“Do you check your smartphone before you pee in the morning or while you're peeing in the morning? 'Cause those are the only two choices.”
Social Media. It's easy today to lose sight of the fact that these tools actually have created some wonderful things in the world. They've reunited lost family members. They've found organ donors. I mean, there were meaningful, systemic changes happening around the world because of these platforms that were positive! But I think we were naive about the flip side of that coin. Yeah, these things, you release them, and they take on a life of their own. And how they're used is pretty different than how you expected. Nobody, I deeply believe, ever intended any of these consequences. There's no one bad guy. So, then, what's the problem? Is there a problem, and what is the problem? ‘The Social Dilemma’ : a sharp-witted dig on our social dilemma.
Teknologi menjadi bagian penting yang akan
terus bergerak maju seiring jaman yang juga terus berkembang, dan salah
satu hasil dari perkembangan tersebut adalah kemudahan berinteraksi yang kini
dimiliki oleh manusia. Media sosial namanya, platform yang membuat begitu
banyak tech expert terus berlomba-lomba untuk menciptakan produk terbaik.
Sayangnya upaya untuk menciptakan produk yang semakin baik itu bukan hanya
sebatas untuk memudahkan orang-orang yang mereka sebut sebagai user saja.
Sutradara Jeff Orlowski kembali berhasil melakukan apa yang dahulu pernah ia lakukan di 'Chasing Coral' dan 'Chasing Ice', yaitu mengangkat satu tema yang punya isu dengan lingkup atau cakupan luas, mengolah isu tersebut untuk menjadi sesuatu yang bersifat penting lalu menyuntikkan hasil olahan tersebut tadi ke dalam hati dan juga pikiran penontonnya. Yang kemudian ia gunakan untuk membawa penonton hanyut bersama narasi yang secara perlahan dan lembut namun juga tegas mulai menggali semakin dalam isu dan mengembangkannya menjadi semakin luas. Kali ini isu utama yang diusung adalah bahaya yang tersimpan di balik penggunaan sosial media dan dari titik start itu lalu berkembang menjadi sebuah penggambaran tentang “sisi gelap” yang lagi dan lagi dimiliki oleh teknologi.
Salah satu point paling menarik dari film ini adalah bagaimana script yang ditulis oleh Jeff Orlowski bersama dengan Davis Coombe dan Vickie Curtis mampu secara perlahan mengembangkan isu awal yang terkesan simple itu menjadi sebuah alarm yang mungkin akan “membangunkan” penontonnya setelah film selesai. Ada kata scrutiny di bagian awal film, setelah itu hadir kata kesehatan mental yang kemudian dikaitkan dengan penggunaan sosial media. Jeff Orlowski berhasil membumbui isu utama dengan menciptakan koneksi antara isu tersebut dengan berbagai isu lainnya yang mayoritas sudah dikenal oleh penontonnya. Contohnya: hoax atau fake news. “Can you get the coronavirus by eating Chinese food?” itu salah satu berita yang muncul di layar, kemudian ada isu tentang flat earth yang dulu sempat booming.
Hal-hal semacam itu digunakan oleh Jeff Orlowski untuk menuntun penonton masuk ke dalam sudut pandang yang coba ia gambarkan melalui berbagai interview dengan pakar dan ahli di bidang teknologi dan bidang lainnya. Isu lain ia munculkan lewat sebuah pertanyaan sederhana yang tajam, yaitu apakah social media yang adalah sebuah “tools” itu justru mengikis tatanan sosial tentang cara kerja hidup bermasyarakat itu sendiri? Dari Google, Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, hingga TikTok semua seolah memiliki semacam mantra sihir yang dapat membuat penggunanya terus melekat menatap layar gadget mereka. Is this normal? Kalau tidak lalu siapa yang salah dengan kondisi yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari perkembangan manusia itu sendiri, yaitu terciptanya sebuah “level” baru.
Itu menjadi kunci menarik bagi dua sisi yang tersimpan di dalam narasi di mana Jeff Orlowski menampilkan berbagai isu yang menggiring penonton menuju sudut pandang terhadap perkembangan teknologi. Teknologi semakin memudahkan umat manusia dalam banyak hal positif, tapi di sisi lain ada hal negatif yang juga lahir dari sana dan salah satu yang coba disorot di sini adalah capitalism profiting di dalam model bisnis yang diterapkan. Isu ini yang menjadi point paling menonjol dari ‘The Social Dilemma’ yaitu upaya Jeff Orlowski menunjukkan kepada penonton terkait berbagai macam bahaya di balik penggunaan media sosial. Semua dikemas secara menarik dan menyenangkan untuk diikuti, dari yang paling simple yaitu terkait action scroll di layar hingga yang lebih rumit seperti permainan data.
Ya, permainan data. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa pengguna media sosial telah menjadi produk di dalam sebuah permainan yang telah dibentuk oleh para kreator di bidang teknologi, sebuah permainan berisikan manipulasi yang tidak hanya terbatas pada data saja namun juga terhadap emosi dan psikologi penggunanya. Cara yang digunakan Jeff Orlowski sederhana, ia menunjukkan bagaimana bahkan kreator aplikasi juga tidak mampu untuk mengendalikan dirinya agar tidak “terperangkap” di dalam aktifitas berselancar di media sosial. Ya, social media is a drug, ia dapat menjadi candu yang sangat berbahaya, mempermudah manusia untuk menjalin koneksi tapi jika tidak terkendali dapat menghasilkan dampak merusak yang sangat berbahaya terutama bagi kaum muda yang belum stabil emosinya.
Melihat di Youtube ada teman yang sedang berlibur ke Bali sedangkan dia sedang berpanas-panasan mencari uang lalu muncul rasa iri, begitupula ketika melihat selebgram sedang perawatan kecantikan lalu kembali merasa iri disertai depresi. Hal-hal semacam ini yang juga coba di tackle di sini dan merupakan bagian yang mampu menjadi penyeimbang bagi cerita dengan menggunakan pertanyaan di awal tadi, apakah salah sosial media? Ya, memang semua tergantung pada kemampuan setiap individu untuk mengendalikan dan “menata” diri mereka masing-masing, terutama emosi, tapi bukan berarti membuat posisi sosial media tidak punya peran dalam terciptanya iklim tidak sehat di dalam kehidupan bersosial manusia sekarang ini.
Di sini letak kesuksesan lain Jeff Orlowski di ‘The Social Dilemma’ yakni bagaimana lampu sorot yang awalnya begitu terang diarahkan kepada berbagai pemain di industri teknologi justru ia redupkan sedikit secara perlahan. Hasilnya membuat berbagai macam eksplorasi yang ia berikan tadi pada akhirnya tidak terasa seperti sebuah propaganda penuh teori konspirasi yang menyasar para pemain besar di industri teknologi terutama pada platforms sosial media yang mampu bring out the worst in society. ‘The Social Dilemma’ justru terasa seperti sebuah kampanye yang mengingatkan manusia serta mendorong terciptanya kontrol dan regulasi yang lebih kuat terhadap cara sistem teknologi bekerja agar tidak tercipta overpowering human nature, existential threat, and checkmate on humanity.
Overall, ‘The Social Dilemma’ adalah film yang memuaskan. Di tangan Jeff Orlowski film ini berhasil menjadi sebuah docudrama yang informatif meskipun apakah ini manipulatif atau tidak itu tetap tergantung pada sudut pandang setiap penontonnya. Dibantu dengan selipan peragaan dramatisasi yang oke ‘The Social Dilemma’ merupakan sebuah alarm yang manis bagi penonton terhadap hal-hal yang eksis di sisi lain koin yang selama ini hanya terbatas pada kenikmatan bersosialisasi di media sosial semata. Apakah saya kemudian cemas setelah menonton film ini? Tidak, namun untuk lebih berhati-hati tentu saja iya. Bayangkan ini baru sosial media, bagaimana jika suatu saat nanti mesin dan robot akhirnya sudah bisa menggantikan manusia? Manusia akan melawan cucu Iron Man di civil war jilid selanjutnya? Segmented.
The intention could be: "How do we make the world better?"
ReplyDelete