“Cigarette, whiskey, and you.”
Apakah kini kamu hidup dengan kebahagiaan yang kamu inginkan? Karakter utama film ini
merupakan seorang wanita yang sangat mencintai whisky dan rokok, dua benda yang mungkin adalah arti bahagia
baginya. Suatu ketika harga dua barang favoritnya tersebut naik dan membuatnya
harus mengatur kembali manajemen keuangannya. Tapi ketika orang-orang “normal” mungkin akan memilih untuk
merelakan slot dana “kebahagian” mereka, wanita itu justru memaksa slot dana
untuk menyewa tempat tinggal menghilang dari daftar “a must” yang ia punya. Kenapa dia sangat mencintai whisky dan
rokok? ‘Microhabitat (So-gong-nyeo)’ : a
beautiful examination of life and being alive.
Miso (Esom)
merupakan seorang housekeeper yang
bekerja membersihkan rumah, dari dapur hingga jendela, berada di kelas ekonomi
bawah dirinya sangat bergantung pada bayaran yang ia peroleh untuk dapat
bertahan hidup, dia bahkan tidak bisa berhubungan seks dengan pacarnya Han-sol (Ahn Jae-hong) karena tempat
tinggal yang ia sewa tidak memiliki air
heater. Han-sol sendiri sama seperti Miso, ia pria yang sedang mencoba
meniti karirnya dan mereka berdua sepakat untuk hidup sederhana. Tapi bagi Miso
tidak untuk dua hal yang sangat ia cintai, whisky
dan rokok.
Suatu
ketika harga barang di Korea Selatan mengalami kenaikan, termasuk whisky dan juga rokok. Dengan gajinya
yang tidak mengalami kenaikan Miso justru mengambil keputusan yang unik, ia
memilih mempertahankan slot dana untuk kebutuhan whisky dan rokok yang ia cintai itu dan memilih untuk merelakan
uang tabungan yang ia sisihkan untuk sewa tempat tinggal dan kesehatan. Alhasil
Miso tidak punya tempat tinggal dan ia memutuskan untuk mendatangi
teman-temannya mantan anggota band,
satu per satu.
Salah
satu hal paling menarik dari sebuah film yang melakukan “pemeriksaan” pada arti
hidup tidak hanya terletak pada seberapa mampu ia menghantarkan berbagai isu
klasik tentang hidup yang sebenarnya sederhana, tapi juga bagaimana cara
penyajian dan pendekatan yang ia gunakan. Di debut penyutradaraannya ini Jeon Go-woon menggunakan cara yang unik,
ia menaruh seorang wanita yang dapat dikategorikan “keras kepala” terhadap
prinsip yang ia punya tentang arti menjadi bahagia untuk berkelana bertahan
hidup bersama prinsip tadi yang sepintas terasa egois itu. Miso adalah wanita
yang kurang mampu secara ekonomi, lalu kenapa ia tidak hidup sesuai dengan kemampuannya?
Itu
pertanyaan yang paling menarik dari film ini, tentang arti menjalani hidup
secara bahagia yang pasti akan berbeda untuk setiap orang. Di sini Miso menolak
untuk merelakan kebahagiaannya, ia tidak mau untuk menjauh dari whiskey dan rokok karena dua benda
tersebut mampu membuatnya merasa sangat bahagia. Sadar akan resiko yang harus
ia hadapi kemudian Miso justru memilih “mencoba” untuk meraih belas kasih dari
orang-orang yang ia kenal. Action tersebut adalah pengejawantahan yang
digunakan oleh Jeon Go-woon untuk
menunjukkan posisi gengsi di dalam hidup Miso, ia tidak malu untuk “mengemis”
tempat tinggal kepada orang lain.
Mengemis
demi mempertahankan kebahagiaan yang ia cintai. Ini menarik, ada semacam
pertarungan antara gengsi dan ego di
dalam diri Miso karena bisa saja dia tetap mempertahankan tempat tinggalnya itu
namun dengan syarat merelakan atau mengurangi dana untuk membeli whiskey dan rokok. Pertarungan tersebut
merupakan jalan yang sangat bagus dari Jeon
Go-woon untuk kemudian membuat ‘Microhabitat’
semakin berwarna. Mencari tempat tinggal yang dilakukan Miso lantas
mempertemukan dirinya dan juga kita sebagai penonton dengan berbagai hal
menarik lainnya tentang hidup. Dan tentang arti dari sebuah kebahagiaan tadi
lewat isu yang dimiliki masing-masing teman band Miso.
Masing-masing
teman yang didatangi Miso ternyata memiliki permasalahan atau isu mereka
sendiri, yang jika ditarik ke dalam konteks yang paling umum tentu saja tentang
perasaan bahagia dalam menjalani hidup mereka kini. Hidup Miso tampak berat?
Ternyata ada yang lebih berat, dan mereka berada di dalam kategori tersebut
justru setelah mereka merelakan “kebahagiaan” mereka. Jeon Go-woon mengemas hal tersebut secara halus dan cenderung
implisit tapi terasa sangat tajam, ia tidak menampilkan mereka secara in-your-face tapi secara tersirat
menunjukkan eksistensinya kepada penonton dan membuat mereka bertanya, apakah
sekarang saya hidup dengan kebahagiaan yang saya inginkan?
Hal
tersebut yang membuat action dari Miso tampak sangat “keren” karena ia
memilih untuk menikmati hal-hal yang ia yakini akan membuatnya merasa bahagia
dalam menjalani hidupnya. Yang penting bagi dirinya adalah kebahagiaan dirinya
sendiri, bukan untuk membuat bahagia pikiran dan juga mata orang lain. Yang
dilakukan oleh Miso memang sesuatu yang sangat sulit untuk dipraktekkan di
dalam kehidupan nyata sehari-hari, contohnya ada pada karakter Han-sol, ia
mengambil keputusan untuk merelakan “kebahagiaan” yang kini ia rasakan agar
dapat hidup bahagia beberapa tahun kemudian, hal yang telah menjadi warna
paling mencolok di dalam present society,
berkorban untuk kebahagiaan di masa depan.
Hal-hal
menarik tadi hadir di dalam narasi yang terus bergerak natural dengan pendekatan yang simple,
tanpa dramatisasi yang terasa eksploitatif. Jeon
Go-woon berhasil membuat tone cerita
tetap seimbang, elemen drama sebagai
fokus utama namun ditemani dengan berbagai humor
satire yang terasa lucu, kualitas emosi dari cerita dan karakter juga
dikontrol dengan baik hingga akhir sehingga penonton dapat ikut menaruh simpati
dan mungkin berempati pada situasi yang dialami tiap karakter. Pencapaian
tersebut juga dibantu tatanan visual
bergaya arthouse yang manis, editing yang smooth, serta kinerja akting para pemerannya yang mumpuni, terutama
Esom yang membuat Miso menjadi sosok
dengan pesona eksentrik yang menarik, juga menjadi mata bagi penontonnya.
Overall, ‘Microhabitat (So-gong-nyeo)’
adalah film yang sangat memuaskan. Apakah pernah mendengar keluarga, teman,
atau orang asing yang berkata padamu bahwa jangan terlalu memusingkan masa
depan, nikmati hidupmu sekarang? Itu pelajaran yang coba dihadirkan oleh Jeon Go-woon di film ini, sebuah arti
menjadi bahagia lewat rokok dan whiskey
sebagai jalan namun bersama berbagai friksi yang cantik terkait present society. Terasa uplifting namun
juga menakutkan, ‘Microhabitat’
sukses mengingatkan penontonnya bahwa mereka bisa hidup tanpa rumah tapi tidak
bisa "hidup" tanpa perasaan bahagia. Tidak peduli seberapa besar
ambisi dan mimpi yang kamu punya, jangan pernah lupa untuk menjadi bahagia,
bukan nanti, tapi hari ini. Beautiful.
"Like a bird flying off a balcony."
ReplyDelete