“No one sees what they don't want to.”
Film ini dibuka dengan seorang wanita yang tampak kebingungan di sudut ruangan sembari melihat tempat tidur di mana di sana terbaring mayat. Wanita tersebut kemudian melihat ke arah ceiling di mana seekor binatang kecil sedang merayap. Judul film kemudian muncul dalam ukuran sangat besar dan disusul dengan cairan berwarna merah yang menimbulkan gelembung kecil, mempertajam kesan “ganjil” dan langsung menarik masuk penonton ke dalam situasi “tidak nyaman”, menjadi dasar kuat bagi sajian horror yang kemudian ia sajikan. ‘Saint Maud’ : it'll make you think of things you didn't want to. (Warning: the following post might contains mild spoilers)
Seorang perawat wanita tidak berhasil menyelamatkan nyawa pasiennya meskipun telah berusaha melakukan resusitasi jantung paru (CPR). Wanita tersebut kemudian duduk terdiam melihat pasien-nya yang telah meregang nyawa, ia lantas melihat ke sisi atas dan di sana ada sebuah binatang yang sedang merayap. Wanita itu bernama Katie namun menyebut dirinya dengan panggilan Maud (Morfydd Clark), dan setelah kejadian tersebut tadi memutuskan untuk menjadi palliative care nurse. Pasiennya kini bernama Amanda Kohl (Jennifer Ehle), seorang penari dan koreografer.
Amanda
kini mengidap kanker darah limfoma
stadium empat dan terpaksa mengisi kesehariannya di atas kursi roda. Amanda
takut akan kematian dan ia menceritakan hal itu kepada perawat barunya, yang ia
rasa dapat menjadi partner yang baik
untuk sekedar berbincang. Maud yang merupakan penganut agama Roman Catholic yang taat kemudian merasa
bahwa Amanda merupakan sosok yang dipilih Tuhan untuk ia “selamatkan”. Maud
mencoba untuk membawa Amanda kembali percaya pada Tuhan namun celakanya ia
kehilangan kontrol.
Di debut penyutradaraan film layar lebar-nya ini Rose Glass sangat berhasil meramu dua hal saya yakin mayoritas penonton ingin dapatkan dari sebuah sajian film horor, yakni kemampuannya dalam menarikmu dan lalu menempatkanmu ke dalam posisi merasa ganjil akan situasi dan atmosfir yang sedang berlangsung di sekitar karakter, lalu kemudian dari perasaan ganjil membawamu bergerak semakin jauh dan dalam untuk merasakan “ketidaknyamanan” yang eksis di dalam cerita. Kita pada akhirnya tahu bahwa Maud merupakan wanita yang memiliki niat mulia, ia ingin membantu pasiennya, tapi di sisi lain eksis pula citra atau image psycho di dalam dirinya.
Kesan bahwa Maud adalah seorang psycho dapat dikatakan merupakan titik tertinggi karena di bawahnya berulang kali Maud sukses membuat penonton merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam dirinya. Isu tentang mental ini yang kemudian digunakan oleh Rose Glass untuk memupuk kesan misterius cerita, Maud ia tempatkan seperti sebuah bom waktu yang ternyata mudah meledak ketika ia merasa apa yang ia yakini tidak dapat ia capai. Terutama ketika kemudian Maud mendapat pukulan telak saat ia tahu apa yang ia yakini selama itu adalah salah. Nah, mungkin terkesan sederhana namun ada kerumitan yang manis di sana.
Fokus cerita mungkin lebih didominasi proses mengamati sosok Maud bertemu dengan beberapa “rintangan” dalam hidupnya, sedangkan Amanda Kohl merupakan pengejawantahan yang manis dari the Lost Sheep yang membuat Maud otomatis tampak seperti seorang gembala yang hendak menuntun domba tersebut kembali ke jalan menuju rumah yang “tepat” menurutnya. Yang menjadi masalah adalah Maud terjebak di dalam emosinya sendiri, di dalam sikap egois yang dapat penonton lihat berhasil membuatnya kehilangan kontrol terhadap her own sanity. That’s the point, itu benar-benar menghujam saya dengan sangat keras dibalik tampilan yang sangat sederhana dan implisit itu.
Saya senang dengan cara Rose Glass membentuk sosok “asing” yang di sini berhasil menggiring penonton untuk meyakini bahwa ia adalah Tuhan yang berbicara dengan Maud, meski kesan bahwa itu adalah setan juga sama kuatnya. Sesuatu yang wajar memang karena sosok asing tersebut membuat Maud berubah ke arah yang negatif, ia tenggelam di dalam nafsu dan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Beberapa scene sukses mempertebal suasana mencekam, tidak tanggung-tanggung Rose Glass buat seolah sosok asing itu sudah ada di dalam tubuh Maud. Tapi sadarkah kamu di balik kerumitan itu ada interpretasi sederhana yang sangat tajam terhadap kondisi dunia saat ini? Terutama pada sikap toleransi sesama umat manusia.
Terlepas dari ada atau tidak setan atau hantu di sekitar Maud, sesuatu yang tampil fun dengan cara yang unik, Maud adalah penggambaran dari manusia biasa yang kemudian terperangkap dan menjadi buta pada apa yang ia suka dan ia yakini benar. Pada akhirnya ia menilai hal-hal yang tidak sama dengan dua hal tadi merupakan sesuatu yang salah besar. Tidak heran jika scene terakhir yang ambigu itu berhasil menjadi puncak yang menyeramkan bagi cerita, titik di mana manusia menjadi gila karena nafsu dan keinginannya sendiri tanpa mencoba “membuka” mata terhadap dunia di sekitarnya. Anda benar, tapi apakah yang berbeda dari pilihan anda lantas otomatis masuk dalam kategori salah, nista, dan hina?
Man, itu hadir dalam bentuk sebuah sajian horor yang kental, diolah secara manis oleh Sutradara Rose Glass dengan penggunaan visual yang manis untuk membantu mempertajam atmosfirnya yang terasa keren. Cinematography dari Ben Fordesman terasa rapat dan rapi, score eerie dari Adam Janota Bzowski terasa cantik, kualitas sound dan design juga manis, sedangkan editing terasa dinamis. Tapi bintang utamanya adalah dua pemeran wanita, Jennifer Ehle tampil oke sebagai jangkar bagi Morfydd Clark yang memegang kendali penuh cerita, ia membangun Maud secara perlahan sebagai sosok wanita yang tampak psikologinya terganggu karena trauma dan lalu berkembang ke arah yang semakin tidak terduga.
Overall, ‘Saint Maud’
adalah film yang sangat memuaskan. Impresif mengingat ini merupakan film layar
lebar pertama Rose Glass sebagai
Sutradara mengingat cara ia menata seluruh komponen terutama atmosfir ganjil
dan unsettling yang sangat kuat.
Ditunjang dengan kinerja akting yang mumpuni dan elemen teknis yang juga tampil
manis, kisah wanita bernama Maud itu memang tampak sederhana namun ternyata
sukses mendorong kerumitan dan pesan yang kuat serta cantik lewat kombinasi horror dan psychological thriller yang menawan. No one sees what they don’t want to. Gosh, that’s “spiritual” on
another level. Segmented.
“When you pray, do you get a response?”
ReplyDelete