“You are a human condom. You'll never give
me a son. A real son.”
Cara setiap orang dalam mengejar mimpi dan
ambisi yang mereka miliki pasti akan berbeda-beda, ada yang dengan sabar
menunggu karena mereka percaya semua telah disiapkan oleh Sang Pencipta, namun
tentu juga ada manusia-manusia yang justru memilih untuk “mendorong” dirinya
agar mereka dapat lebih cepat meraih mimpi dan ambisi tersebut. Dan untuk yang
terakhir tadi tidak jarang kerap menghadirkan masalah lainnya jika tidak mampu
ditata dan dikendalikan dengan baik. Karakter utama kita di film ini, Ema,
punya mimpi dan ambisi, untuk meraihnya ia melakukan opsi yang kedua, ia
“dorong” semuanya dan menghasilkan situasi gila. ‘Ema’ : when sex and emotion biting each other.
Wanita muda bernama Ema (Mariana Di Girolamo) merupakan seorang penari di dalam sebuah
sanggar, ia giat berlatih mempersiapkan penampilan yang di berada di bawah
asuhan Sutradara bernama Gaston (Gael
García Bernal). Ema dan Gaston dulunya adalah sepasang suami istri, namun
kini mereka telah bercerai. Tapi ternyata perceraian tersebut menyisakan
masalah yang masih terus menggelayuti pikiran dan emosi Ema.
Gaston dan Ema tidak berhasil memperoleh
anak dari pernikahan mereka dahulu sehingga mereka memutuskan untuk mengadopsi
seorang anak laki-laki. Tapi karena mereka bercerai maka anak tersebut terpaksa
“dikembalikan” oleh Gaston dan Ema ke panti asuhan. Ema merasa bersalah atas
keputusan tersebut dan ia mencoba untuk mencari solusi lain bagi mantan anak
mereka tersebut, terlebih dengan fakta bahwa anak tersebut memiliki gangguan
kontrol impuls, pyromania.
Jika saya harus memilih satu kata untuk
menjabarkan film ‘Ema’ maka kata
tersebut adalah hypnotic. Ya walaupun
sebenarnya kata itu bukan merupakan sesuatu yang baru dari sebuah film karya Pablo Larraín, contohnya film ‘Jackie’ di mana ia sukses membentuk
kisah tragis yang dialami oleh Jackie
Kennedy menjadi sebuah sajian biografi yang tidak biasa dan terasa sangat
sangat unik. Pablo Larraín (No, The Club, Neruda, Jackie) kembali
sukses menghadirkan hal serupa di sini, perjuangan seorang wanita yang punya
mimpi dan ambisi itu ia gunakan untuk menghadirkan sebuah pertarungan antara
nafsu dan emosi yang sukses menghipnotis penontonnya. Sejak awal hingga akhir.
Cerita yang ditulis oleh Guillermo Calderón dan Alejandro Moreno itu tidak mencoba
menciptakan sebuah kerumitan yang terasa gelap dan berat. Karakter utama kita,
yaitu Ema, merupakan sosok yang sedang dihantui perasaan galau dan rasa
bersalah yang sangat besar, satu dari perasaan bersalah atas keputusan yang
dirinya dan suaminya untuk “membuang”
kembali anak yang dahulu mereka adopsi, sedangkan di sisi lain Ema juga harus
bertarung dengan nafsunya, hal yang perlahan mulai menggiringnya ke arah destruktif.
Ada emosi yang bermain dengan baik di dua bagian tersebut, dan saya suka dengan
cara yang digunakan oleh duet Screenwriter
dalam menciptakan dasar bagi arena bermain untuk Ema beserta “kekacauan” yang ada di dalam dirinya.
Dan arena tersebut Pablo Larraín gunakan untuk menunjukkan perjuangan yang
dilakukan oleh Ema, tentu saja dengan signature
miliknya. Kisah yang dilalui oleh Ema bisa saja dibentuk bergerak dalam
grafik yang lurus dan berjalan dari negatif menuju positif, tapi di sini grafik
yang digunakan justru bergerak naik-turun serta secara konstan berpindah antara
negatif dan positif. Wanita berambut pirang itu dibentuk oleh Pablo Larraín untuk menjadi representasi
bagaimana ketika nafsu dan emosi bertemu lalu kemudian saling sikut. Dan
mungkin saling “menyakiti”. Di dalam pikirannya Ema punya sebuah rasa
penyesalan sikapnya kepada anak kecil bernama Polo (Cristián Suárez), tapi di sisi lain ia layaknya seekor hyena dengan tatapan tajam yang seolah
selalu ingin “memangsa” orang-orang di sekitarnya.
Menariknya sikap yang aneh dan unik dari
seorang Ema tersebut membuat dirinya memiliki pesona yang terasa kuat. Penonton
dengan cepat ia raih dan ikat atensinya untuk mengikuti perjuangannya itu,
mengamati kegelisahan yang harus ia kalahkan sembari juga merasakan luapan
emosi yang ia lakukan lewat berbagai cara. Anarkis, mayoritas dari luapan emosi
Ema terasa anarkis, namun di sisi lain kita punya menari sebagai penyeimbang
yang manis. Dan hal terakhir itu digunakan oleh Pablo Larraín sebagai media berekspresi bagi seorang Ema yang mampu
membuat dirinya terasa “hidup” di dalam cerita. Reggaeton dance yang ia dan teman-temannya lakukan itu mungkin akan
terasa aneh, tapi di balik gerak sederhana mereka justru berhasil menghipnotis
penontonnya.
Dan
di sana trik yang diterapkan oleh Pablo
Larraín bekerja. Fokus cerita dikunci pada gejolak di dalam diri Ema yang
sepintas mungkin akan terkesan stagnan, tidak ada progress penuh gesekan menarik. Tapi jika diamati lebih jauh
perpindahan antara negatif dan positif dalam grafik naik-turun yang terasa hypnotic tersebut justru merupakan
sebuah proses dari rencana yang dibangun oleh Ema. Tidak heran jika pada
akhirnya kejutan besar di bagian akhir cerita itu terasa seperti ledakan yang super besar, seolah menjadi pembuktian
dari seorang Ema yang ia tunjukkan dengan cara yang simple tapi menghasilkan punch yang luar biasa kuat. Aneh memang
dan terasa sedikit gila, namun saya rasa begitulah cara hidup bekerja sekarang,
pushing a bit harder untuk
mendapatkan kebahagiaan.
Ketika
momen di bagian akhir itu muncul untuk mengejutkan penontonnya, saya merasakan
sesuatu yang ganjil ketika melihat senyuman Ema itu. Ekspresi wajahnya serta
tatapan mata yang ia tunjukkan seperti berkata “gotcha” ke arah penonton, dan itu tidak salah karena saya juga
sudah terdiam ketika lima karakter yang seolah “terpaksa” memiliki koneksi satu
sama lain itu bertemu. Dan dari momen tersebut saya berulang kali berkata dalam
hati “Pablo Larraín, kamu gila”
karena memang ia telah berhasil “menghipnotis” saya dengan cara yang unik dan
menyenangkan. Tidak hanya tatanan visual yang
mumpuni dengan cinematography yang
cantik dan juga editing dan score yang manis, tapi juga karena
keberhasilannya menyembunyikan substance
yang terasa kuat di balik presentasi yang stylish
itu.
Sepanjang
film Pablo Larraín tidak mau
mengendorkan porsi yang ia siapkan agar kisah Ema ini terasa stylish, dari tarian hingga momen hening
ia bentuk agar mereka menciptakan kombinasi yang mampu menjaga cerita terus
bergerak dinamis, dan tentu saja tetap menghipnotis penonton. Reggaeton dance adalah pengejawantahan
dari cerita, sederhana dan terkesan terstruktur tapi punya kesan dan pesona
liar yang menyenangkan, berputar di gerakan yang sama tapi merupakan sebuah
proses membangun emosi yang perlahan mencapai puncaknya. Begitu cara cerdik
yang digunakan oleh Pablo Larraín,
dan ia juga beruntung memiliki Mariana Di
Girólamo yang sukses membuat Ema sebagai unlikeable character yang terasa charming.
Overall, ‘Ema’
adalah film yang sangat memuaskan. Karakter utama yang kuat dan menarik
merupakan hal wajib dari film Pablo
Larraín, dan Ema menjadi anggota baru di dalam kelompok tersebut. Dan
sisanya adalah Pablo Larraín
menampilkan pendekatan unik yang menjadi ciri khas miliknya, kali ini
menggunakan pertarungan antara nafsu dan emosi di dalam diri seorang wanita
muda dengan menggunakan musik serta dance
sebagai jalan utama. Sejak awal telah berhasil menghipnotis penontonnya lalu
kemudian bergerak liar dan dinamis, ‘Ema’ merupakan salah satu hiburan paling memorable yang saya tonton di tahun ini.
Dan ya, ini menjalankan tugasnya menjadi film Pablo Larraín: unique, memorable, and segmented.
“I'm not interested in sex. I'm interested in emotion.” :)
ReplyDelete