“Anyway, we’re zombies. We’re dead, we’re
dying. But we’re alive. So we decided to form a kick-ass band.”
Premis film ini sangat unik dan sangat
menarik. Bagaimana jika empat orang anak kecil bertemu untuk pertama kalinya
ketika mereka menghadiri acara pemakaman orang tua mereka masing-masing, lalu
setelah itu mereka mulai berteman dan memutuskan untuk membentuk sebuah band.
Dari titik itu kemudian hadir begitu banyak opsi yang dapat dieksplorasi.
Apakah band sebagai jalan untuk mereka bertahan hidup? Apakah band dan music
merupakan cara yang mereka gunakan untuk lepas dari kesedihan? Atau apakah
membentuk band merupakan upaya pencarian “jiwa” yang selama ini absen dalam
hidup mereka? Karena mereka zombie? We Are Little Zombies (Wî â Ritoru
Zonbîzu): an antic and jolly-crazy dark comedy. We are zombies but alive.
Nasib malang menimpa anak laki-laki bernama
Hikari (Keita Ninomiya), ketika sikap dingin dan cuek yang ia tunjukkan ketika
kedua orangtua pamit untuk pergi ke sebuah perjalanan wisata ternyata merupakan
momen terakhir di mana Hikari dapat melihat orangtuanya dalam kondisi hidup.
Kedua orangtua Hikari menjadi korban dalam sebuah kecelakaan bus yang sedang
melakukan perjalanan wisata bernama “All-You-Can-Eat Strawberries”. Menariknya
Hikari tidak menunjukkan ekspresi sedih yang sangat mendalam, ia tampak dingin
dalam sikap diamnya itu.
Pada acara pemakaman orangtua Hikari ia
kemudian bertemu dengan tiga orang anak kecil lainnya. Ishi (Satoshi Mizuno)
kehilangan kedua orangtuanya yang menjadi korban kebakaran, Yuki (Mondo
Okumura) ditinggalkan oleh orangtuanya yang bunuh diri, sedangkan orangtua
Ikuko (Sena Nakajima) tewas dibunuh. Mengalami nasib yang sama membuat empat
anak kecil itu seolah mereka saling memiliki satu sama lain, tidak heran
persahabatan di antara mereka tumbuh dengan cepat hingga suatu ketika mereka
memutuskan untuk membentuk sebuah band yang mereka namai Little Zombies.
Dibuka dengan satu kalimat mengejutkan
yaitu, “Today, mommy turned to dust”, di bagian awal perkenalannya dengan
penonton sosok seorang Hikari tidak langsung mencuri perhatian dalam kuantitas
yang sangat besar dan kuat, namun kesan unik yang ia miliki sudah dapat
dirasakan oleh penonton. Makoto Nagahisa menggunakan Hikari sebagai sosok
central bagi cerita, karena memang pada dasarnya Hikari memiliki apa yang ingin
Makoto Nagahisa sampaikan di sini. Tampak dingin dan lebih sering diam, Hikari
sepintas memang tampak seperti seorang anak kecil yang pemalu namun jika
diamati atau ditelisik sedikit lebih jauh kita dapat mengerti mengapa Hikari
bersikap seperti itu. Anak laki-laki yang gemar bermain video-game itu tidak
punya range emosi yang luas.
Hikari tampak terdampar di satu sudut di
mana yang dapat ia rasakan adalah hanyalah sensasi ketika ia sedang bermain
game, di luar hal tersebut ia memiliki kesulitan ketika berurusan dengan emosi.
Sepintas memang tampak sederhana namun di sana justru letak pesan atau isu
terbesar yang coba disampaikan oleh Makoto Nagahisa, yaitu perjuangan empat
sosok yang masih sangat muda itu untuk menemukan “emosi” mereka. Bahkan sejak
awal ia telah menempatkan Hikari dan tiga sahabat barunya itu ke dalam situasi
yang sangat sulit untuk anak kecil seperti mereka, yaitu kehilangan sosok
orangtua. Namun jalan yang ditempuh terasa keren, Hikari, Ishi, Yuki, dan Ikuko
menolak untuk menjadi lemah.
Ada satu kalimat menarik di film ini yang
sangat membekas, yaitu “babies cry to signal that they need help. Since no one
can help me, there's no point in crying.” Itu sangat mewakili sikap yang
dipilih oleh Little Zombies, sedikit kesan masa bodoh dengan kondisi yang
mereka alami dan justru lebih memilih untuk berusaha membuat kehidupan mereka,
terutama jiwa mereka, menjadi lebih baik. Mereka bahkan menyebut diri mereka
sebagai sekelompok zombie, empat sosok yang tidak dapat menangis lalu
memutuskan untuk mencoba “menerobos” masuk ke dalam dunia dan mencoba menikmati
isi di dalam dunia tersebut tanpa “emosi”. Itu isu yang tidak ringan dan seolah
sadar akan hal itu Makoto Nagahisa seimbangkan dengan membentuk presentasi yang
tidak berat.
Mencampur berbagai materi dari drama,
komedi, music, hingga sedikit unsur fantasi, Makoto Nagahisa membuat Little
Zombies sebagai representasi masa remaja dan masa puber, momen di mana koneksi
dengan orangtua menjadi renggang dan teman menjadi sosok yang lebih menarik.
Tapi di sisi lain rasa kesepian itu selalu ada apalagi rasa bingung terhadap
diri sendiri. Little Zombies semakin lengkap, karena mereka juga tidak punya
emosi, mereka merasa mati di antara makhluk hidup, dan di sanalah perjuangan
mereka bermula. Di sini karakter mulai belajar menerima situasi tragis yang
mereka alami, sebuah observasi dari anak-anak kecil yang berusaha untuk sembuh
dan menyelamatkan diri mereka dari “kerusakan” lebih besar yang sedang
mengintai mereka.
Tapi seperti yang saya sebutkan tadi,
berbagai isu yang terasa berat itu hadir dalam bentuk yang sangat ringan.
Bahkan saking “ringannya” mungkin akan membuatmu merasakan pusing di beberapa
bagian. Teknik bercerita yang digunakan oleh Makoto Nagahisa adalah segmented,
tidak biasa atau konvensional, terasa sedikit ekstrim dengan kesan aneh dan
unik yang sangat kental. Plot terasa hiperaktif lalu bergerak dengan pace yang
terasa sangat energik, dialog yang cerdik tidak jarang terasa absurd dan tampil
bersama dengan humor-humor kering yang sangat efektif. Selain itu Makoto
Nagahisa juga bercerita layaknya sebuah jurnal dengan sentuhan video-game yang
kental, berbagai montages dan animasi stop-motion sedikit mendorong style over
substance untuk membuat Little Zombies bergerak cepat dan juga berisik.
Eksekusi Makoto Nagahisa terasa antic and
manic, petualangan Little Zombies itu bahkan memiliki stage atau level layaknya
sebuah permainan video-game. Tapi yang saya suka dibalik presentasi yang terasa
surreal itu Makoto Nagahisa tetap mampu membuat semuanya terasa stabil dan
tidak kelewat rusuh, terkesan flashy dan noisy tapi di pusat cerita narasi
terus bergerak positif dan menebar berbagai isu menarik. Dan ya, tidak ada
kesan “terputus” di antara semua bagian cerita, kombinasi visi seperti Sion
Sono dan Takashi Miike ini punya koherensi yang manis di dalam narasi. Tidak
heran sehingga pada akhirnya para aktor dapat mengekspresikan pesona dari
karakter yang mereka mainkan dengan leluasa, mereka seperti berada di dalam
arena sebuah permainan.
Keita Ninomiya, Satoshi Mizuno, Mondo
Okumura, dan Sena Nakajima bermain dengan leluasa di arena permainan itu, dan
kinerja akting mereka tepat sasaran. Arena permainan itu juga dibentuk oleh
Makoto Nagahisa dengan bantuan elemen teknis yang tidak boleh dilupakan
kontribusinya. Cinematography arahan Hiroaki Takeda tentu saja yang paling
mencuri perhatian di antara mereka, terasa imersif, sangat energik dan terkesan
unik dengan framing yang seolah “menampar” penonton untuk terpukau dengan kesan
aneh yang ia jual. Permainan palet warna juga terasa memorable, dan begitupula
dengan music. Proses terbentuknya sebuah band merupakan jalan yang digunakan
Makoto Nagahisa dan ia berhasil membuat penonton merasa puas dengan penggunaan
berbagai tunes yang terasa sangat catchy.
Overall, We Are Little Zombies (Wî â Ritoru
Zonbîzu) adalah film yang sangat memuaskan. Berkisah tentang sekelompok anak
kecil yang menolak untuk kalah lalu mencoba menantang diri mereka sendiri untuk
menaklukkan dunia, We Are Little Zombies berhasil menjadi sebuah kisah yang
sangat memorable tentang jiwa-jiwa yang terisolasi dan tidak dapat merasakan
kebahagiaan, para manusia muda yang merasa bahwa diri mereka adalah para
zombie, mereka hidup tapi merasa mati, dan mereka berjuang untuk mengalahkan
kondisi tersebut. Eksplosif, antic, manic, dan tentu saja jolly-crazy, ini
adalah sebuah debut yang sangat memukau dari seorang Makoto Nagahisa.
Segmented.
“We went from being poor zombies to glamorous rock stars.”
ReplyDelete