"I'm
happy that you know who you are. You're brave."
Film yang bikin susah move on itu sangat langka. Standar-nya sendiri bagi tiap orang tentu berbeda-beda namun film yang berhasil memberikan aftertaste demikian tentu memiliki sesuatu yang terasa spesial baik itu dari segi cerita, akting, hingga elemen teknisnya, hal yang dimiliki oleh film ini. Dari empat karakter yang kamu lihat pada poster di atas, tiga di antaranya merupakan tunarungu, mereka keluarga yang tidak memiliki kemampuan mendengar kecuali satu orang anak yang menyandang status sebagai child of deaf adults. ‘CODA’ : a must-see gem.
Pria bernama Frank Rossi (Troy Kotsur) tinggal di Massachusetts bersama keluarga kecilnya yang beranggotakan sang Istri Jackie (Marlee Matlin), anak sulungnya yang bernama Leo (Daniel Durant), serta si bungsu Ruby (Emilia Jones). Mata pencaharian utama mereka adalah sebagai nelayan penangkap ikan, Frank dan Leo sudah full fokus ke pekerjaan tersebut sedangkan status sebagai pelajar high school membuat Ruby masih sebatas pekerja part-time. Tapi tugas Ruby tidak sepele, setiap pagi di pukul tiga ia harus membangunkan keluarga untuk bersiap menuju laut. Itu karena Ruby merupakan satu-satunya yang dapat mendengar di keluarganya.
Frank, Jackie, dan Leo adalah orang dengan keterbatasan kemampuan pendengaran alias tuli sehingga mayoritas interaksi dalam aktifitas bisnis keluarga mereka sangat bergantung pada Ruby. Suatu hari dilema datang saat Ruby yang memutuskan untuk bergabung dengan paduan suara sekolah agar dapat dekat dengan siswa bernama Miles (Ferdia Walsh-Peelo) justru dinilai memiliki bakat bernyanyi yang spesial oleh Bernardo Villalobos, atau Mr. V (Eugenio Derbez), pelatih paduan suara sekolahnya. Ruby disarankan untuk mencoba mengajukan beasiswa ke sekolah musik Berklee College of Music, tapi di sisi lain Ruby sadar ia sangat penting bagi keluarganya.
Butuh tiga hari bagi saya untuk pada akhirnya mampu benar-benar merasa siap beranjak meninggalkan ‘CODA’ yang merupakan adaptasi dari film ‘La Famille Bélier’ karya Eric Lartigau. Terakhir kali saya merasakan yang serupa adalah saat kemarin berhasil lepas dari film ‘Minari’ yang manis itu, film yang juga memiliki “something special” dan membuat sulit move on. Bukan karena sulit menulis review-nya melainkan selalu muncul perasaan ingin untuk kembali mengulang pengalaman yang telah film tersebut sajikan sebelumnya. Tiga hari dan tiga kali saya menonton film ini, awalnya dengan alasan yang cukup unik, ‘CODA’ mengguncang emosi tapi saya ragu apakah itu tulus.
Saya terpukau usai first viewing namun di sisi lain juga merasa ragu bahwa rasa puas yang saya rasakan itu lekat dengan faktor hype yang diperoleh film ini sebelum ia rilis di platform streaming Apple TV+ tiga hari yang lalu. Saya lantas memutuskan untuk kembali menyaksikan film ini, dan gila saja guncangan itu masih tetap berada di kualitas yang sama kuatnya dengan first viewing, yang kemudian berlanjut hingga kali ketiga. Apa yang coba saya tekankan di bagian awal review ini adalah bagaimana Sutradara dan Screenwriter Sian Heder berhasil menyajikan pengalaman menonton di mana terasa memorable karena kamu dapat merasakan semua elemen miliknya bekerja dengan sangat baik.
Dengan sangat baik. Tidak hanya satu namun ada empat karakter underdog di sini yang meskipun satu di antara mereka tidak tuli namun mereka sekeluarga terjebak di dalam penilaian yang sama dari lingkungan sekitar mereka. Karena mereka tuli, keterbatasan yang lantas menciptakan situasi sulit terutama Ruby yang jelas-jelas menjadi semacam pintu bagi terciptanya interaksi antara keluarganya dengan orang lain. Sutradara Sian Heder doesn't shy away dari fakta keterbatasan kemampuan mendengar itu merugikan keluarga Rossi, tapi demikian pula dengan dramatisasi yang tidak tampil berlebihan, kamu dibuat menaruh simpati dan empati pada situasi mereka, hingga muncul sebuah dilemma.
Konflik itu berupa sebuah peluang bagi Ruby untuk “memperbaiki” citra keluarganya dengan cara mengejar mimpinya. Memang itu berawal dari sesuatu yang terasa receh yakni perasaan suka pada seorang pria, namun hal tersebut justru merupakan titik awal bagi keluarga Rossi untuk berubah. Semua disajikan oleh Sian Heder dengan tatanan yang sangat rapi dan manis, dari bagaimana ia membangun duduk masalah di awal, mengembangkan berbagai sub-plot termasuk romance, hingga ketika narasi mulai membawa penonton masuk ke dalam babak selanjutnya yang semakin rumit baik itu dari segi cerita hingga tentu saja emosi. Dinamis, semuanya tertata rapi.
Sangat rapi sampai-sampai kamu dibuat merasa sangat dekat dengan keluarga Rossi, merasakan kesulitan mereka namun juga ikut menangis haru ketika peluang itu tiba. Terasa sangat intim dan merupakan salah satu alasan mengapa saya kesulitan move on dari mereka, perasaan hangat baik ketika tertawa dan juga tangis serta amarah, kisah klasik tentang menghindar dari rasa takut untuk mengejar mimpi serta sebuah uplifting story about say something with voices absence. Seorang Ruby jelas menjadi spotlight tapi fokus terhadap karakter dan konflik lain terasa seimbang, diselimuti dengan manis oleh konflik dan pesan tentang nilai dan arti penting sebuah keluarga.
Dan hal terakhir tadi hadir dengan perasaan authentic yang sangat memikat. Satu dari beberapa something special yang dimiliki oleh film ini, bersanding manis dengan script yang memberi ruang gerak yang leluasa bagi sign language untuk beraksi dan mengguncang emosi penontonnya. Saya terkejut melihat begitu powerful teknik sign language tersebut untuk menjadi salah satu motor penggerak narasi, membuat saya merasa semakin tenggelam di dalam problematika kehidupan bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan kemampuan pendengaran. Termasuk dampak domino bagi Ruby yang merupakan seorang child of deaf adults, kesulitan yang harus ia tanggung dan jalani.
Tapi ada satu hal menarik lainnya, yakni cara Sian Heder memoles permasalahan tanpa membuatnya tampak bersifat merusak. Semua berlandaskan cinta kasih di sini bahkan ketika satu keluarga berdebat alot dengan menggunakan sign language, ada sensitifitas manis yang terbentuk, bahkan ketika Ruby akhirnya mengambil sebuah keputusan berat about letting go dan melangkah ke depan. Cinta terus bertumbuh hingga akhir, perdebatan penuh gesekan tidak mengandung kebencian, justru arti tentang menjadi manusia terus didorong naik menuju titik puncaknya dengan baik. Sensitivity punya andil besar dan Sian Heder gunakan untuk menguak sebuah fakta menyakitkan yang justru take the Rossi Family to the next level dengan lembut.
Pencapaian yang tidak lepas dari kontribusi elemen lain yang turut andil membuat cerita bergulir dalam irama yang terasa sangat harmonis. Pace-nya sendiri terhitung cepat tapi tiap potongan terasa padat dan hit the target, cinematography-nya lembut begitupula dengan editing dan peran musik yang juga sangat manis. Tapi tentu saja kinerja akting lebih mencolok dari mereka, bagaimana Emilia Jones membuat Ruby ada di antara dua pilihan sulit terasa memikat, emosi tampil dengan air muka terasa sangat terkontrol serta ketika ia membangun koneksi dengan sign language bersama Troy Kotsur, Marlee Matlin, dan Daniel Durant, di mana ketiganya juga berhasil tampil memikat. Eugenio Derbez dan Ferdia Walsh-Peelo menjalankan tugas mereka dengan sangat efektif.
Overall, ‘CODA’ adalah film yang sangat memuaskan. Saya yakin banyak orang akan merasa sulit untuk move on dari drama keluarga ini karena memang ia mempunyai “something special” yang terasa menawan, menyaksikan bagaimana hidup dari orang yang punya keterbatasan kemampuan pendengaran berpadu dengan coming-of-age story with such a lovely sensitivity. Sejak awal hingga akhir film ini likeable, hangat, lucu, sedih, and uplifting, semua ditata dengan rapi serta manis oleh Sutradara Sian Heder dan menjadikan ‘CODA’ a must-see gem and brilliant moving drama. Life may fly, but love be still. Man, female directors, they are crazy! Heartwarming magic.
“There are plenty of pretty voices with nothing to say. Do you have something to say?”
ReplyDelete