“Abandon ego. Strike with honor. Selflessness
and truthfulness will lead to harmony.”
Apakah kamu masih ingat dengan dua film pertama G.I. Joe film series? Saya yakin banyak yang sudah lupa, atau bahkan tidak tahu sama sekali dengan karakter Duke yang kala itu diperankan Channing Tatum, padahal ia lebih tertarik berperan sebagai Snake Eyes, karakter ninja misterius yang berikrar untuk tidak berbicara. Kedua film tersebut mencatatkan pencapaian box office yang tidak super buruk, film pertama sempat menjadi film Hasbro ketiga di puncak box office Amerika setelah dua film koleganya, Transformers. Yang berantakan adalah respon penonton, review negatif lebih dominan. Transformers film series juga pernah runtuh namun mampu bangkit lewat ‘Bumblebee’, langkah serupa yang coba diikuti G.I. Joe, matikan lalu hidupkan kembali. ‘Snake Eyes: G.I. Joe Origins’ : not groundbreaking but still better than the predecessor.
Tidak bisa berbuat banyak ketika sang Ayah tewas dibunuh seorang pria bernama Mr. Augustine (Samuel Finzi) membuat pria yang menyebut dirinya sebagai Snake Eyes (Henry Golding) terus berusaha untuk menemukan pria tersebut tadi. Suatu hari pencarian tersebut seolah menemukan titik terang ketika Snake Eyes bertemu Kenta Takamura (Takehiro Hira) yang kemudian merekrutnya dan meyakinkan Snake Eyes bahwa ia dapat membantunya menemukan pelaku yang telah membunuh Ayah-nya 20 tahun yang lalu itu. Namun suatu ketika kesetiaan Snake Eyes diuji oleh Kenta yang ternyata ia ingkari dan justru membantu pria bernama Tomisaburo Arashikage (Andrew Koji).
Tommy yang merupakan calon penerus tampuk kepemimpinan the Arashikage clan, masyarakat ninja kuno Jepang yang mengabdikan diri untuk melawan kejahatan, merupakan sepupu Kenta. Tommy mengajukan Snake Eyes untuk diterima sebagai anggota clan-nya, hal yang disetujui oleh Sen (Eri Ishida), nenek Tommy tapi dengan catatan Snake Eyes harus melalui tiga buah ujian, salah satunya melawan mentor bernama Hard Master (Iko Uwais). Tapi gerak-gerik Snake Eyes selalu mencurigakan, hal yang telah dirasakan Akiko (Haruka Abe), kepala keamanan the Arashikage clan sejak awal kedatangan Snake Eyes di Jepang.
Karena sudah semakin banyak film superhero sekarang ini maka saya rasa kita dapat sepakat bahwa salah satu hal penting yang wajib harus dimiliki oleh film superhero adalah pesona karakter yang tidak hanya kuat, tapi juga menarik. Terkadang cerita yang mereka tawarkan tidak sepenuhnya baru, mudah merasakan kesan generik saat mengamati jalan cerita misalnya, formula yang diterapkan juga sebenarnya terasa familiar satu sama lain, namun pesona karakter dapat membuat cerita yang generik tadi menjadi sebuah presentasi yang menarik. Hal tersebut kualitasnya rendah pada film ini, sejak awal yang mencoba menyajikan singkat latar belakang masalah hingga ketika penonton dibawa bertemu dengan Snake Eyes versi dewasa.
Kesalahan tidak hanya akibat Snake Eyes sendiri saja karena hal serupa ternyata juga diterapkan karakter lain di sekitarnya, mereka seperti dibekali karakterisasi kelewat simple dan itu mengejutkan karena film ini punya durasi dua jam. Seharusnya bisa diberikan ruang lebih di mana penonton dapat merasa “dekat” dengan karakter tapi ini malah semuanya seperti terus dipaksa berakselerasi kencang sejak awal. Padahal sebagai sebuah origin story hal tersebut penting, menciptakan pondasi bagi karakter dan latar belakang masalah untuk potensi follow up yang mungkin hadir setelahnya. Tapi namanya juga Hasbro ya, sama seperti Transformers film series yang didorong di sini pesona “mainan” itu sendiri.
Ada usaha perbaikan dari dua film pendahulunya di sini, script yang ditulis oleh Evan Spiliotopoulos bersama Joe Shrapnel dan Anna Waterhouse juga terhitung oke dalam membentuk runtutan cerita, dari masalah pencarian pelaku kriminal hingga konflik internal yang terjadi di dalam tubuh the Arashikage clan. Yang disayangkan adalah semua simplified sehingga berdampak pada pesona cerita dan karakter. Memang ada upaya dari Sutradara Robert Schwentke bersama timnya membuat vibe gloomy terus mendominasi narasi tapi tidak membekali narasi dengan urgensi yang menarik. Isu seperti trust, betrayal, dan juga pembalasan dendam kualitasnya juga seadanya saja, lebih bersifat sebatas fungsional ketimbang mengemban peran yang lebih vital.
Tidak heran jika motif film ini terasa lemah di awal. Saya merasa sama seperti Akiko, ragu akan kemampuan Snake Eyes yang tampak rapuh jika dibandingkan dengan para ninja itu, dualisme di dalam rencana yang ia punya juga tidak berhasil menjadi semacam senjata penting yang membuat jalannya cerita jadi lebih semarak. Konflik antara Tommy dan Kenta juga demikian, kualitasnya juga sama saja, sejak awal tidak bisa meyakinkan penonton bahwa ada pertempuran sengit dalam memperebutkan tahta the Arashikage clan. Motif pada cerita maupun karakter tidak dibekali dengan kualitas mumpuni di sini tidak heran jika mungkin yang paling memorable justru adalah motor elektrik yang digunakan oleh para karakter. Dan kipasnya Sen-san.
Tapi pertanyaan sederhana: apakah film ini lebih baik dari film pendahulunya itu? Jawabannya adalah iya. Memang script masih belum memuaskan, begitupula dengan kualitas eksposisi cerita yang diterapkan Robert Schwentke, tapi jelas upaya reboot ini tidak terasa sia-sia karena baik itu cerita maupun karakter jadi terasa lebih oke dan menarik jika dibandingkan pendahulunya. Action sequences tidak super buruk pula, punya beberapa stuntman action yang menarik tapi sayang memang style yang diterapkan oleh pergerakan kamera di sini terasa kurang oke untuk mengakomodasi upaya tampak “cool” yang sudah didorong ke penonton sejak awal, terutama paruh pertama ketika narrative need masih coba untuk dipenuhi.
Kadang dibutuhkan momen statis dalam action sequences untuk membangun aura dan pesona dari pertarungan itu sendiri, tidak melulu harus terus menerus membuat semuanya bergerak cepat. Careless memang sama seperti ketika karakter Scarlett (Samara Weaving) dan Baroness (Úrsula Corberó) diselipkan ke dalam cerita. Tapi itu tadi, semuanya dikemas agar fungsional, kita bertemu ninja, ular anaconda dengan kualitas CGI yang tidak buruk, dan didampingi dengan martial arts sebagai pemanis. Mungkin jika pesona dan motif dapat dipoles lebih baik hasilnya bisa satu tingkat di atas ini, meski memang butuh tweak pada script agar koneksi antar bagian dapat terasa solid dan meyakinkan, tidak bergantung sepenuhnya pada Henry Golding.
Overall, ‘Snake Eyes: G.I. Joe Origins’
adalah film yang kurang memuaskan. Tentunya tidak inovatif tapi dengan menjaga
semua bagian agar tetap sederhana dan bekerja secara fungsional membuat
kualitas cerita film ini lebih baik dari pendahulunya, dan upaya reboot itu tidak memalukan. Tapi
dasarnya kualitas cerita, karakter, pesona, motif hingga narasi memang masih
medioker jadi meskipun telah coba ditata secara aman tetap saja hasil akhirnya
masih kurang memuaskan. Ekplorasi pada karakter dan konflik yang lebih kuat
serta bumbu eksplotasi yang lebih berani mungkin akan dapat membuat eksposisi
punya koneksi yang lebih dinamis dan harmonis, sehingga meskipun mencoba
bergerak seperti rollercoaster yang
naik dan turun ada urgensi dan pesona
yang atraktif serta mampu mengikat atensi. Because
a win without honor is no win at all, innit? Segmented.
“Everything we want in life comes at a price.” :)
ReplyDelete