Mungkin
secara pace yang terjadi di tiga episode ini sedikit menurun dibandingkan dengan
tiga episode pertama kemarin, sesuatu yang saya rasa sangat wajar karena kini
penonton telah dibawa masuk ke dalam tahapan permainan yang di dalamnya coba
disajikan berbagai pengembangan plot dan konflik. Butuh waktu bagi narasi itu
untuk menata cerita agar eksposisi terasa seimbang dan saling melengkapi,
tentunya kita tidak mau terlalu terjebak di dalam permainan dan memaafkan
begitu saja sub plot terkait perjuangan Hwang Jun-ho yang menyamar untuk
menemukan di mana sang kakak berada stuck dan tidak berkembang. Seimbang,
penyajiannya terasa seimbang terutama terkait kualitas emosi.
Ada
tahapan yang menarik sejak episode tiga, Hwang Dong-hyuk seperti tidak mau
terburu-buru dan memilih memanfaatkan berbagai macam opsi yang mungkin dapat
terjadi jika orang ditempatkan pada posisi berhadapan langsung dengan kematian.
Contohnya ada pada sikap saling percaya antara peserta yang grafiknya naik
turun dan mempermainkan emosi di dalam cerita. Pasca permainan dalgona Gi-hun
mulai sadar bahwa Sang-woo memiliki clue di awal permainan namun memilih untuk
tidak berbagi informasi dengan anggota tim bentukan mereka, tidak heran hal
tersebut lantas membuat Gi-hun mulai merasa waspada dengan rencana serta
strategi yang disusun oleh Sang-woo, sosok yang sejak awal sebenarnya sudah
mencurigakan.
Kondisi
itu normal, merupakan sesuatu yang akan selalu menjadi sorotan menarik di dalam
cerita tentang survival games seperti ini ketika para peserta yang awalnya
merupakan teman dan berjanji untuk saling membantu tapi justru perlahan mulai
saling menaruh curiga satu dengan yang lain. Dan merupakan sesuatu yang sangat
wajar pula jika kemudian para peserta menjadi greedy, jadi ingin menang
sendiri, karena hadiah yang disediakan tentu akan lebih besar jika berhasil
diraih seorang diri. Hwang Dong-hyuk membuat saya tersenyum melihat trik yang
diterapkan oleh penyelenggara bertopeng itu terutama pada teknik provokasi
menggunakan jumlah makanan untuk menciptakan gesekan antar peserta dan juga
kubu.
Ketika
para peserta berebut makanan dan lantas salah satu dari mereka mati, para staff
dan game leader hanya diam. Itu sebenarnya tampak mengerikan namun juga
merupakan sebuah kritik terselubung yang sangat cantik terhadap sistem hirarki
yang mudah kita temukan sekarang ini, bagaimana pemimpin kerap tutup mata pada
situasi yang merugikan rakyatnya. Sentilan-sentilan manis seperti itu tampil
dalam jumlah yang cukup banyak namun dibentuk Hwang Dong-hyuk untuk tidak
menjadi sesuatu yang mencuri atensi penonton secara berlebihan, fokus terus ia
arahkan ke permainan yang secara bertahap pula berkembang menjadi sebuah
perjuangan yang mengerikan bagi para pesertanya untuk dapat bertahan hidup.
Memang
terasa implisit tapi ada nilai moral dalam jumlah besar dan kualitas cantik
bermain di tiga episode ini, tidak hanya pada aksi malpraktek mendapatkan organ
tubuh manusia yang diambil dari para korban yang telah mati dan dibantu peserta
nomor 111 itu saja, tapi juga mengandung berbagai isu menarik lain yang
sederhana tapi dikemas tajam. Contohnya seperti ketika peserta 101 menendang
peserta 212 karena ia tahu bahwa permainan selanjutnya adalah tarik tambang.
Tarik tambang sendiri menciptakan excitement yang lumayan oke, meskipun
gregetnya tentu tidak terlalu besar mengingat bagaimanapun juga 456, 218, dan
beberapa karakter utama lainnya tidak mungkin akan langsung mati begitu saja di
pertengahan cerita.
Namun
menilik tim yang mereka bentuk itu berisikan orang-orang dengan “power” yang
tidak kuat membuat perjuangan mereka jadi terasa menarik. Terlebih dengan
selipan momen di mana 001 mengajarkan teknik yang baik dan benar untuk dapat
menang dalam permainan tarik tambang. Ada action yang ditunjukkan oleh peserta
untuk mengakali agar mereka dapat menang bersama, momen di mana penonton coba
didorong untuk merasakan nilai persaudaraan antara manusia lewat aksi saling
bantu para peserta. Momen tersebut tetap diselingi oleh aksi Hwang Jun-ho yang
akhirnya memutuskan untuk mengambil resiko paling berbahaya sejak menyusup ke
dalam pulau mencoba untuk memantau situasi dalam penyamarannya menjadi staff
nomor 029.
Yang
menarik adalah ketika penonton perlahan “menginginkan” para peserta di tim
“protagonist” itu agar dapat berjuang bersama, terlebih setelah kesuksesan
mereka di permainan tarik tambang, saat itu pulalah Hwang Dong-hyuk hadirkan
ledakan lewat sebuah perpecahan besar yang memaksa para peserta untuk saling
adu satu sama lain. Teknik adu domba mempermainkan mental dan emosi sebenarnya
sudah terjadi setelah lahirnya potensi bahwa setiap kali lampu dipadamkan dapat
terjadi pertarungan antar kelompok untuk membunuh peserta lain, dan dari sana hal
itu berkembang menjadi momok yang terasa semakin menakutkan oleh peserta, tentu
dengan maksud untuk meningkatkan excitement cerita.
Trust
issue benar-benar didorong ke depan secara perlahan, peserta yang tadinya
berjuang sendiri kemudian dipaksa membentuk kelompok beranggotakan 10 orang,
lantas di permainan selanjutnya mereka membantuk kelompok hanya berisikan dua
orang. Di sana laju cerita sedikit diturunkan oleh Hwang Dong-hyuk, memberi
cukup banyak ruang bagi emosi bermain tanpa lupa untuk menempelkan berbagai
macam isu klasik dan sederhana yang dapat membuat penonton berkata gila. Contoh
seperti bagaimana orang-orang kerap mengungkit kebaikan mereka di masa lalu
kepada seseorang ketika dirinya berada dalam posisi terdesak dan sangat
membutuhkan pertolongan orang tersebut, Ali dan Sang-woo adalah contohnya.
Tidak ada yang sepenuhnya “gratis” memang di dunia ini.
Begitupula
pesan bahwa orang yang baik hati pun akan berubah menjadi licik demi
mempertahankan hidupnya sendiri, Gi-hun memanfaatkan dementia 001 agar dapat
mengubah hasil tebakannya, sedangkan Sang-woo menipu Ali dengan mengatakan ia
telah menyusun rencana agar mereka dapat selamat bersama dari permainan itu.
Cerita disusun dengan cerdik di permainan ke empat, menempatkan beberapa main
character yang favorit pada posisi tertinggal dan dipaksa menemukan keajaiban
agar dapat bertahan hidup. Kualitas emosi juga cantik, perpisahan Kang
Sae-byeok dan Ji-yeong (240) itu salah satunya. Sisa tiga episode lagi yang
belum saya tonton dan saya penasaran bagaimana permainan keji yang ternyata
sudah eksis sejak tahun 1988 ini akan berakhir, apakah akan menjadi kelanjutan
belaka atau justru tercipta sebuah gebrakan baru yang dilakukan oleh para
peserta tahun ini.
“You don't trust people because they're trustworthy. It's because you have nothing else to lean on.”
ReplyDelete