“You and I just a momentary couple.”
Kesetiaan dan keraguan seperti menjadi kepingan kecil yang berperan penting di dalam keberlangsungan sebuah pernikahan. Janji setia untuk sehidup dan semati itu jelas bukan sembarang janji yang dapat diingkari, termasuk saat pasanganmu harus berhadapan dengan masalah besar dalam hal ekonomi misalnya, saat pasanganmu jatuh sakit, kamu tidak boleh hanya ada di saat suka saja namun malah melarikan diri atau pergi saat duka itu tiba. Lantas bagaimana sikapmu ketika suatu hari kamu mengetahui bahwa suami atau istrimu merupakan seorang mata-mata? Spesial agent yang terlibat di dalam sebuah rencana politik besar dan berbahaya? Apakah kamu akan tetap setia, atau pergi meninggalkannya? ‘Wife of a Spy’ : a marriage horror? (Warning: the following post might contains spoilers)
Di tahun 1940 pria bernama Yūsaku Fukuhara (Takahashi) mengelola bisnis ekspor dan impor di Kobe, semua berjalan normal hingga suatu hari polisi militer Jepang menangkap seorang pegadang sutra dengan tuduhan aksi spionase. Pria tersebut memiliki koneksi dengan Yūsaku sehingga ia didatangi oleh seorang pria bernama Taiji (Higashide), prajurit yang baru saja dipromosikan sebagai unit leader dan juga merupakan sahabat masa kecil Satoko Fukuhara (Yū Aoi), istri Yūsaku. Taiji hanya menginformasikan kepada Yūsaku bahwa ia sedang diawasi oleh pihak berwenang di bawah National Mobilization Law.
Yūsaku tidak merasa resah dengan informasi dari Taiji terkait preferensinya pada pakaian Barat, barang-barang impor, hingga koneksinya dengan orang-orang asing. Yūsaku bahkan tertawa gembira ketika bersama keponakannya yang bernama Fumio Takeshita (Ryōta Bandō) mereka merekam sebuah adegan yang diperankan oleh Satoko, adegan yang merupakan bagian dari sebuah film yang hendak ditunjukkan oleh Yūsaku kepada para rekan bisnisnya. Celakanya film tersebut merupakan satu dari beberapa bagian penting sebuah rencana yang sedang disusun Yūsaku, bahwa ia ingin menyelundupkan sebuah bukti ke luar dari Jepang untuk memaksa Amerika Serikat menyerang Jepang.
Film ini dibuka dengan adegan penangkapan seorang pedagan sutra asal negara Inggris yang dituduh sedang melakukan spionase, scene yang dengan cepat langsung membentuk mood dan vibe thriller yang mungkin sama seperti saya telah terpatri di dalam pikiranmu sejak menonton trailer film ini. Ekspektasi saya adalah ini sebuah film tentang mata-mata di dalam sebuah peperangan yang akan dibumbui dengan aksi licik penuh intrik bersama thrill yang menegangkan. Jika ekspektasi juga serupa dengan saya maka hapus itu karena Sutradara Kiyoshi Kurosawa bersama dengan Ryūsuke Hamaguchi dan juga Tadashi Nohara menulis sebuah historical drama yang terjadi di tahun 1940-an.
Jepang di tahun 1940-an? Ya, itu adalah momen di mana Jepang mulai di tekan dari berbagai arah yang puncaknya terjadi pada the surrender of Imperial Japan tanggal 15 Agustus 1945 dan mengakhiri Perang Dunia II. Saya tidak menyangka sebelumnya bahwa yang terjadi di film ini punya kaitan erat dengan runtuhnya kedigdayaan Jepang di Perang Dunia II karena tidak ada dramatisasi yang mencoba menggiring narasi melewati berbagai babak yang di dalamnya terdapat urgensi tingkat tinggi. Kiyoshi Kurosawa justru mengarahkan fokus untuk mengamati kehidupan sehari-hari Satoko sebagai seorang istri sembari mengantisipasi aksi dari Yūsaku.
Satoko tertawa bahagia ketika Yūsaku mengarahkannya untuk re-take sebuah adegan dari film yang sedang digarap oleh suaminya itu, sedangkan di satu momen Yūsaku mengatakan akan melakukan perjalanan bisnis ke Manchuria, daerah yang terletak di dataran China tempat Jepang mendirikan negara boneka Manchukuo yang kala itu bahkan sudah diakui oleh 23 negara dari 80 negara kala itu. Suami perjalanan bisnis, istri menunggu di rumah, ada cinta lama yang datang ke rumah ketika suami tidak ada di rumah dan muncul aksi saling curiga. Perputaran masalah yang jujur tampak normal, apalagi ketika suami pulang perjalanan bisnis ia membawa seorang wanita.
Ada
banyak hal ganjil di dalam cerita dan mengingat judulnya sendiri mengandung
suku kata “spy” maka tidak heran jika penonton menantikan hadirnya kejutan.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya, narasi tidak membangun ancaman serta emosi
dalam bentuk dramatisasi yang panas, instead it's subtly revealed to us little
by little. Calm, sebagai Sutradara yang dikenal lewat film horror justru
Kiyoshi Kurosawa terasa minim ledakan, bahkan di momen ketika Satoko sadar ada
sebuah rencana besar yang sedang disusun oleh Suaminya dan ia ingin terlibat di
dalamnya. Keseriusan itu memang ada tapi dengan pesona artistic yang kental
‘Wife of a Spy’ justru kerap terasa seperti sebuah playful drama.
Perasaan ganjil justru bukan hadir melalui konflik di dalam cerita yang penuh intrik melainkan pada eksposisi yang diterapkan oleh Kiyoshi Kurosawa, penggambaran tentang fasisme, militer, hingga pengkhianatan yang disajikan dengan menggunakan teknik long shots dengan tone warna cerah. Sama seperti cerita tampilan visual juga tidak mencoba mendorong depth yang kuat, cenderung tampil flat tapi justru sukses mengunci atensi. Kenapa? Karena di balik berbagai kesan ganjil tersebut Kiyoshi Kurosawa dengan piawai memainkan pertanyaan dan konsisten menggoda rasa ingin tahu penonton pada apa yang telah, sedang, dan akan terjadi di dalam cerita.
Kurosawa terampil dalam merangkai masalah, meskipun runtutannya mungkin akan terasa kurang menggigit tapi staging yang ia terapkan membuat kesan absurd yang subtle itu terus menerus terasa menarik hingga akhir. Mungkin tampak normal serta tradisional tapi justru eksekusi yang Kurosawa terapkan di sini sangat berani, emosi bahkan tidak ia pupuk terlalu jauh namun hasil akhir terasa empuk. Pencapaian yang tidak terlepas dari kinerja akting para aktor, terutama dua pemeran utamanya yakni Yū Aoi dan Issey Takahashi, menampilkan dua sisi yang dimiliki oleh masing-masing karakter yang mereka perankan serta secara mampu membuat tiap aksi dari Satoko dan Yūsaku menarik untuk diamati.
Overall,
‘Wife of a Spy (Supai no tsuma)’ adalah film yang cukup memuaskan. Sekali lagi
Kiyoshi Kurosawa mencoba sesuatu yang berbeda di sini, his first historical
film yang justru mendorong drama tentang kesetiaan dan keraguan dalam bentuk
drama yang minim emosi dan minim dramatisasi. Tapi kepiawaian Kurosawa dalam
staging serta memainkan pertanyaan membuat karya terbarunya yang bermain dengan plot konvensional ini menjadi sebuah penggambaran sejarah yang menyenangkan
untuk diamati, saya bahkan terkejut dengan durasi panjang serta minim “ledakan”
film ini justru berhasil membawa saya bertemu garis finish yang manis itu.
Segmented.
“How can I trust you if I don't know anything?”
ReplyDelete