Apakah
yang disajikan oleh Sutradara dan Screenwriter Hwang Dong-hyuk terasa
mengerikan atau justru tidak sebenarnya tergantung sudah atau belum pernah kamu
menonton kisah serupa, karena konsep mengurung manusia dalam jumlah banyak dan
lantas memberi mereka tugas dengan tujuan utama untuk bertahan hidup sudah coba
diterapkan oleh banyak sineas, dari the infamous ‘Battle Royale’ termasuk pula
serial film yang sempat booming beberapa tahun lalu, yakni ‘The Hunger Games’
di mana setiap district mengirimkan wakilnya di dalam sebuah kompetisi saling
bunuh. Tapi tentu ada alasan mengapa konsep dan ide cerita berupa survival
games seperti itu tetap menjadi materi yang potensial, jika dibentuk dengan
benar.
Karena
di dalam permainan yang keji seperti itu penonton dapat melihat berbagai macam
isu dan pesan yang coba didorong oleh si pembuat cerita tentang hal-hal yang
sebenarnya semakin mudah untuk kita temukan di dunia sekarang ini. Di sini
jelas uang menjadi momok utama, tiap karakter digambarkan merupakan
manusia-manusia yang sedang terlilit hutang dan kesulitan untuk melunasinya,
sehingga jelas tawaran hadiah berupa uang dalam jumlah yang sangat besar terasa
menggiurkan bagi mereka. Dari konflik itu saja sudah dapat kita lihat berbagai
macam isu yang hendak ditampilkan oleh Hwang Dong-hyuk, sikap greedy manusia
mengejar harta hingga tentu saja kondisi terdesak yang memaksa mereka mengambil
jalan pintas.
Sekalipun
para peserta itu sadar dan telah meihat sendiri resiko dari permainan yang
sedang mereka ikuti tersebut. Peserta yang gagal akan langsung ditembak,
meskipun ketika telah “dibersihkan” ternyata mereka masih bisa untuk “dapat”
hidup namun mereka akan tetap dipaksa berada di dalam peti mati yang dibungkus
layaknya kado dan kemudian akan dibakar. Setelah sadar bahwa permainan yang
awalnya tampak menjanjikan hadiah menarik yang dapat mereka gunakan untuk
membayar hutang itu ternyata merupakan sebuah survival games mengerikan, mulai
muncul beberapa peserta memohon untuk diijinkan keluar dari permainan. Tapi
coba lihat jumlah dari peserta yang ingin lanjut serta yang memilih untuk
berhenti, hanya beda satu orang!
Sebuah
sentilan manis dari Hwang Dong-hyuk dan jujur saja justru menjadi aspek paling
menakutkan dari tiga episode pertama ini. Para peserta ditembak langsung di
depan mata para peserta lain ketika ia gagal tidak sama mengerikannya jika
melihat bagaimana jumlah manusia yang masih berpikiran “normal” di dalam
permainan itu jumlahnya seimbang dengan mereka yang sudah “gila” karena
terdesak. Jika pulau itu adalah penggambaran dari dunia secara keseluruhan,
coba bayangkan berapa banyak orang “gila” di sekitarmu saat ini, mereka yang
siap melakukan apa saja demi dapat meraih apa yang mereka inginkan atau hanya
untuk sekedar bertahan hidup.
Setiap
cerita butuh pondasi yang kuat dan menarik, hal tersebut disajikan dengan baik
oleh Sutradara sekaligus Screenwriter Hwang Dong-hyuk di tiga episode ini, ia
bahkan dengan piawai mengemas lagu “Fly Me to the Moon” dan mengubah impresi
penonton terhadap lagu itu jika kelak mereka mendengarnya kembali di café
misal. Yang saya suka sejauh ini adalah kemampuan Hwang Dong-hyuk dalam
melakukan tweak terhadap konsep survival games dengan memadukannya bersama
permainan anak-anak dari Korea Selatan. Bagi penonton setia Running Man tentu
Ddakji game sudah tidak asing lagi dan kita punya Gong Yoo sebagai salesman,
lantas permainan “Red Light, Green Light” juga sudah tidak asing bahkan mungkin
di Indonesia juga.
Begitupula
dengan peraturan permainan yang diterapkan, dan yang menarik tidak seperti
survival games pada umumnya di sini para peserta memiliki clause nomor tiga,
bahkan sudah mereka gunakan sebagai senjata untuk keluar dari permainan. Tapi
di situ lucunya manusia, ketika mereka telah melihat emas maka logam biasa akan
terasa tidak menggiurkan bagi mereka. Mereka diberi kesempatan untuk vote
sesuai dengan clausal nomor 3, tapi ketika pada peserta melihat hadiah uang
yang terkumpul dari permainan babak pertama mereka berubah pikiran. Karakter
rakus para manusia diuji di sini, jiwa kompetitif peserta mulai keluar setelah
tahu jika ada satu jiwa peserta yang terbunuh maka total hadiah akan bertambah
100 juta Won. Uang adalah segalanya.
Ketika
para peserta dikembalikan ke dunia normal mereka saya terkejut sembari tentunya
merasa penasaran bagaimana kelanjutan dari cerita. Tapi momen kembali ke dunia
normal itu digunakan dengan baik oleh Dong-hyuk untuk menunjukkan isu di atas
tadi dan ia tidak mau ribet di sini, undangan kembali hadir dan kesempatan itu
tetap ada bagi para peserta. Di momen tersebut pula bisa kita lihat sifat
lainnya dari manusia tadi, yakni pintar, seperti si gangster nomor 101
misalnya, dia punya rencana untuk merampok penyelenggara permainan! Manusia
lainnya juga pintar, si 456 punya ide untuk membentuk grup agar memudahkan para
peserta untuk saling membantu menyelesaikan tantangan. Tapi pertanyaannya,
apakah itu akan bertahan lama jika piggy bank yang tergantung itu isinya
semakin menggila?
Sungguh
tiga episode pertama ‘Squid Game’ yang terasa menyenangkan, dari konsep yang
dibentuk kokoh serta berbagai aksesoris tambahan di dalam cerita yang ditata
dan dibentuk dengan baik oleh Hwang Dong-hyuk, berhasil menyajikan konsep yang
sudah tidak segar lagi itu menjadi sebuah pertunjukkan yang menarik untuk
diikuti. Yang paling outstanding di tiga episode pertama ini bagi saya ada vibe
mengerikan namun unik, penuh suspense tapi tidak mendorongnya terlalu jauh
hingga terjebak di dalam kesan bahwa ini merupakan sebuah horror-thriller, ada
komedi dan drama yang bermain dengan baik di sana. Vibe dengan kualitas kuat
yang juga tidak lepas dari kontribusi set design penuh warna yang, man, manis
banget.
“You kill us while making us play a kids' game.”
ReplyDelete