“Jadi
orang itu yang solutif gitu, lho.”
Rilis
di kanal Youtube Ravacana Films tepat
pada hari perayaan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2020
yang lalu, film pendek ini dengan cepat viral
dan sukses besar mencuri perhatian warga internet. Premis yang diusung
sebenarnya sederhana, yaitu tentang kelompok perkumpulan ibu-ibu yang sedang
menuju Rumah Sakit untuk menjenguk Ibu Lurah, namun kemudian muncul “kericuhan”
menarik di dalam perjalanan tersebut, menyentil berbagai isu dengan cara yang
sederhana namun unik. ‘Tilik (Ladies on Top)’ :
“menelisik” dengan cara yang menggelitik.
Yu Ning (Brilliana Desy)
berada di posisi yang terkucilkan ketika ia berada di dalam bak sebuah truk
yang sedang berjalan menuju Rumah Sakit. Truk yang dikemudikan oleh pria
bernama Gotrek (Gotrek) itu
mengangkut Yu Ning bersama dengan beberapa ibu-ibu lainnya dalam rangka untuk
menjenguk Ibu Lurah yang sedang sakit dan dirawat. Yu Ning yang awalnya diam
mulai merasa gerah ketika perbincangan di dalam truk itu kemudian mulai
dikendalikan oleh Bu Tejo (Siti Fauziah).
Bu Tejo mencoba “menilik” dengan cara yang tidak biasa sosok bernama Dian (Lully Syahkisrani).
Wanita
yang mengatakan sang suami berencana akan mencalonkan diri sebagai lurah itu
mencoba menggiring opini Bu Tri (Angeline
Rizky), Yu Sam (Dyah Mulani), dan
wanita lain di dalam truk terhadap kehidupan Dian. Bu Tejo mengatakan bahwa
dari pengamatannya Dian yang merupakan anak perempuannya Ibu Lurah adalah
seorang wanita muda dengan perilaku yang “tidak bagus”, ia bahkan mengatakan
bahwa sosok Dian telah menjadi sumber keresahan di lingkungan tempat mereka
tinggal.
Di
tangan Sutradara Wahyu Agung Prasetyo
cerita yang ditulis oleh Bagus Sumartono
itu berhasil dibentuk menjadi sebuah presentasi sederhana yang sangat
menghibur. Tidak heran jika pada akhirnya ‘Tilik’
sukses mencuri perhatian dalam skala yang cukup besar sejak ia rilis karena
memang isu dan konsep yang disajikan sendiri merupakan sesuatu yang terasa
sangat umum di kehidupan bermasyarakat saat ini. Setting cerita yang sendiri mengambil latar Kota Yogyakarta merupakan strategi yang terasa kuat dan pintar, setting arena bermain di dalam sebuah
truk berhasil menciptakan ruang sempit yang mengakomodasi kegelisahan untuk
tidak melebar terlalu jauh, lalu suntikkan berbagai isu yang dekat dengan
masyarakat Indonesia.
Isu
itu adalah aksi nyinyir. Sebenarnya ada beberapa isu lain yang berhasil di tackle pula dengan cara yang manis oleh Wahyu Agung Prasetyo dan Bagus Sumartono tapi tentu saja aksi
nyinyir Bu Tejo merupakan spotlight
paling besar, dan paling menarik, dari ‘Tilik’.
Sosok Bu Tejo tidak hanya sekedar dengan cepat langsung mencuri atensi penonton
saja, tapi di sisi lain juga membuat kita merasa dekat dengan dirinya. Ya, itu
adalah ironi yang tidak dapat dipungkiri yakni bagaimana kini semakin mudah
untuk menemukan sosok-sosok seperti Bu Tejo ini di dalam circle setiap orang, mereka yang gemar membicarakan orang lain dan
mengatakan bahwa itu merupakan opini walaupun disampaikan hanya sekedar dengan
berlandaskan asumsi.
Wahyu Agung Prasetyo
dan Bagus Sumartono memberikan cukup
banyak ruang bagi Bu Tejo untuk beraksi, dari ia mulai menyentil sosok Dian
hingga secara perlahan memberi jalan bagi Bu Tejo untuk menggali semakin jauh
opininya tersebut. Menariknya adalah Bu Tejo mengatakan bahwa apa yang ia
lakukan itu sebagai upaya untuk mengingatkan Ibu-Ibu lainnya agar berhati-hati
dengan sosok Dian, walaupun ia tidak tahu pasti apakah opninnya tersebut benar
atau tidak. Yes, another irony. Lewat
Bu Tejo tersebut di sini Wahyu Agung Prasetyo dan Bagus Sumartono mencoba melempar isu
tentang bahaya yang dapat timbul dari aksi-aksi yang menurut saya “liar”
seperti itu, aksi di mana isi otak manusia menjadi liar dan tertarik untuk
bermain dengan imajinasi mereka masing-masing.
Di
sana peran penting Yu Ning, sosok
yang di sini masih mampu mengendalikan koneksi antara pikiran dan ucapannya.
Ada aksi “jual-beli” yang menarik lahir dari sana dan jujur saja di beberapa
bagian saya merasa ikut hanyut bersama opini hasil “imajinasi” liar yang keluar
dari mulut Bu Tejo, tapi di sisi lain
juga merasakan pertentangan pada opini Bu
Tejo juga. Hal tersebut tidak lepas dari keberhasilan Wahyu Agung Prasetyo menata urutan cerita agar terus terasa menarik
secara bertahap, cara ia membangun excitement
terasa oke terlebih dengan kemampuannya dalam membuat gerak cerita tetap terasa
dinamis untuk terus “mempermainkan” penonton dengan nilai-nilai moral yang terselip manis di dalam
cerita.
Dalam
durasi 30 menit kita dibawa untuk menjadi bagian dari isi truk tersebut, kamera
seolah mencoba menempatkan kita untuk dekat dengan para Ibu-Ibu dan ikut ambil
bagian di dalam perbincangan yang menarik itu. ‘Tilik’ juga terasa kuat karena di samping isu yang ia coba sajikan
memang umum tapi punya bobot yang oke Wahyu
Agung Prasetyo dan Bagus Sumartono
tetap memberikan pendamping berupa elemen komedi yang membuat cerita jadi
menarik. Tidak melulu lewat dialog, banyak dari mereka justru hadir dari
gerak-gerik tiap karakter, dari tatapan mata hingga ekspresi wajah. Dan di sana
peran para pemeran, terutama Brilliana
Desy dengan wajah gerahnya itu dan tentu saja Siti Fauziah yang sukses membuat Bu Tejo sebagai ulekan cabe yang menghibur.
Overall, ‘Tilik (Ladies on Top)’’
adalah sebuah film pendek yang memuaskan. ‘Tilik’
punya cerita dengan bobot yang oke, perpaduan drama dan komedi terasa oke,
dibentuk secara padat sehingga terasa efektif, serta disokong dengan akting
yang oke dari para pemeran. Ditutup dengan sebuah kejutan yang akan sukses
memecah opini dari para penontonnya, ‘Tilik’
berhasil menghadirkan sebuah aksi memeriksa, menilik, dan menelisik terhadap
beberapa isu yang sekarang begitu mudah kita temukan di kehidupan
bermasyarakat. Mulai sekarang siapapun teman atau sosok asing yang doyan
nyinyir menggunakan opini yang hanya berlandaskan asumsi, saya akan panggil
mereka dengan sebutan Bu Tejo dan suami Bu Tejo. Unik.
“Si Dian itu pakai susuk, enggak?” :)
ReplyDelete