“We are all sinners. All of us, right?”
“Kita harus bersyukur dengan pekerjaan yang diberikan kepada kita”, begitu bunyi salah satu baris kalimat di film ini yang jujur saja menghasilkan kesan ambigu yang lucu. Karakter film ini sendiri seolah menjadi penggambaran dari betapa kerasnya dunia saat ini sehingga membuat mereka berani ambil resiko dengan membuka jasa “membersihkan pekerjaan kotor”. Ironi memang dan itu menjadi pondasi yang kuat bagi crime drama Korea ini yang secara satu kesatuan berhasil menyajikan cerita tentang kejahatan yang terasa segar. ‘Voice of Silence’ : black comedy at its finest.
Tae-in (Yoo Ah-in) merupakan pria muda yang tidak pernah bicara, sedangkan rekan kerjanya Chang-bok (Yoo Jae-myeong) adalah seorang pria paruh baya yang sangat religius. Setiap hari setelah usai bekerja Tae-in diturunkan oleh Chang-bok di sebuah perempatan jalan,, dari titik tersebut sosok yang merawat adik perempuan bernama Moon-ju (Lee Ga-eun) itu lalu melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya dengan menggunakan sepeda. Moon-ju selalu bahagia ketika Tae-in tiba membawa makanan hasil dari pekerjaannya yang unik.
Bersama dengan Chang-bok sehari-hari Tae-in berdagang telur dan sayur mayur tapi yang memberi mereka banyak uang justru pekerjaan sampingan sebagai petugas kebersihan aksi kejahatan para mafia Korea Selatan, membersihkan potensi bahaya tidak hanya berupa jejak tapi juga korban. Dianggap dapat dipercaya mereka lantas dimintai tolong untuk menjaga sementara anak bernama Cho-hee (Moon Seung-ah), ia baru saja diculik dan akan dijadikan alat untuk meminta tebusan uang yang akan digunakan oleh the gang boss untuk melunasi hutang.
Saya tidak menyangka bahwa film yang memiliki banyak makna ini merupakan debut penyutradaraan bagi Hong Eui-jeong, karena yang ia sajikan di sini secara kualitas sudah berada di titik yang tidak "terlalu biasa" untuk ukuran sebuah film Korea. Dari kulit luarnya ‘Voice of Silence’ mungkin tampak seperti sebuah crime drama dengan bumbu black comedy yang kental namun ternyata tampil secara implisit hampir di semua bagian kisah dua orang yang hidup dan terjebak di dalam dunia kriminal ini merupakan sebuah penggambaran dari berbagai isu sosial yang eksis di sekitar kita saat ini, dikemas Hong Eui-jeong dengan sangat ambisius secara subtle.
Tae-in dan Chang-bok sebenarnya paham bahwa “bantuan” mereka berikan itu salah secara sosial namun itu mereka jadikan rutinitas karena menghasilkan uang. Suara di dalam pikiran mereka seolah diam dalam hal ini, menjadikan sesuatu yang salah menjadi benar, kehilangan moralitas dan kepekaan mereka terhadap aksi kejahatan. Akibatnya mereka seperti buta karena uang dan tidak memikirkan konsekuensi dari keputusan mereka tersebut. Dari sana kemudian berbagai macam isu dibuat saling adu oleh Hong Eui-jeong terlebih dengan keputusan untuk membuat dua karakter utama kita itu terasa ambigu posisinya.
Mengingat keterlibatan mereka di dalam kegiatan kriminal Tae-in dan Chang-bok tentu bukan karakter yang baik, tapi mereka juga tidak layak disebut menjadi bagian dari dunia para kriminal sepenuhnya. Mereka justru merupakan penggambaran dari orang-orang yang terbuang dan terlupakan, merasa “kesulitan” dan lantas mencoba untuk menempuh cara apapun untuk dapat bertahan hidup. Yang lucu adalah ketika Chang-bok mencoba membimbing agar Tae-in terus bersyukur kepada Tuhan meski mereka melakukan pekerjaan kotor. Hal tersebut yang membuat peran dari karakter Cho-hee terasa mencolok, karena sejak ia hadir Tae-in menemukan kepingan yang ia cari selama ini.
Di beberapa titik cerita Cho-hee bagi Tae-in terasa identik seperti peran Mathilda bagi Léon di film ‘Léon: The Professional’ dalam konteks yang luas, seorang pria yang hidup di dalam kegelapan kemudian bertemu dengan seorang anak perempuan dan mencoba untuk menemukan sisi yang lebih baik lagi di dalam kehidupannya. Tae-in sendiri sejak awal merupakan perwujudan dari orang-orang “kecil” yang tidak bisa “berbicara” atau menyuarakan yang mereka inginkan, ia seperti terjebak di dalam sistem yang telah dibuat oleh Chang-bok, sistem yang terbukti berhasil dan dapat menghasilkan uang bagi mereka. Isu hirarki sosial itu disentil dengan manis.
Itu yang membuat ‘Voice of Silence’ ini punya kesan unik meskipun narasinya seperti tidak berbicara tentang banyak hal, tragedi di dalam hidup karakter digunakan sebagai jalan bagi proses pembersihan, melepaskan diri serta emosi yang mungkin selama ini terpendam. Hong Eui-jeong bentuk dengan ambigu yang besar, crime dan bumbu thriller di luar tapi punya hati berupa drama dengan sensitifitas yang lembut tentang kebebasan, pemikiran manusia, serta tentu tentang pahitnya hidup. Tapi menariknya Hong Eui-jeong membuat dunia yang kelam itu tampil dengan visual yang cerah, dibantu staging yang padat serta mumpuni dalam menggunakan sisi komik karakter.
Sejak awal mereka muncul di layar masing-masing karakter langsung mencuri atensi penonton, tidak hanya lewat topeng kelinci seperti Cho-hee yang diperankan dengan baik oleh Moon Seung-ah, tapi juga dua karakter utama lainnya. Chang-bok adalah jangkar bagi cerita dan itu tugas yang mudah bagi Yoo Jae-myeong, sedangkan sosok Tae-in sebagai komandan utama yang terasa commanding meski tidak bersuara, ia diperankan dengan baik oleh Yoo Ah-in terutama penyampaian emosi lewat ekspresi wajah. Para aktor sukses membuat karakter mereka “hidup” di dalam layar sehingga situasi dan perjuangan yang mereka hadapi terasa punya bitterness yang oke.
Overall, ‘Voice of Silence’ adalah film yang memuaskan. Menggabungkan drama dan thriller namun justru menempatkan black comedy sebagai nafas utama, Sutradara Hong Eui-jeong membawa penontonnya menyaksikan berbagai isu sosial lewat cara tertawa mengikuti karakter berada di dalam berbagai situasi yang lucu tapi gripping. Ini unik, mereka lucu tapi ada tragedi di sana, dengan energi yang konsisten tampil oke mereka juga berhasil meninggalkan punch dan emosi yang mumpuni, sebuah penggambaran dari betapa kerasnya dunia saat ini yang penuh tantangan dan resiko. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment