacauan besar bagi dirinya, dan juga Hartley. Telur yang telah berhasil diamankan dari tangan Booth ternyata “diurus” oleh orang yang salah, oleh wanita bernama Sarah Black (Gal Gadot), salah satu kompetitor Booth yang dikenal dengan julukan "The Bishop". Hal tersebut membuat Das menuduh Hartley terlibat dalam rencaan pencurian telur dan menahannya sebuah penjara terpencil di Rusia bersama Booth. Pertemuan mereka di dalam penjara itu ternyata menjadi awal mula lahirnya sebuah kolaborasi aneh antara Booth dan Hartley, mereka sepakat untuk bersama-sama menangkap pelaku pencurian telur dan juga menemukan telur ketiga.
Yang coba dibentuk oleh Sutradara dan Screenwriter Rawson Marshall Thurber di film ini sebenarnya tidak segar sama sekali, dia mendaur ulang kembali berbagai macam charm klasik dari sebuah action comedy dan menempatkannya dalam satu lintasan cerita yang bisa dikatakan langsung dan terus bergerak lurus sejak awal. Sejak prolog terkait tiga buah telur milik Cleopatra itu penonton dibawa bertemu dengan tiga karakter utama secara bertahap, bergerak cepat dengan meloncat dari kota Roma menuju Bali hingga singgah di Rusia untuk kemudian tiba di London, di jejali dengan berbagai ping-pong konflik yang tidak rumit, pencarian serta perebutan telur tadi terus menjadi fokus utama. Rawson Marshall Thurber tata itu dengan baik di awal terutama terhadap dinamika yang disajikan narasi.
‘Red Notice’ telah tampil dinamis sejak awal, gerak cepat narasi ditemani dengan cinematography arahan Markus Förderer yang sukses menciptakan kesan energik di layar menunjang pesona yang dimiliki oleh Nolan Booth. Karakteristik Booth yang tengil harus diakui mampu dengan cepat menjadi jangkar utama cerita, keputusan untuk menempatkan si serius John Hartley di sampingnya juga merupakan sebuah strategi yang tepat. Keduanya perlahan melebur batas yang memisahkan mereka di awal dan segera membentuk dynamic duo yang menyenangkan untuk diikuti, seperti sedang menjalankan misi bersama dua orang teman akrab yang lucu dan kocak. Dan yang semakin menambah daya tarik ‘Red Notice’ adalah karena meski bergerak lurus namun ada kesan liar yang Rawson Marshall Thurber taruh di dalam cerita.
Saya dibuat selalu mengantisipasi munculnya kejutan dari sikap tiga karakter utama, karena meskipun mereka tampak seperti berada di kubu yang sama namun potensi untuk membelot seperti sulit untuk hilang dari wajah mereka. Setting yang dibentuk bekerja dengan baik di bagian awal dan menghasilkan petualangan yang tidak monoton, penyakit yang selalu mudah terjadi di film dengan template dan formula seperti film ini, awal yang baik lalu cepat kehilangan tenaga dan berputar dalam sebuah lingkaran yang terasa biasa di paruh pertama. I’m not saying ini special tapi setidaknya dengan formula klasik action comedy yang ia gunakan Rawson Marshall Thurber berhasil menata dengan baik tiap elemen agar tampil menyenangkan di paruh pertama, tidak berubah tumpul meskipun memang kualitasnya kemudian mengalami penurunan.
Menyambung pembahasan singkat di bagian pembuka tadi bagaimana pada proses development ‘Red Notice’ sempat menjadi rebutan antara empat major studio, ketika Universal Pictures harus bertarung dengan Warner Bros. Pictures, Sony Pictures dan Paramount Pictures. Tapi mengapa kemudian Universal justru rela melepas begitu saja film yang akan dibintangi bankable star ini? Infonya mereka tidak puas dengan kualitas pitch yang disajikan oleh Rawson Marshall Thurber, sesuatu yang ternyata masuk akal setelah melihat babak kedua film ini yang tampil dengan kesan berbeda jika dibandingkan paruh pertamanya itu. Di paruh kedua Thurber mulai melempar berbagai elemen yang akan mengingatkan kamu pada film-film seperti James Bond, Ocean’s Eleven, hingga Indiana Jones yang celakanya ditata kurang rapi dan padat.
Sederhananya: berantakan. Di awal ‘Red Notice’ seperti menjanjikan hiburan yang akan bermain dengan cara elegan, berbagai macam trik dilakukan oleh tiap karakter dan meskipun itu klasik dan klise tapi tetap mampu meninggalkan punch yang oke, membuat saya tersenyum beberapa jokes atau lelucon juga berhasil mengundang tawa. Tapi ketika masuk ke paruh kedua terutama ketika momen di mana karakter semakin sering saling “melukai” satu sama lain itu kuantitasnya semakin besar film mulai kehilangan punch tersebut tadi. Rawson Marshall Thurber kurang oke dalam membentuk serta membangun momentum di paruh kedua, ia terlalu mengandalkan tik-tok antar karakter yang sebenarnya berkembang menjadi sesuatu yang semakin terasa monoton dan repetitif, oke tapi tidak lagi mengejutkan or punchy.
Saya tidak mengharapkan sesuatu yang pintar atau elegan di sini, dari awal bertemu karakter itu tentu harapan yang salah, tapi setidaknya fun yang hadir di bagian awal harusnya dapat konstan kualitasnya di paruh kedua jika memang sudah tidak bisa didorong semakin tinggi lagi. Pesona, coolness, kecerdikan karakter pudar perlahan dan aksi mereka semakin banal, sama seperti kualitas CGI serta penyajian twists and turns terasa dipaksakan secara kuantitas masuk ke dalam ide plot yang sebenarnya pintar itu. Ya setidaknya Thurber pintar dalam memanfaatkan tiga bankable stars, menempatkan John Hartley sebagai karakter with typical Dwayne Johnson persona, memaksa “memanusiakan” Deadpool dalam Nolan Booth yang merupakan makanan empuk bagi Ryan Reynolds, serta menciptakan perpaduan cerdik dan anggun pada karakter The Bishop yang diperankan dengan baik oleh Gal Gadot.
Overall, ‘Red Notice’ adalah film yang cukup memuaskan. Dengan tiga bankable stars yang dipajang besar-besar pada poster, jelas film ini punya potensi besar untuk jadi hit terbaru di Netflix, meski sangat disayangkan secara kualitas gagal meraih potensi terbaiknya. Sebuah awal yang sangat menyenangkan di paruh pertama harus disusul dengan ekposisi yang ignorant meski tetap mampu mengunci atensi, memadukan berbagai macam elemen klasik action comedy tanpa penataan yang rapi dan padat baik dari script hingga eksekusi twists and turns yang semakin predictable, random, dan juga garing. Tapi ada satu pertanyaan menarik: jika film ini mendapatkan sekuel apakah saya akan menontonnya? Kalau aku sih yes. I want more Ed Sheeran!
“There are two bishops in chess. And a whole lotta pawns.”
ReplyDelete