Episode 14 - Episode 16
Lanjutan dari kejutan yang dihadirkan oleh Park Haeng-ja di tiga episode terakhir ini tidak memenuhi ekspektasi saya, namun langkah yang diambil oleh Screenwriter Jo Yong untuk tidak mau mencoba membuat konflik dari masa lalu itu menjadi semakin rumit adalah keputusan yang sangat tepat. Saya sendiri berharap Haeng-ja akan memberikan tekanan atau intimidasi yang jauh lebih besar terhadap Ko Moon-young, terlebih jika mengingat kembali bahwa dirinya dengan sengaja menyusun sebuah misi yang unik dan keji untuk mencoba “menyakiti” suami dan anaknya tersebut. Tapi cerita sendiri pada dasarnya adalah tentang psikologis dari masing-masing karakter dan ledakan yang ia berikan itu sudah lebih dari cukup sebagai akhir dari kisah Haeng-ja.
Pesona Park Haeng-ja melejit sangat cepat ketika rencana busuknya itu mulai dapat terendus oleh penonton, apalagi ia diperankan dengan sangat baik oleh Jang Young-nam yang sukses menyuntikkan nyawa seorang psycho yang terasa subtle namun mengintimidasi dengan sikap keji. Ending bagi Haeng-ja juga dapat diterima mengingat sedari awal posisinya adalah sebagai carrier bagi kejutan yang dinantikan sejak awal, tentu dengan sedikit twist hasil dari berbagai red herring sederhana yang silih berganti hadir. Memang cara konflik satu ini diselesaikan terasa tidak terlalu menggigit namun itu adalah bagian dari strategi Park Shin-woo dan Jo Yong untuk memberikan ruang bagi konflik-konflik serta isu lainnya untuk tampil dan menyelesaikan tugas mereka.
Salah satu hasilnya tentu saja ada pada ledakan emosi yang ditunjukkan oleh Moon Sang-tae ketika akhirnya ia berhasil meraih mimpi untuk menjadi seorang illustrator. Ada rasa puas yang sangat besar menyaksikan momen tersebut, momen di mana Kim Soo-hyun akhirnya berhasil memberikan Moon Gang-tae emosi yang menarik serta manis, hal yang terus saya tunggu kemunculannya sedari awal. Setiap karakter memiliki permasalahan di dalam jiwa mereka namun apa yang harus dihadapi oleh Sang-tae adalah yang paling menarik di antara mereka. Ia seorang kakak yang akhirnya sadar posisinya sebagai kakak, ia belajar untuk tidak lagi menjadi sosok egois, ia juga berhasil menaklukkan rasa takut yang ia dapat dari trauma di masa lalu. Semuanya tampil memikat di tangan seorang Oh Jung-se.
Hal tersebut yang membuat ‘It's Okay to Not Be Okay’ memiliki power untuk terasa jauh lebih memorable karena dibalik “kekacauan” yang dihadapi oleh karakter di dalam cerita pada dasarnya ini adalah kisah tentang bagaimana manusia merupakan sosok yang saling membutuhkan satu sama lain. Ia mungkin tampak tenang namun seperti yang dikatakan Jo Jae-Soo bahwa sikap Moon Gang-tae tersebut karena ia terlalu keras menyiksa dirinya untuk tampak teguh dan tegar. Dan jawaban untuk isu tersebut adalah Ko Moon-young. Sedangkan nama terakhir yang diperankan dengan sangat baik oleh Seo Ye‑ji juga punya masalah yang tidak kalah menarik, wanita dingin yang punya trauma di masa kecilnya dulu dan kini tumbuh menjadi sosok ekstrim yang dari luar akan tampak seperti zombie yang tidak punya hati. Dan jawaban untuk isu tersebut adalah Moon Gang-tae.
Ya, pada akhirnya ‘It's Okay to Not Be Okay’ memang merupakan sebuah proses “menyembuhkan” antar manusia, hal yang sebenarnya juga terjadi di karakter pendukung seperti antara Nam Joo-ri dan Lee Sang-in. Ini adalah sebuah perjalanan yang dibalik berbagai aksi ekstrim justru merupakan sebuah terapi psikologis yang sedang dijalani oleh masing-masing karakter. Dan menariknya semua konflik di dalam cerita tersebut berawal dari sebuah pola yang sederhana, yaitu sikap yang mau menerima atau oke terhadap kondisi diri yang tidak oke. Terlepas dari profesinya Moon Gang-tae salah jika memaksa diri untuk selalu tampak baik-baik saja, sedangkan Ko Moon-young juga salah bersikap selalu menolak untuk “berbagi” lalu memilih menyimpan rasa sakit yang selama ini menggelayuti pikiran dan emosinya untuk dirinya sendiri.
Mereka bersembunyi di balik topeng yang justru menyiksa diri mereka sendiri, memaksa mereka untuk tidak menunjukkan perasaan dan emosi yang benar-benar mereka rasakan karena pertimbangan ini dan itu. ‘It's Okay to Not Be Okay’ adalah proses di mana karakter-karakter berusaha melepas topeng yang mereka gunakan tersebut, menunjukkan diri mereka yang sebenarnya dengan cara sederhana yaitu mengakui dan menunjukkan bahwa diri mereka terluka dan merasakan sakit. Ya, menerima kekurangan dan hal tersebut pada praktiknya terkadang memang tidak semudah yang kita bayangkan, manusia penuh ambisi, manusia penuh dengan ego untuk terus “bersinar” terang, sikap yang justru sebenarnya membuka pintu masuk bagi berbagai masalah ke dalam hidup kita.
Ya, segala sesuatu yang berlebihan terkadang justru tidak baik, justru membuat hidup manusia menjadi tidak sehat. Di sini ‘It's Okay to Not Be Okay’ mencoba menampilkan isu tersebut lewat karakter-karakter yang mencoba berusaha belajar untuk mengambil alih kembali kendali atau kontrol terhadap diri mereka sendiri, lalu berusaha untuk kembali menjadi “sehat”. Itu point yang ingin ditampilkan oleh Park Shin-woo dan Jo Yong, dan mungkin adalah alasan mengapa permasalahan dari masa lalu karakter diselesaikan dengan cepat dan mudah, yaitu “if you can't erase it, you just need to cover it with something better.” Tiga karakter utama tidak mau terjebak lagi di masa lalu mereka lalu memilih untuk membuka lembaran baru yang dapat menutup kisah kelam yang masih terpatri di memori mereka itu.
Semua hal positif tadi ditampilkan dengan cara yang understated oleh Sutradara Park Shin-woo dan Screenwriter Jo Yong, mereka mampu menjaga daya tarik karakter untuk terus stabil sembari cerita berpindah dari satu arena ke arena yang lain. Disokong dengan kinerja akting yang oke serta elemen teknis yang mumpuni salah satunya cinematography dan visual effect, serta dibalut dengan soundtrack yang sederhana namun sangat kuat itu mereka berhasil menjadikan ini petualangan yang menyenangkan, sebuah petualangan berkisah tentang tiga sosok manusia dewasa yang mencoba untuk melepaskan “topeng” yang selama ini menyiksa mereka lewat sebuah proses saling menyembuhkan satu dengan yang lain. Well done.
"The law of the total number of misfortunes. I heard we all have a set amount of happiness and misfortune assigned to us. If their lives have been filled with misfortune up till now, it means only happiness awaits them. I really hope that's the case." :)
ReplyDelete