“I am everybody's mother”
Seberapa
klasik sebenarnya film ini sampai berani menggunakan judul seperti itu? Dari
segi cerita memang benar karena ini seperti kombinasi berbagai materi cerita horror yang klasik, dan dari cara cerita
dieksekusi juga sama klasiknya serta banyak mengingatkan pada film 'Midsommar' yang juga mengangkat isu
serupa, isu kultus pemujaan yang ganjil dan aneh. Satu hal yang pasti kamu
tidak boleh terlalu “polos” dalam memaknai judul yang digunakan film dari
Italia ini. ‘A Classic Horror Story’ :
when Midsommar won via a penalty.
Wanita bernama Elisa (Matilda Anna Ingrid Lutz) sedang bertukar pesan dengan sang Ibu sembari menantikan kedatangan shuttle yang akan membawanya menuju kota Calabria. Elisa dijadwalkan akan menjalani operasi dan sang Ibu mengatakan bahwa dokter meminta agar Elisa berada dalam kondisi fit. Di dalam shuttle yang berbentuk campervan itu Elisa bertemu dengan lima orang, salah satunya tentu saja Fabrizio (Francesco Russo) sebagai pengemudi yang memberi sambutan hangat berupa video, sebuah vlog yang memperkenalkan para penumpangnya kepada subscriber-nya.
Akan menuju Calabria pula seorang Dokter bernama Riccardo (Peppino Mazzotta) serta pasangan muda, wanita asli Italia bernama Sofia (Yuliia Sobol) bersama dengan kekasihnya yang berasal dari Bristol, Inggris Raya, yakni Mark (Will Merrick). Di satu titik dalam perjalanan Elisa merasa kurang enak badan sehingga campervan terpaksa berhenti, dan dari sana Mark kemudian mengambil alih kemudi. Celakanya aksinya tersebut justru membawa lima orang tersebut terdampar di sebuah padang rumput di tengah hutan belantara, no signal dan hanya ada satu rumah tua yang kosong dan berisikan legenda Osso, Mastrosso, serta Carcagnosso.
Memang ini dibuka dengan sebuah hiasan dinding berupa kepala rusa yang mungkin sudah sering kamu temukan di film-film horor menakutkan lainnya, tapi dari sana kamera kemudian bergerak turun secara perlahan untuk menyorot seorang wanita yang menunjukkan rasa takut luar biasa di wajahnya. Ekspresi takut yang kemudian terasa wajar karena memang ada sosok misterius sedang bergerak mendekatinya, tapi yang menjadi pertanyaan dari scene pembuka tersebut adalah satu bola mata yang menyaksikan kejadian tersebut melalui sebuah lubang di dinding kayu. Dan ia hanya diam yang lantas meninggalkan pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi?
Duet Sutradara Roberto De Feo dan Paolo Strippoli melakukan eksekusi yang sangat baik di scene pembuka, ada punch yang terasa kuat di balik penyajian yang simple sebelum kemudian langsung membawa penontonnya bertemu dengan karakter lain. Tidak ada penjelasan yang terlalu detail terhadap karakter, dan saya suka akan hal itu, membuat penasaran semakin besar meskipun suasana mobil yang dikendarai lima karakter itu terasa fun dan bersahabat. Sangat normal walau memang ada kesan ganjil yang ditampilkan masing-masing karakter, yang terasa paling mencolok tentu Elisa dan Riccardo, sedangkan kamu dibuat mengantisipasi aksi gila dari Mark.
Saya suka bagaimana babak awal itu dikemas, script yang ditulis oleh duet Sutradara bersama Lucio Besana, David Bellini, dan Milo Tissone mengakomodasi dengan baik agar impresi awal yang terasa ganjil di scene pembuka terus berkembang menjadi sesuatu yang menarik untuk dinantikan, konflik yang belum terlalu rumit membuat karakterisasi dari tiap karakter langsung terbentuk dengan baik. Hingga satu kejutan itu akhirnya muncul. Mungkin lebih enak menyebutnya sebagai kejutan pertama, hal yang sebenarnya tidak bisa disebut baru pula tapi berhasil menstimulasi rasa ingin tahu penonton pada kejadian misterius yang menimpa campervan itu.
Kamu dibawa masuk ke dalam sebuah arena di mana narasi kemudian akan bermain seperti judul film ini, yaitu sebuah horor klasik, dan di bagian ini Paolo Strippoli dan Roberto De Feo mencoba mengatur irama cerita. Memang terasa sedikit terlalu lama saat membangun eksposisi dari momen ketika karakter terdampar hingga bertemu dengan kejutan selanjutnya, padahal babak awal dikemas dengan cepat dan padat. Tapi sedikit setback itu tidak langsung membuat narasi menjadi kehilangan kesan dinamis yang telah tercipta di awal, meski mencoba memainkan irama sedikit tapi di bagian tengah ini kesan ganjil dan aneh mampu terus mengunci atensi penonton.
‘A Classic Horror Story’ berhasil membuat penonton merasa penasaran dengan apa yang terjadi di dalam hutan tersebut, dan penyebab mengapa mereka bisa terdampar di sana. Hingga kejutan kedua itu muncul dan membuat kualitas film ini mengalami degradasi. Ini berhasil membuat penonton merasa tegang ketika adegan horror itu belum muncul, tapi mengapa ketika yang dinantikan telah tiba ketegangan itu sirna? Ada dua opsi, pertama karena duo Sutradara terlena menata misteri sehingga kendor saat menyajikan konklusi, atau yang kedua bahwa ini memang diperuntukkan tampil sebagai sebuah prank. Sayangnya sekalipun opsi kedua yang betul kualitas film akhir film ini tetap tidak mampu membuat prank itu terasa “mindblowing.”
Sesuatu yang sangat saya sayangkan mengingat bagaimana sebelum kejutan kedua itu muncul narasi berjalan dengan permainan atmosfir yang terasa sangat manis, ia benar-benar mengingatkan pada cara bermain dari sebuah horror klasik. Dari sudut pengambilan gambar ditunjang cinematography yang memikat, sedangkan score yang eerie itu tidak pernah berhenti mencoba memompa tensi dan excitement cerita. Surreal atmosphere dikemas dengan manis untuk membantu para aktor yang tampil baik meski kesempatan untuk mengembangkan karakter mereka terasa terbatas tapi at least mampu menjadi pion bagi scare jump yang berisikan momen hening hingga kejutan sederhana seperti bunyi pintu itu. Tapi kenapa konklusinya seperti itu?
Overall, ‘A Classic Horror Story’
adalah film yang cukup memuaskan. Kejutan kedua itu sebenarnya bukan sesuatu
yang buruk untuk dilakukan seandainya konsep lebih matang dalam mempersiapkan
bagaimana kejutan itu akan bekerja. Di sini kesannya justru terasa random, sebuah twists and turns yang membuat babak akhir jadi terasa kosong serta
mementahkan upaya membangun sebuah sajian horror
klasik di babak sebelumnya, lalai dan lantas mengorbankan sebuah sajian misteri
dengan permainan atmosfir yang manis itu demi berusaha untuk mengejutkan
penontonnya lewat satu pembelokan tajam yang terasa premature. Not bad, but should be better. Segmented.
“What is that? Something satanic?”
ReplyDelete