"Saying
"love" and showing love are two very different things."
Serial televisi karya Marvel yang berjudul ‘What If...?’ saat ini sedang tayang di mana penonton dibawa menyaksikan eksplorasi terhadap alternatif pada beberapa momen besar di film-film Marvel Cinematic Universe, seperti contohnya bagaimana jika Raja Wakanda, Black Panther, justru menjadi salah satu pahlawan eksentrik di ‘Guardians of the Galaxy’ dan menyandang gelar Star-Lord? Lantas apa hubungannya dengan Cinderella? Well, mayoritas dari kita tentu sudah tahu atau bahkan mungkin telah hafal dengan alur ceritanya, bagaimana jika kemudian beberapa momen besar di dalam kisah Cinderella itu memiliki alternatif cerita yang berbeda? Bagaimana jika Ibu tiri Cinderella yang justru menikah dengan si Pangeran tampan itu di dalam sebuah sajian musikal? ‘Cinderella’ : a fuzzy fairy tale from the screenwriter of Pitch Perfect.
Cinderella (Camila Cabello), atau yang akrab disapa Ella, merupakan seorang wanita muda yang memiliki ambisi besar untuk memiliki sebuah toko pakaian yang kelak akan ia namai "Dresses by Ella". Tapi sayangnya lingkungan Cinderella memandang sebelah mata ambisinya tersebut, termasuk keluarga tirinya yang terdiri dari Vivian (Idina Menzel) si Ibu tiri serta dua saudara tirinya, Malvolia (Maddie Baillio) dan juga Narissa (Charlotte Spencer). Suatu hari King Rowan (Pierce Brosnan) mengumpulkan semua warganya, acara yang juga dihadiri oleh anggota keluarga kerajaan lainnya seperti Queen Beatrice (Minnie Driver) dan Princess Gwen (Tallulah Greive).
Tentu saja tidak ketinggalan calon pewaris tahta kerajaan, Prince Robert (Nicholas Galitzine), pria yang sudah ditodong oleh King Rowan untuk segera menikah agar segera meneruskan tahta. Dan di acara tersebut tadi Prince Robert melihat Cinderella yang melakukan sebuah aksi konyol di hadapan banyak orang, ia jatuh hati namun sayang Ella dengan cepat menghilang dari acara tersebut. Di sisi lain King Rowan sedang menyusun sebuah acara pesta dansa yang akan dihadiri oleh beberapa putri bangsawan kerajaan lain. Semua wanita lajang di kerajaan turut diundang hadir di acara tersebut, termasuk Cinderella.
First of all, saya suka musical dan buat saya tidak ada masalah melihat karakter dan narasi bercerita dengan cara bernyanyi, itu justru menyenangkan jika diolah dengan tepat. Hal tersebut pula yang membuat saya menaruh ekspektasi yang sedikit lebih ketika membaca berita bahwa sosok di balik cerita tiga buah film ‘Pitch Perfect’, Kay Cannon, akan mencoba membentuk kembali kisah Cinderella menjadi sebuah sajian musikal. Dan berita tersebut semakin menghebohkan setelah kemudian dikabarkan pula bahwa pemeran utama karakter Cinderella adalah Camila Cabello. Memang jika berbicara kualitas akting maka sulit untuk menilai Camila, tapi project tersebut akan bermain di ranah musikal dan kita tahu pesona vocal menarik milik Camila Cabello.
Bagaimana hasilnya? Seperti yang saya singgung di bagian awal tadi bahwa film ini mencoba untuk menyajikan beberapa cerita alternatif terhadap big moments kisah Cinderella yang selama ini mungkin telah mayoritas penontonnya kenal, jalan cerita yang telah lekat dengan sosok Cinderella itu sendiri akan hadir sedikit atau mungkin jauh berbeda dengan cerita yang selama ini kamu kenal. Sebut saja plot klasik itu sebagai template Cinderella, di film ini terdapat beberapa plot yang mendapatkan porsi lebih besar dari template tadi, ada eksplorasi misalnya terhadap isi keluarga si Pangeran, begitupula treatment si Ibu dan dua saudara tiri kepada Cinderella yang mungkin akan mampu membuatmu sedikit menyernyitkan dahi.
Itu dua dari beberapa kejutan lain, sosok Ibu peri juga mendapat treatment berbeda yang akan membuat dahimu tadi semakin kusut saja. Lantas apakah beberapa plot variations and alternative tellings tersebut berhasil menciptakan kemasan musikal yang menyenangkan? Jawabannya tidak. Permasalahan tidak sepenuhnya terletak pada berbagai macam kejutan pada plot serta treatment yang berbeda dari template klasik tadi, melainkan juga pada cara cerita dan karakter dibentuk serta ditata oleh Kay Cannon. Jika ditelusuri lebih jauh maka cerita tentang sosok seperti “Cinderella” memang memiliki beberapa versi berbeda, bahkan ada yang tidak memiliki sosok Ibu tiri di mana saudara tiri yang justru menjadi antagonis utamanya.
Itu mengapa meskipun memang menciptakan kesan ganjil dan sedikit aneh namun tweak yang dibentuk Kay Cannon tidak terasa terlalu mengganggu jika dibandingkan dengan lagu-lagu yang ia pilih dan bagaimana mereka dieksekusi. Ketimbang fokus pada kejutan di plot saya justru merasa terganggu dengan kualitas musikal film ini, lagu-lagu seperti Somebody to Love, Am I Wrong, Seven Nation Army, Let's Get Loud, hingga Perfect tampil dengan pesona ompong dan tidak menggigit. Yang dibutuhkan dan menjadi hal wajib bagi sebuah musikal adalah membawa penontonnya merasa ikut hanyut di dalam tiap baris lirik yang bersenandung di layar, yang terjadi di sini justru terasa kaku dan datar, belum lagi saat berkombinasi dengan dialog kikuk itu.
Film ini benar-benar bertumpu pada momen musikal, yang celakanya punya kualitas seadanya pula, karena baris dialog yang ia punya kualitasnya medioker. Kreatifitas Kay Cannon dalam menyuntikkan sedikit nafas segar berupa inovasi pada jalan dan plot cerita seperti absen saat telah dieksekusi. Cinderella kesulitan menjadi bintang utama, plot jadi lebih berwarna berkat eksplorasi terhadap beberapa karakter tapi justru membuat narasi tidak punya fokus kuat, terlalu luas dan “pengap” tapi justru membatasi ruang bagi karakter dan beberapa konflik untuk benar-benar terbentuk dengan baik pula menarik. Sama halnya pace cerita, tidak rapi sehingga momentum narasi terasa lesu untuk membuat penonton merasa terus terikat dan semakin tertarik secara bertahap.
Terasa kusut memang, beberapa bagian teknis seperti visual effect tergolong cukup baik, costum di the ball tidak buruk, tapi itu saja tentu tidak cukup untuk memberi poin positif dan menyelamatkan “kekacauan” di sektor lain. Bagaimana dengan para aktor dan kinerja akting mereka? Camila Cabello, pesona vokalnya oke tapi karakter Cinderella terasa dingin di tangannya, sedangkan Nicholas Galitzine membuat Prince Robert terasa sangat-sangat normal. Karakter wajah Idina Menzel tercipta bukan untuk menjadi Ibu tiri dari Cinderella, sedangkan Minnie Driver, Pierce Brosnan, dan Tallulah Greive merupakan sebuah tim yang tidak buruk untuk menjadi sumber kebisingan cerita yang ingin berbicara dengan cara yang sedikit berbeda itu.
Overall, ‘Cinderella’
adalah film yang kurang memuaskan. Ini merupakan sebuah kemasan menarik jika
kamu hanya ingin sebatas mengetahui bagaimana jika cerita Cinderella dengan
template klasik itu kemudian sedikit diubah dengan beberapa plot alternatif.
Selebihnya ini adalah sebuah musikal yang kusut, penuh ambisi menarik tapi
sayang tidak dibangun dengan pesona yang kuat dan menarik. Narasi terasa lesu
dengan dialog kikuk dan punya masalah pada pace
serta momentum cerita, ini jelas
merupakan sebuah inovasi yang berani namun sayangnya kurang terkendali serta
tidak ditata secara rapi. Man, it's
charmless and, uhm, magicless. Segmented.
“I mean, what is life if you're not with the person you love?”
ReplyDelete