“We are cursed. We cannot allow this evil
to keep spreading.”
Vampire dan zombie mungkin posisinya jauh lebih tinggi dalam daftar “hal paling menakutkan yang tidak ingin kamu temui ketika berada di dalam sebuah pesawat yang sedang mengudara” jika dibandingkan dengan ular misalnya. I know, memang sedikit spoiler tapi kamu lihat saja poster di atas bagaimana film ini dengan berani menampilkan sosok aneh yang dapat terlihat di jendela pesawat ketika fokus mata orang-orang mungkin akan lebih tertuju kepada sosok wanita dan anak kecil yang tampak ketakutan. Pesawat adalah moda transportasi paling aman, tapi lain cerita ketika masalah justru bukan berasal dari pesawat dan pilot, melainkan dari vampire. ‘Blood Red Sky’ : an effective action horror dish.
Mata banyak calon penumpang di bandar udara tertuju pada seorang anak kecil yang berjalan sendirian menuju tempat check-in tiket tanpa didampingi orang dewasa, salah satunya seorang fisikawan bernama Farid (Kais Setti) yang kemudian mencoba membantu sang anak mengangkat koper miliknya yang tampak berat. Namanya Elias (Carl Anton Koch) dan ia menjalankan dengan baik perintah dari Ibunya yang akan datang sedikit terlambat. Wanita yang menunjukkan ekspresi cemas itu bernama Nadja (Peri Baumeister), dan ia selalu menggunakan kacamata di siang hari.
Ketika sudah berada di dalam pesawat Nadja tidak berhenti menunjukkan ekspresi serta gesture tubuh di mana seolah ia merasa sangat tidak nyaman, Nadja bahkan langsung cemas ketika seorang pria mencoba berdebat dengan pramugara baru, pria yang memiliki nama panggilan Eightball (Alexander Scheer). Tapi ternyata Eightball merupakan penyusup, bersama dengan Bastian (Kai Ivo Baulitz) yang duduk sebagai co-pilot mereka tergabung di dalam sebuah kelompok pria yang sedang mencoba melakukan pembajakan pesawat.
Tentu tidak ada yang salah dengan cara Sutradara Peter Thorwarth serta co-writer Stefan Holtz dalam menyajikan bagian pembuka itu, langsung mencoba membuat kondisi mencekam dengan tensi tinggi di sebuah bandar udara di mana kita melihat sebuah pesawat terbang mencoba mendarat, dan dari gesture tubuh para karakter di bandara itu tampak seperti upaya pendaratan darurat. Kejutan kemudian muncul lewat sosok yang tidak kamu duga menjadi orang pertama yang keluar dari pesawat tersebut, lantas perhatianmu langsung dialihkan menuju cockpit di mana terdapat seorang pria dengan gerak-gerik yang kembali mencoba mempertebal kesan ganjil.
Celakanya bagian pembuka yang menurut saya terasa kuat tersebut tadi merupakan sebuah “spoiler” tipis bagi apa yang akan ditampilkan selanjutnya, membawa kamu mundur ke mungkin beberapa jam sebelumnya dan menggali alasan di balik upaya pendaratan darurat tadi. Dari awalnya bermain dengan tone crime thriller film yang juga dikenal dengan judul ‘Transatlantic 473’ ini secara perlahan mulai bertransisi menjadi sebuah sajian horor. Ada proses di sana, ya standard memang tipikal film bertemakan pembajakan pesawat pada umumnya, tapi ada punch yang cukup oke ketika para karakter antagonis mulai menjalankan rencana mereka.
Terutama dengan eksistensi karakter bernama Eightball, ia punya kesan brutal dan liar yang sangat mencolok, ketika karakter lain ditempatkan pada posisi berusaha untuk menjalankan misi mereka di sisi lain Eightball tampak mencoba “menikmati” kesempatan untuk menunjukkan sisi psycho miliknya. Fokus saya langsung terkunci padanya meskipun sebelumnya telah didahului dengan proses perkenalan terhadap Nadja dan Elias, yang notabene merupakan dua karakter utama. Berbicara tentang dua karakter ini saya suka dengan posisi dan peran mereka sebagai titik pusat bagi narasi untuk berputar, latar belakang masalah yang menimpa Nadja juga terasa oke.
Sedikit berbeda mungkin pada Elias, pesonanya tidak terlalu kuat akibat spoiler tipis di bagian awal tadi, tapi fungsinya berjalan dengan baik, terutama sebagai jangkar bagi gejolak emosi di dalam diri Nadja, sebuah taruhan bagi Nadja. Karakter wanita utama itu sendiri mengalami sedikit distraksi dengan keberadaan flashback sebagai upaya eksposisi terhadap latar belakang masalah tadi, bagian yang bagi saya terasa seperti potongan puzzle yang klik dengan present tapi kurang kuat daya tariknya mengingat ia eksis hanya untuk menjelaskan asal mula tragedi yang menimpa Nadja. Seandainya dapat dipoles sedikit lebih jauh lagi mungkin hasilnya bisa lebih baik.
Meskipun di sisi lain untungnya juga tidak ada dramatisasi yang berlebihan di sana sehingga laju cerita jadi terasa oke. Tidak ada yang spesial jika kita berbicara tentang materi cerita, elemen horor via vampire bermain dengan formula yang umum, aman, sama seperti narasi yang semakin predictable akibat “dibantu” oleh spoiler tipis di awal itu. Tapi di balik kekurangan yang ia miliki ‘Blood Red Sky’ tetap mampu dijaga oleh Peter Thorwarth untuk terus bergulir dengan energi yang terasa terasa oke, secara overall memang tidak padat apalagi standout, begitupula terkait momentum dalam narasi yang kerap terganggu flashback tadi, but still good enough to entertain.
And good enough to keep you excited. Tekanan terus berkembang dengan cukup baik di dalam ruang sempit yang tersedia itu, terutama ketika wabah vampire yang awal mula penyebarannya terasa gila itu kemudian mulai mendominasi. Meskipun ada spoiler tipis di awal saya terkejut melihat Peter Thorwarth berhasil menata dengan baik thrill di dalam kabin pesawat, memanfaatkan dengan baik tiap sudut ruang dan menyajikan aksi catch and run yang cukup fun. Ditunjang pula dengan kualitas make-up yang mumpuni peranpara aktor pada pencapaian positif tersebut juga tidak kalah besar, Peri Baumeister dan Alexander Scheer terasa memikat sedang Carl Anton Koch dan Kais Sett menjalankan peran mereka dengan baik.
Overall, Blood Red Sky (Transatlantic 473) adalah film yang cukup memuaskan. Film action horror ini berhasil mendaur ulang kembali formula dan materi klasik sebuah film tentang pembajakan pesawat dan mengkombinasikannya dengan elemen horor yang simple dan umum yakni wabah vampire, menempatkan hubungan ibu dan anak sebagai jangkar emosi ketika narasi membawa karakter beputar-putar saling kejar dan tangkap di dalam sebuah pesawat yang sedang mengudara. Tidak ada standout di sini namun tiap komponen film berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik untuk membuat ‘Blood Red Sky’ menjadi a simple and effective action horror dish. Good enough.
“We bring nothing but suffering to this world.”
ReplyDelete