“After
falling in love with you, the world seems so beautiful to me!”
Fantasi
seolah telah menjadi salah satu bagian penting dari produk animasi Jepang,
mereka selalu punya cara untuk mengemas ide-ide liar yang secara logika tampak
tidak “masuk akal” menjadi sebuah presentasi yang tidak hanya menghibur
penonton lewat sajian visual saja namun juga disertai dengan sentuhan manis
berupa emosi di dalam cerita. Film animasi ini mencoba mengolah kembali pola
tersebut dengan menggunakan premis yang menarik, kisah cinta antara manusia dan
kucing. Ya, hewan jenis kucing. ‘A
Whisker Away (Nakitai Watashi wa Neko wo Kaburu)’ : an outrageously simple
"drawing" for a very promising idea.
Miyo Sasaki (Mirai Shida)
merupakan seorang siswi sekolah menengah atas yang sangat periang dan energik,
ia selalu memancarkan semangat yang luar biasa setiap pagi ketika tiba di
sekolah. Sikap Miyo tersebut adalah akibat seorang remaja pria bernama Kento Hinode (Natsuki Hanae), sosok
pintar yang sangat Miyo sukai. Miyo rela melakukan apa saja demi mencoba meraih
perhatian Hinode, ia bahkan tidak takut untuk melakukan aksi berbahaya agar dapat
semakin dekat dengan pujaan hatinya tersebut.
Tidak
heran akibat sikap dan perilakunya itu pada akhirnya Miyo dijuluki Muge (Miss Ultra Gaga and Enigmatic)
oleh teman-temannya, sebuah julukan yang pada akhirnya terasa sangat wajar setelah
mengetahui bahwa Miyo juga memiliki “senjata lain” agar dapat mencapai target
utamanya untuk menjadi pacar Hinode. Cara yang digunakan oleh Miyo ada pada
wujud seekor kucing bernama Taro,
nama yang diberikan oleh Hinode karena setiap hari selepas pulang sekolah
kucing tersebut selalu datang menghampiri Hinode di rumahnya.
Mendaur
ulang pola dan formula yang telah lekat pada film-film animasi Jepang dengan
premis mengandung unsur fantasi, penulis cerita Mari Okada berhasil membuat berbagai kejutan yang oke di dalam
cerita. Kisah tentang perjuangan Miyo tersebut dapat dikatakan memiliki kualitas yang cukup oke dalam hal daya tarik, di bagian awal ia meraih perhatian
penonton dengan sikapnya yang agresif, kemudian kita dibawa bergeser dengan
kejutan yang hadir melalui Taro. Setelah itu di bawah kendali duet Sutradara Junichi Sato dan Tomotaka Shibayama kemudian muncul kejutan berikutnya yang hadir
dengan luasan fantasi yang jauh lebih besar, yaitu dunia para kucing.
Tiga
babak tersebut memiliki isi yang cukup oke terutama ketika kita berbicara
tentang isu dan pesan yang coba disajikan, dari hal tentang asmara yang klise
dan sepele, hubungan dengan keluarga, bahkan hingga isu terkait pendidikan.
Memang tidak semua dari mereka digali secara merata, beberapa tampil dengan porsi
yang dapat dikatakan secukupnya saja namun dalam konteks pencapaian mereka
berakhir tepat sasaran. Yang mendapat porsi paling besar tentu saja isu tentang
perjuangan cinta di antara dua karakter utama, sebuah perjuangan yang mampu
menggunakan rintangan sulit yang
“memisahkan” dua karakter utama untuk mengikat atensi penonton, karena memang perjuangan Miyo berhasil menjadi tantangan yang menarik.
Menarik
dalam konteks untuk dinantikan bagaimana semua permasalahan penuh dengan
lika-liku yang sebenarnya sederhana itu kemudian akan diselesaikan. Dan
sayangnya hanya itu yang mampu membuat bertahan hingga akhir cerita, rasa
penasaran pada konklusi. Di luar itu perjuangan Miyo adalah sebuah petualangan
yang magiclessness, pencapaian yang
terasa sangat disayangkan jika menilik ide dan premis cerita yang ia miliki
serta bagaimana setting fantasi
tersebut dibentuk. Tidak hambar memang tapi cukup banyak momen yang seharusnya
terasa magical ketika menjalankan tugas untuk hadir membawa kejutan justru terasa terlalu
biasa, terlalu normal.
Dari
segi visual sendiri ‘A Whisker Away’ terasa oke, diproduksi
oleh Studio Colorido tidak ada yang
terasa “salah” dari tatanan visual terlebih
dengan komposisi warna di setiap scene
yang terus menerus digunakan untuk menyokong emosi yang terkandung di
dalamnya, terasa manis. Yang disayangkan adalah kinerja visual tersebut tidak ditemani dengan sentuhan magic terhadap emosi di dalam cerita terutama pada arti dan esensi perjuangan
Miyo secara kumulatif. Miyo dan Taro seharunya menjadi sebuah tim dan peran
yang dimiliki oleh Taro seharusnya menjadi semacam “jembatan” penghubung di
dalam cerita, namun justru eksistensinya membuat cerita jadi terasa disjointed.
Alhasil
alur cerita kerap terasa kurang dinamis terutama pada kesan penting yang terkandung
di dalam perjuangan seorang Miyo. Hal tersebut tadi penting mengingat di babak
akhir cerita mencoba membawa penonton menyaksikan dua karakter utama berjuang
menyelamatkan kisah cinta mereka. Dipenuhi dengan berbagai kondisi genting
babak tersebut kurang berhasil menampilkan excitement
yang luar biasa, terasa terlalu normal dan menghasilkan dampak domino terhadap konklusi di bagian akhir
yang datang dan kemudian berlalu dengan cepat, membuat kesan yang tercipta dari perjuangan meraih cinta tersebut tadi
terasa terlalu disederhanakan.
Ya,
hal ini memang segmented dan semua
tergantung pada ekspektasi awal yang telah ditetapkan oleh masing-masing
penonton, namun dengan ide yang sangat menarik serta premis yang terasa
menjanjikan sayang sekali proses dan konklusi yang disajikan terasa terlalu
biasa. A Whisker Away memang tepat
sasaran namun saya sebenarnya mengharapkan hadir penggambaran fantasi dengan
emosi yang jauh lebih punchy di dalam
cerita, hal yang sayangnya hadir dalam kuantitas yang sekedar “secukupnya” terutama menjelang garis akhir. Bahkan di bagian tengah cerita muncul rasa bingung
mengapa daya tarik karakter Miyo yang terasa energik dan menarik di awal itu
perlahan menunjukkan grafik menurun hingga akhir?
Overall, ‘A Whisker Away’
adalah film yang kurang memuaskan. Memiliki visual
yang terasa manis dan menyenangkan untuk disaksikan tidak cukup membantu
menutupi kekurangan yang dimiliki ‘A
Whisker Away’ di sektor materi dan eksekusi pada cerita. Klise dan cringe bukan masalah utama melainkan
bagaimana ide dan premis yang sangat menarik itu dibangun menjadi sebuah
presentasi terlalu sederhana dan minim emosi, almost shallow. Film ini berhasil mencapai sasaran dengan baik namun seharusnya
dapat jauh lebih baik lagi jika hadir dengan ide dan premis yang jauh lebih “matang”
serta eksekusi terhadap cerita yang, tidak setengah hati? A magicless animation. Segmented.
“I want to go back to being a human.”
ReplyDelete