‘More
Than Friends’ memang tampak simple, sebuah kisah tentang unrequited love
dipenuhi dengan berbagai materi ciri khas sebuah roman klise, namun saya senang
mendapati ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih berisi ketimbang
ekspektasi. Di pusat cerita sendiri masih berdiri kokoh tiga karakter utama
kita yang kini telah terlibat semakin jauh di dalam cinta segitiga klasik,
namun di dalam “permainan” yang menggunakan proses konfirmasi isi hati sebagai
senjata utama itu eksis pula berbagai isu dan pesan tentang hidup dan cinta
yang menarik. Cenderung ke arah manis lebih tepatnya, terasa basic tapi berhasil
dibentuk oleh Sutradara Choi Sung-bum agar menjadi sebuah kisah yang hangat
untuk diikuti.
Seorang
wanita diperebutkan oleh dua orang pria? Klasik. Lalu kemudian wanita itu
terbelenggu rasa ragu pada siapa yang harus ia pilih di antara dua pria
tersebut tadi? Ya, klise dan jujur saja sejak dua episode pertamanya saya telah
mempersiapkan diri untuk bertemu dengan sebuah romansa klise yang memiliki
potensi besar untuk jatuh menjadi sajian monoton, terlepas dari potensi positif
yang ‘More Than Friends’ punya tentu saja. Tapi menariknya dibalik kesan klise
yang juga tetap dipertahankan itu terus tumbuh pula sebuah kisah cinta yang
terasa menyenangkan untuk diikuti, berputar-putar dengan aksi tarik dan ulur
yang sudah tidak asing lagi namun tetap berhasil menjerat penonton untuk seolah
menjadi sahabat bagi para karakter, ikut menyaksikan mereka “bergelut” dengan
berbagai masalah yang rumit tapi simple.
Dari
kulit luarnya mungkin yang sedang terjadi di dalam cinta segitiga itu terkesan
sangat sederhana, kuncinya ada pada Woo-yeon yang tinggal mengambil keputusan
siapa yang ingin ia pacari? Sederhana memang jika dinilai dari sisi logika,
tapi di sini Sutradara Choi Sung-bum bersama dengan Screenwriter Jo Seung-hee
mencoba membentuk presentasi tentang bagaimana jika berbagai isu tersebut
dilihat dengan menggunakan dominasi dari emosi? Yang sedang dialami oleh
Woo-yeon merupakan sesuatu yang sangat lumrah menurut saya, sepuluh tahun
mengejar sosok idaman hati untuk kemudian patah hati, lalu bak petir yang
menyambar di teriknya siang hari sosok idamannya itu tiba-tiba “tergila-gila”
pada Woo-yeon, berusaha untuk meraih hatinya.
Di
sana hadir perumpamaan menggunakan payung itu, bagaimana sebuah hubungan asmara
“sometimes expand and sometimes they fold”. Ada proses di sana dan hal tersebut
yang kini sedang ditempuh oleh dua di antara tiga karakter utama kita, dari
awalnya wanita mengejar pria kini berbalik setelah mereka belajar makna penting
dari sebuah perasaan cinta. Yang memisahkan Lee Soo dan Woo-yeon pada dasarnya
adalah timing dan keberanian, timing Woo-yeon kurang oke sepuluh tahun lalu
tapi kini ia tidak berani mengambil keputusan, sedang Lee Soo sebaliknya di
mana kini ia berada di timing yang kurang tepat sedangkan sepuluh tahun lalu ia
yang justru tidak berani untuk mengutarakan perasaan suka kepada Woo-yeon.
Jika
ada peluang maka ambil sikap dan aksi, jika tidak maka peluang itu akan berlalu
dan kamu akan terbelenggu di dalam penyesalan. Benang merah dari isu tersebut
juga oke, bagaimana kisah cinta mereka mencoba menunjukkan bagaimana solusi
dari permasalahan tersebut adalah bergerak maju, karena itu merupakan cara
untuk lepas dari rasa putus asa. Lee Soo memang terkadang terasa agresif, hal
yang di sisi lain juga membantu mendongkrak pesona seorang On Joon-soo yang
tampak sangat “compact” sebagai seorang kekasih bagi Woo-yeon. Tapi aksi Lee
Soo tersebut justru merupakan bentuk penggambaran dari perjuangan cinta yang
menarik, yakni bahwa jika kamu benar-benar mencintai seseorang maka kamu tidak
akan pernah goyah apa pun yang terjadi.
Itu
mengapa meskipun dari segi “boyfriend material” saya akui Joon-soo unggul
dibanding Lee Soo namun sejak Lee Soo “sadar” saya merasa seperti berada di tim
miliknya, mendukung perjuangannya untuk kembali mendapatkan sosok yang dulu
telah ia sia-siakan begitu saja. Di balik sikap egois yang pernah ia tunjukkan
saya suka dengan sikap egois yang kini eksis di dalam diri Lee Soo, ia menolak
menyerah dan terbelenggu di dalam rasa sesal karena melewatkan satu kesempatan
lain yang mungkin saja merupakan
kesempatan terakhir baginya untuk dapat bersama Woo-yeon. Tentu saja sembari
menunggu dan memberi waktu bagi Woo-yeon untuk dapat menetapkan pilihan
hatinya, sesuatu yang memang tidak mudah terlebih dengan kondisi eksis pria
yang lebih compact di dalam diri Joon-soo.
Bukankah
hal-hal di atas tadi merupakan materi klasik dan klise dari sebuah kisah
percintaan? Ya, itu dia yang membuat ‘More Than Friends’ ini terasa mengejutkan
karena materi klasik dan klise tadi berhasil dibentuk Choi Sung-bum untuk tidak
hanya sekedar sebagai kumpulan masalah yang mencari solusi saja namun menjadi
sebuah kisah cinta yang “hidup dan hangat” di dalam pikiran dan hati
penontonnya. “You never see things that are too close”, saya rasa itu cukup
tepat untuk mewakili apa yang sedang terjadi di ‘More Than Friends’ sampai
dengan episode ke sepuluh, ajakan untuk mengamati kisah cinta dalam jarak yang
tidak terlalu dekat karena jika dilihat dari kejauhan cinta yang sederhana itu
pada dasarnya juga rumit. Tidak hanya pada cinta segitiga, Han Jin-joo
kesulitan menemukan pria yang tepat sedang Kim Young-hee terus meragu untuk
melangkah ke pernikahan.
“The feeling of impotence brought by the realization the efforts were in vain. That feeling that wrecks a person is the adverse effect of effort.”
ReplyDelete