23 October 2021

Movie Review: No Time to Die (2021)

“I never forget your eyes under the ice.”

James Bond is an icon, tidak diragukan lagi merupakan mata-mata paling terkenal di dunia, pria idaman setiap wanita yang punya aura seksi layaknya Superman, karakter fiksi yang telah menjadi bagian tidak terlepaskan dari pop culture. Sejak pertama kali hadir di tahun 1962 karakter James Bond telah diperankan oleh tujuh orang pria dalam 27 buah film di mana sempat terjadi peristiwa unik di tahun 1967 dan 1983, kala itu dalam satu tahun ada dua buah film James Bond rilis yang diproduksi oleh dua production company berbeda. But the proper function of man is to live, not to exist. Begitupula dengan Daniel Craig’s James Bond, he didn't waste his days trying to prolong it. He has used his time. This is the end, hold your breath and count to ten. ‘No Time to Die’ : a lap of honor for Daniel Craig’s Bond. (Warning: the following post might contains major spoilers)


Lyutsifer Safin (Rami Malek) ingin membalaskan dendam kepada SPECTRE dengan mencoba membunuh Mr. White, celakanya yang jadi korban justru sang istri yang ia bunuh di depan anak Mr. White, Madeleine Swann, yang berusaha melarikan diri tapi justru diselamatkan Safin. Lima tahun paska berpisah dari James Bond (Daniel Craig) di Matera kini Madeleine Swann (Léa Seydoux) telah hidup bahagia bersama anaknya, Mathilde (Lisa-Dorah Sonnet), sedangkan Bond memutuskan pensiun sebagai secret agent untuk menjalani hidup normal demi melupakan kisah kelamnya di masa lalu. Hingga suatu hari the CIA agent Felix Leiter (Jeffrey Wright) menghubunginya.

Seorang scientist MI6 bernama Valdo Obruchev (David Dencik) diculik oleh Safin dan Bond memutuskan untuk kembali setelah diberitahu oleh Nomi (Lashana Lynch) bahaya dari Project Heracles yang dikembangkan oleh Obruchev atas persetujuan M (Ralph Fiennes). Project Heracles merupakan bioweapon yang mengandung nanobot, dapat menginfeksi seperti virus saat disentuh dan dikodekan ke DNA individu dan bersifat mematikan. Ernst Stavro Blofeld (Christoph Waltz) dianggap dapat membantu Bond menemukan lokasi Obruchev, dibantu Q (Ben Whishaw) dan Moneypenny (Naomie Harris) pertemuan di antara mereka dijadwalkan, namun harus dihadiri pula oleh Madeleine.

Ada sedikit cerita unik dari proses pengembangan film ini, yang kabarnya telah start sejak awal tahun 2016, beberapa bulan setelah Spectre rilis. Yang pertama adalah bangku Sutradara, paska Sam Mendes menolak untuk lanjut berbagai nama seperti Christopher Nolan, David Mackenzie, dan Denis Villeneuve kemudian masuk bursa, sampai akhirnya kala itu terpilih Danny Boyle. Yang enam bulan berselang memilih untuk mundur dari project dengan working title Bond 25 ini, hanya empat bulan saja dari production start date yang telah ditetapkan. Bangku Sutradara itu hanya kosong sebulan, Cary Joji Fukunaga ditunjuk sebagai nahkoda utama sekaligus screenwriter yang ternyata membawa isu baru, ada beberapa konsep dan ide yang harus diubah. Dari sini saja perpisahan itu sudah tampak sangat berat.


Ya, film ke-27 James Bond ini akan menjadi film terakhir di mana aktor Daniel Craig tampil memerankan karakter secret agent yang dikenal sebagai 007 itu, perpisahan yang terasa sangat memorable berkat kemampuan Cary Joji Fukunaga membangun retrospektif terkait James Bond. Bersama dengan Neal Purvis dan Robert Wade serta dibantu Phoebe Waller-Bridge yang merevisi pengembangan karakter serta humor, script punya runtutan masalah yang kuat dan menarik. Doesn't look like wants to break new ground memang tapi “obsesi” terhadap masa lalu James Bond itu justru menciptakan banyak ruang bagi emosi untuk bermain dan memegang peran penting di dalam cerita. Revisit ke ‘Spectre’ bahkan ‘Casino Royale’ juga punya peran penting di sini, semua dirangkai untuk sebuah lap of honor bagi karakter James Bond.

Ada plus dan minus dari keputusan tersebut. Setting-nya sendiri masih memakai template yang tidak jauh berbeda, masih ada absurd gadgets, a bit of political war, hingga tentu saja hubungan Bond dengan Madeleine yang ternyata berperan sebagai fokus utama di sini. Mayoritas action berputar dengan Madeleine sebagai pusat, plot juga demikian di mana Bond masuk ke dalam upaya penyelamatan tidak heran jika banyak scene yang akan terkesan berfungsi sebatas filler belaka, baik dari segi cerita termasuk action scene yang “diperas” masuk ke dalam narasi. Nilai plus keputusan tersebut adalah banyak ruang untuk membangun emosi di balik perjuangan karakter utama kita, memerasnya hingga tetes terakhir dan mendorong nilai dari perjuangan yang ia lakukan selama ini sebagai bentuk perayaan terhadap hidup yang luar biasa.


Memang durasi 163 menit itu terasa sedikit berlebihan jika menilik tidak banyak hal besar yang ditawarkan di sektor cerita, tapi limit itu justru membuat James Bond fokus pada misi yang harus ia selesaikan, membuat kesan grande yang tidak terlalu kuat itu tertutup oleh sisi entertainment yang dikemas dengan baik oleh Fukunaga. Bersama gerak kamera arahan Linus Sandgren film ini menghasilkan beberapa action scene terbaik di dalam Bond movie, ada excitement yang terasa nostalgic pada car chase yang didampingi klasik musik Bond yang di sini digubah oleh Hans Zimmer. Ini juga punya humor dan lelucon yang menyenangkan, membuat narasi terasa variatif di tengah usaha mendorong emosi terus bergerak perlahan menuju pusat panggung utama yang dibantu dengan action scene yang sangat bagus with a lot of fan service.

Terutama bagi penonton yang telah menonton film-film Bond sebelumnya, terdapat  referensi yang dikemas ulang oleh Cary Joji Fukunaga bersama tim dengan sangat baik. Seperti intro yang menggunakan dots diiringi lagu dari Billie Eilish, lalu pulau Jepang, itu mengingatkan pada ‘Dr. No’ bahkan motif di balik rencana Safin terasa seperti rencana Dr. No. Tidak lupa pula vintage Aston Martin DB5 yang kembali tampil setelah muncul di ‘Skyfall’ dan ‘Spectre’ serta Aston Martin V8 Vantage yang sempat menjadi penanda reuni produsen mobil tersebut dengan Bond di film ‘The Living Daylights’. Sama seperti penggunaan Aston Martin DBS Superleggera yang menjadi kendaraan Nomi, penuh dengan tone playful serta dialog yang tajam film ini merupakan kombinasi past and future, tradisi yang dikombinasikan dengan new beginnings.


Kematian karakter utama tentu merupakan kejutan yang sangat besar, penonton lalu dibuat bertanya bagaimana nasib James Bond selanjutnya? Tapi keputusan tersebut tidak asal muncul saja, sejak ‘Casino Royale’ karakter James Bond milik Daniel Craig memang telah diposisikan sebagai direct sequel, di mulai dari Bond yang berjuang mendapatkan licence to kill sehingga mendorong image bahwa posisi James Bond bersifat replaceable. Itu juga menjadi titik start yang sangat jelas sehingga sangat mudah bagi film ini untuk menampilkan garis finish bagi karakter James Bond yang telah berada di tangan Daniel Craig sejak tahun 2006 yang lalu. Menarik dinantikan bagaimana approach yang akan diterapkan di film James Bond selanjutnya, tentunya dengan pemeran baru yang akan mengemban tugas tidak mudah.

James Bond yang hadir di generasi saya ada dua versi, yakni yang diperankan Pierce Brosnan lalu Daniel Craig, dan setelah mencoba menonton film-film James Bond yang rilis sebelum ‘GoldenEye’ sulit bagi saya untuk menampik bahwa Daniel Craig telah berhasil membawa aura yang berbeda bagi sosok James Bond, the reinvention of the character yang membuat sosok Bond tampak terasa semakin tangguh. Energi Daniel Craig di sini oke terlebih di beberapa emotional moments, sebuah perpisahan yang sangat respectful. Ana de Armas mencuri perhatian sebagai Paloma, sedangkan Léa Seydoux terasa efektif kinerja aktingnya. Yang disayangkan Rami Malek, underuse meski dengan motif yang jelas sempat tampak seperti real danger di awal, begitupun dengan Lashana Lynch, fungsinya lebih kepada memberi kejutan lewat pemberian nomor 007, eksistensinya tidak berpengaruh banyak terhadap daya tarik cerita.

Overall, ‘No Time to Die’ adalah film yang memuaskan. It was really worth the wait to be honest, sebuah retrospektif terhadap karakter James Bond yang dibangun Cary Joji Fukunaga secara rapi dengan eksposisi yang menaruh fokus untuk menciptakan panggung bagi emosi. Dengan run time terpanjang di antara semua Bond movie jelas ada tujuan di balik ruang yang luas tersebut, yakni menyajikan sebuah akhir penuh emosi bagi perjalanan karakter James Bond versi Daniel Craig. Dibangun dengan baik sejak ‘Casino Royale’ dengan Skyfall sebagai puncak tertinggi, ‘No Time to Die’ telah berhasil menjadi sebuah penutup yang manis bagi perjalanan 15 tahun itu, such a dignified lap of honor for Daniel Craig’s Bond. James Bond will return, presented by Amazon.






1 comment :

  1. “The function of man is to live, not to exist. I shall not waste my days in trying to prolong them. I shall use my time.”

    ReplyDelete