TV Series Review: Emily in Paris - Part 2 (Felina)

"Sometimes your dream is somewhere you didn't expect it to be."

Pesona romantis dari kota Paris membuat seorang wanita memutuskan kekasihnya dan mulai membangun kehidupan baru, pindah dari Chicago menuju Paris dengan mengemban misi dari kantornya wanita tangguh dan eksentrik itu harus berhadapan dengan orang-orang baru yang kesulitan untuk menerima sistem dan style yang ia miliki. Sama halnya dengan cinta, Paris membuat wanita tersebut hanyut bersama gelora cinta yang pada akhirnya membuat dirinya jatuh cinta pada seorang pria yang merupakan kekasih teman barunya.

Sinopsis:

Sebuah kejutan datang menghampiri wanita bernama Emily Cooper (Lily Collins), ia dipilih menjadi utusan dari kantor tempat ia bekerja untuk pergi meninggalkan Chicago dan terbang ke Paris, kota idaman banyak orang termasuk bagi Emily. Tugas yang mendadak itu membuat Emily terkejut ketika ia mendarat di Paris dan tiba di kantor Savoir, terlebih saat ia bertemu dengan Boss Savoir, Sylvie (Philippine Leroy-Beaulieu) yang ternyata merasa skeptis pada Emily, tidak yakin bahwa wanita muda yang bahkan tidak bisa berbicara dalam bahasa Prancis tersebut dapat membantu meningkatkan image dan profile perusahaan mereka di mata para klien.

Rintangan bagi Emily semakin berat karena ia memilih untuk menggunakan metode yang dianggap oleh Sylvie tidak meyakinkan. Emily berjuang untuk membuktikan pada Sylvie bahwa penilaiannya tadi salah sembari juga mencoba membangun kehidupan barunya di kota Paris. Salah satunya dalam hal percintaan. Teman baru Emily bukan hanya Mindy Chen (Ashley Park), ia juga menjalin hubungan dengan seorang Chef bernama Gabriel (Lucas Bravo) yang punya mimpi untuk memiliki restaurant sendiri. Celakanya Gabriel ternyata merupakan kekasih Camille (Camille Razat), wanita Paris yang juga merupakan teman baru Emily.

Emily in Paris

Genre: Comedy, Romance, Drama

Director: Andrew Fleming, Zoe Cassavetes, Peter Lauer

Writer: Darren Star, Kayla Alpert, Ali Waller, Joe Murphy, Matt Whitaker, Emily Goldwyn, Sarah Choi, Alison Brown, Grant Sloss

Broadcast Network: Netflix

 

Cast:

Lily Collins as Emily Cooper

Philippine Leroy-Beaulieu as Sylvie

Ashley Park as Mindy Chen

Lucas Bravo as Gabriel

Samuel Arnold as Julien

Bruno Gouery as Luc

Camille Razat as Camille

Kate Walsh as Madeline Wheeler

William Abadie as Antoine Lambert

Arnaud Viard as Paul Brossard

 

[Spoiler Alert]

Emily in Paris

Episode 6 - Episode 10

Well, ini berjalan tidak sepenuhnya sesuai seperti apa yang saya harapkan. Awalnya saya mengira ini akan menjadi sebuah kisah tentang women empowerment di mana Emily menjadi karakter utama kita, tapi di lima episode sisanya saya merasa justru Emily ini menjadi semacam avatar dari para millennial sekarang ini. Memang tidak sepenuhnya salah karena dengan seiring perubahan yang terjadi mindset manusia juga pasti akan mendapat dampaknya, ketika saat ini semua seolah semakin mudah untuk diraih tentu ada pula sisi negatifnya. Emily ini ternyata menjadi avatar untuk hal tersebut, apa yang ia temukan dan sedang jalani di lingkungan barunya tersebut menjadi sebuah penggambaran dari perjuangan kawula muda.

Tapi sayangnya hal tersebut disajikan dalam presentasi yang terasa dangkal. Selaku Sutradara di lima episode terakhir ini, Andrew Fleming dan Peter Lauer sebenarnya cukup oke dalam menjaga irama cerita terutama pada pesona menyenangkan yang dimiliki oleh Emily, lengkap dengan segala masalahnya yang sederhana itu. Masalah terletak pada script yang sepertinya memang menolak untuk menggali berbagai isu  menarik di kehidupan Emily sedikit saja lebih dalam. Ya, saya akui berbagai macam kekonyolan termasuk ramuan klise terkait seks itu terasa oke untuk diikuti namun sayangnya mereka bersifat disposable, tidak meninggalkan kesan yang kuat. Menjadi avatar sebenarnya bukan masalah, tapi Emily tidak diberikan treatment agar dirinya dapat bersinar layaknya seorang heroine.

Yang terjadi justru Emily menjadi semacam boneka yang hidup di dalam absurdity yang ia temukan dan ciptakan di Paris, dia bergerak dengan kesan seduktif seperti sedang menemukan semangat dan gairah yang sebelumnya tidak ia temukan dan rasakan di Chicago. Ekspektasi saya tidak seperti ini, mungkin seperti The Devil Wears Prada yang berpadu dengan Sex and the City, ambil saja sedikit pesona dari masing-masing mereka dan gabungkan menjadi satu, saya rasa itu sudah lebih dari cukup. ‘Emily in Paris’ tidak berjalan ke arah sana, ia memilih untuk terus memeras fantasi dari kehidupan para millennial yang justru menciptakan kesan malas yang besar. Emily memang menemukan arti hidup yang selama ini ia cari, tapi sayangnya pesan tersebut terasa kurang menarik bagi saya pengemasannya secara keseluruhan.

Seandainya saja para screenwriter mau untuk memberikan sedikit saja kesempatan lebih bagi cerita untuk membuat karakter Emily “membuka” pikirannya mungkin ini hasil akhirnya akan lebih menarik. Di sini penonton sebatas masuk ke dalam sebuah utopia di mana Emily teguh dengan ego yang ia punya, menolak ide konvensional dan bergantung sepenuhnya pada keberuntungan bahwa ide yang ia punya akan berhasil bekerja dengan baik pada akhirnya. Where's that self-improvement charm, then? Padahal pondasi ‘Emily in Paris’ ini sudah cukup oke terutama pada karakter dan ide cerita, sayangnya ia memilih style over substance secara cukup ekstrim dan meninggalkan cerita dengan sedikit substansi menarik tentang bagaimana manusia hidup sekarang ini yang dipenuhi dengan berbagai kerumitan.

Season kedua kabarnya akan diproduksi dan semoga saja kekurangan di season pertama ini dapat diperbaiki di sana. Semoga saja nanti ada konflik yang tidak hanya sekedar menarik saja tapi juga punya konsekuensi yang menarik pula sehingga tidak sekedar numpang lewat dan menjadi penyemarak belaka. Jalannya sederhana, buat saja Emily merasa tertarik untuk mengenal “dunia baru” yang ia temukan, ia boleh hidup di dreamland miliknya di mana kesuksesan seperti mudah untuk didapatkan tanpa membutuhkan pengorbanan besar, tapi at least Emily harus menunjukkan bahwa hal tersebut ia raih dengan effort yang tinggi sehingga cerita terasa lebih berisi. It is tempting, but it's shallowness quiet devastating.