"Sometimes the thought is closer to the truth, to reality, than an action.”
I'm thinking of ending things. Once this thought arrives, it stays. It sticks, it lingers, it dominates. There's not much I can do about it, trust me. It doesn't go away. It's there whether I like it or not. It's there when I eat, when I go to bed. It's there when I sleep, when I wake up. It's always there. Always. I haven't been thinking about it for long. The idea is new. But it feels old at the same time. When did it start? What if this thought wasn't conceived by me, but planted in my mind, pre-developed? Is an unspoken idea unoriginal? Maybe I've actually known all along. Maybe this is how it was always going to end. ‘I'm Thinking of Ending Things’: a mischievous and screwy psychological horror. (Warning: this review contains major spoilers).
Seorang wanita muda (Jessie Buckley) dengan wajah ceria berdiri di tepi jalan dan menunggu kekasihnya tiba. Pria itu bernama Jake (Jesse Plemons), dan wajahnya tidak terlalu rupawan. Namun bukan itu alasan mengapa sang wanita mengutak-atik isi pikirannya yang dipenuhi kegalauan terhadap hubungannya dengan Jake. Wanita tersebut merasa ragu apakah Jake merupakan pria yang tepat baginya, ia tuangkan itu dalam bentuk suara di dalam hati yang kerap mengusik Jake yang sedang berkendara dalam diam. Mereka sedang berada di dalam perjalanan menuju rumah orangtua Jake di tengah terpaan badai salju.
Kunjungan itu tidak lama karena sang wanita
masih punya pekerjaan yang harus ia selesaikan dan Jake siap mengantarkan ia
pulang apapun kondisi cuaca yang terjadi nantinya. Sang wanita tidak ragu akan
hal itu karena ia fokus pada momen di mana ia akan bertemu Ibu (Toni Collette) dan Ayah (David Thewlis) dari pria yang sedang ia
pertimbangkan untuk ia tinggalkan. Ya, seperti salah satu pekerjaan Janitor (Guy Boyd) di sekolah lama Jake,
sang wanita memang ingin "membuang" Jake karena ia merasa kurang
nyaman menjadi kekasihnya.
Di salah satu scene kamu dapat mendengar bunyi langkah kaki seorang wanita yang sedang berjalan di dalam rumah, bunyi tersebut hadir dalam durasi sangat panjang seolah mencoba menunjukkan betapa luas rumah tersebut. Di satu scene lainnya ada seorang wanita muda yang diminta oleh pria yang disebut sebagai kekasih untuk turun ke lantai bawah dan menunggunya. Wanita tersebut menuruni begitu banyak anak tangga yang muncul berulang-ulang sembari berpikir dengan ekspresi wajah penuh rasa bingung, tapi ternyata ketika dia tiba di lantai bawah wanita tersebut bertemu dengan kekasihnya tadi yang ternyata telah tiba lebih dahulu di sana, padahal akses naik dan turun di dalam rumah tersebut hanya melalui tangga.
Di satu scene lainnya kita dibawa melihat wanita dengan banyak nama itu berputar mengelilingi rumah milik orangtua kekasihnya, ia masuk ke dalam satu ruangan dan bertemu dengan Ayah dari kekasihnya yang sudah tidak lagi muda, lalu keluar dari ruangan tersebut sang wanita tadi bertemu dengan Ibu kekasihnya yang tampak jauh lebih muda dari saat pertama kali ia bertemu mungkin beberapa jam sebelumnya, dengan kulit wajah yang masih kencang, rambut belum ada uban, dan pakaian yang trendy and chic. Tapi sebelum kejadian itu si wanita tadi terlebih dahulu masuk ke dalam sebuah ruangan dan di sana ia melihat kekasihnya sedang memberi makan sang Ibu, duduk dengan badan yang lemas dan rambutnya telah memutih.
Tapi ternyata kemudian Ibu tersebut telah terbaring lemah namun celakanya di momen tersebut si wanita justru bertemu dengan Ayah dari kekasihnya, wajahnya tampak segar dan warna rambutnya masih didominasi oleh warna hitam. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Itu yang selalu berputar di dalam pikiran saya sejak pertama kali melihat karakter wanita muda itu dijemput oleh kekasihnya untuk mengunjungi orangtua si pria. Di dalam mobil mereka sudah berbincang dingin dan dipenuhi dengan kesan canggung, menunjukkan pada penonton bahwa ada perasaan sayang di sana tapi juga tidak menutupi kesan lain bahwa ada yang ganjil di antara mereka berdua. Hal yang sama kembali terjadi ketika dua karakter utama kita telah tiba di tempat tujuan mereka, konsisten sembari diselingi aksi seorang janitor.
Mungkin akan terkesan seperti saya membocorkan alur cerita film ini tapi walau memang itu hampir mencakup satu jam durasi namun rasanya tidak ada artinya di samping rasa bingung bercampur excitement terhadap aksi “jahil” Sutradara dan Screenwriter Charlie Kaufman di sini. Mengadaptasi cerita dari novel karya Iain Reid di sini Kaufman kembali melakukan kegemarannya, tidak “menyelesaikan” masalah di dalam cerita bagi para penontonnya. Kaufman kembali mendorong “experiences” di sini, membawa penonton masuk ke dalam sebuah kasus sederhana yang di sini bercerita tentang sepasang kekasih yang saling meragu terhadap perasaan mereka masing-masing, lalu ciptakan celah untuk menimbulkan berbagai penafsiran yang di sini muncul dalam lingkup yang luas. Dan terasa liar serta nakal buat saya.
Saya tidak tahu apakah ini baik atau justru buruk, namun saya tenggelam di dalam dunia yang Kaufman ciptakan lewat sepasang kekasih itu. Sejak awal jelas sekali dua manusia itu memiliki troubled mind di dalam hati dan pikiran mereka, yang satu berbicara dalam hati tanpa rasa takut sedangkan yang lain duduk diam seolah dapat mendengar celotehan dalam hati karakter tadi. Charlie Kaufman kembali membuat semacam labirin aneh, fokusnya mungkin banyak mengarah pada karakter wanita tapi sebenarnya ini adalah kisah tentang Jake. Judul film ini sebenarnya merupakan sebuah pengejawantahan isi pikiran Jake yang dibalur oleh Kaufman dengan tone ambigu sehingga terasa sulit untuk diserap, mengingat karakter utamanya justru ia tempatkan berada di belakang karakter lain yang mendominasi cerita dengan isi pikirannya.
Itu jelas mengecoh tapi di sisi lain juga merupakan sebuah teknik pengembangan narasi yang terasa hypnotic. Tidak banyak potongan di dalam cerita tapi penonton dibuat sibuk mencoba mengurai dan menjalin koneksi antar momen di dalam cerita bersama tone eerie and bleak yang terasa stabil. Apakah Jake bisa telepati? Mengapa pacar Jake selalu menggerutu tapi Jake juga selalu diam seolah ia tahu apa yang sedang dikicaukan oleh pacarnya itu di dalam hati? Apakah sosok Jake merupakan khayalan sang pacar atau justru sebaliknya? Pertanyaan terakhir itu yang menarik karena saya merasa bahwa semua ini merupakan apa yang sedang terjadi di dalam pikiran Jake. Itu bisa kita lihat dari ending, bagaimana Jake memutuskan tidak menyelesaikan masalahnya dengan menggunakan fantasi serta ide yang berbahaya, yang sebenarnya juga tidak semua terjadi seperti yang ia harapkan.
Jake adalah manifestasi dari manusia yang tidak percaya pada dirinya sendiri, dia selalu mencoba berbagai opsi di dalam pikirannya. Tidak heran jika pada akhirnya kita melihat transisi narasi berisikan perubahan fisik pada karakter, karena hal itu adalah hasil dari tabrakan yang terjadi antar fantasi di dalam pikiran Jake. Terlepas dari kondisi itu Charlie Kaufman sangat baik dalam membungkus ironi tersebut tadi, pria yang sedang sedih berusaha membayangkan “versi lebih baik” dari dirinya lewat sebuah fantasi di mana ia juga merasa takut kehilangan wanita buatan isi pikirannya sendiri. Dan untuk itu Kaufman gunakan tweak yang cantik dengan memasukkan film "A Beautiful Mind" di mana karakter utamanya yang bernama Nash mengidap paranoid schizophrenia dan bergelut dengan delusi. Lalu apa maksud dari adegan menari dan animasi menggunakan hewan babi itu?
Well, I'll leave it there for your interpretation. Namun yang jelas itu merupakan bagian dari proses Jake kembali menuju normal dan memulai introspeksi terhadap ketidakseimbangan yang ia punya di dalam hidupnya, bahkan di dalam fantasi yang merupakan buah karya otak miliknya. Penggunaan pendekatan yang unik dan berani pada script seperti ini yang membuat ‘I'm Thinking of Ending Things’ menjadi salah satu dari film paling memorable di tahun ini, terlepas dari elemen teknis seperti editing yang oke serta cinematography yang manis dari Łukasz Żal. Charlie Kaufman juga patut berterima kasih pada jajaran cast-nya, Jesse Plemons tampil subtle sedang Jessie Buckley punya haunting and rich performance sebagai wanita banyak nama itu. Toni Collette punya kesempatan yang cukup banyak dan wow di sini dia kembali menunjukkan kualitas ciamik yang ia miliki selama ini.
Overall, ‘I'm Thinking of Ending
Things’ adalah film yang memuaskan. Ini merupakan sebuah
repertoar dengan pendekatan yang berani dan unik terhadap cerita serta isu yang
dibawa, ditampilkan oleh Charlie Kaufman
dengan gaya khasnya yakni sebuah labirin di dalam pikiran dua karakter utamanya
dan membuat pikiran penontonnya ikut berputar-putar. Saya menonton film ini
dua kali, satu dari pov karakter utama wanita dan satu lagi dari pov kombinasi
Jake dan Janitor, dan gabungkan mereka untuk merasakan sebuah pengalaman
seseorang ketika ia mencoba memasukkan dirinya ke dalam sebuah panggung
sandiwara di mana dia bermain dengan fantasi dan juga opsi, mencoba
menyembuhkan sakit di pikirannya dengan mencari makna eksistensi, melakukan introspeksi dan move on. It’s the art of letting go, it is
beautiful in a bleak, heartbroken kind of way. Segmented.
“You can say anything, you can do anything, but you can't fake a thought.”
ReplyDelete“There is kindness in the world, you know? You have to search for it, but it's there.”