“Should
we get married?”
Jatuh
cinta bukan perkara mudah, jadi bukan sesuatu yang aneh jika kemudian banyak
orang memilih berada di zona nyaman mereka dengan menjadi single ketimbang
“mencoba” untuk terlibat di dalam sebuah hubungan percintaan. Karena suatu
hubungan asmara memang pada dasarnya adalah usaha dari dua insan untuk
menyatukan atau menyamakan “frekuensi” yang mereka miliki terlepas dengan
berbagai perbedaan yang mungkin akan eksis di dalam hubungan tersebut. Hal yang
cukup basic dari cinta tersebut menjadi dasar film ini bercerita. ‘Tune in for Love (Yooyeolui Eumakaelbum)’ :
a simple romance with good frequencies.
Kim Mi-soo (Kim Go-eun)
kini hidup bersama wanita yang telah ia anggap sebagai saudara sendiri, Eun-Ja (Kim Guk-hee), bersama mereka
mengelola sebuah toko roti ‘Mi-soo
Bakery’. Ya, toko tersebut merupakan peninggalan dari mendiang Ibunya
Mi-soo dan di tahun 1994 menjadi titik awal pertemuan Mi-soo dengan seorang
pria muda bernama Cha Hyun-woo (Jung
Hae-in). Ketika sedang berkunjung ke toko roti tersebut Hyun-woo terpaku
oleh suara siaran radio dari sebuah program yang sedang memperkenalkan penyiar
baru mereka, yaitu Yoo Yeol.
Cha
Hyun-woo yang ternyata memiliki masa lalu kelam tersebut kemudian mencoba
menawarkan jasa kepada Eun-ja dan juga Mi-soo, yaitu dengan membantu di Mi-soo
Bakery. Namun ketika Hyun-woo perlahan menemukan irama kehidupan normal yang ia
dambakan tiba-tiba masa lalunya yang kelam itu kembali menghampiri dirinya. Hal
tersebut menjadi permulaan berbagai rintangan bagi Hyun-woo dan juga Mi-soo
untuk dapat berada di satu frekuensi yang sama, Ya, dua manusia muda itu
menyukai satu sama lain.
Pendekatan
yang digunakan Sutradara Jung Ji-woo (A Muse) terhadap cerita dapat dikatakan berhasil menyelamatkan premis dan
materi yang klasik itu, cara ia menuntun penonton untuk menyaksikan dua
karakter bertumbuh bersama dengan berbagai rintangan yang menarik terasa oke.
Semakin menarik terlebih ketika mengingat bahwa apa yang terjadi di film ini
mayoritas dihabiskan untuk berputar-putar di dalam gejolak batin yang dialami
oleh dua karakter utama. Dan bayangkan hal tersebut hadir di dalam durasi
panjang selama dua jam, itu sangat berpotensi untuk terasa melelahkan, repetitif,
bahkan jadi terasa monoton.
Tiga
hal tadi tidak hadir di sini. Kuncinya terletak pada cara Jung Ji-woo mengemas berbagai permasalahan yang menghalangi upaya
dua karakter utama untuk saling bersatu. Cerita yang ditulis oleh Lee Jin-Hyuk sudah mengakomodasi dengan
baik berbagai isu dan konflik klasik tentang sebuah percintaan dengan baik,
dari hal-hal yang cheesy dan cringeworthy hingga berbagai momen yang
didominasi dengan gejolak emosi. Bahan tersebut kemudian dibentuk dengan cerdik
oleh Jung Ji-woo. Ketimbang mencoba mengeksplotasi hubungan di antara Hyun-woo
dan Mi-soo dengan cara yang mencolok Ji-woo justru mengemas mereka lewat
runtutan masalah yang cenderung tenang dan lembut.
Sejak
awal penonton dapat melihat bahwa ada perasaan suka yang terjalin sangat kuat
di antara Hyun-woo dan Mi-soo, untung saja di sana kemudian
tidak ada tarik dan ulur yang terasa berlebihan. Jung Ji-woo tidak mencoba mempermainkan fakta tersebut, status
predictable yang dimiliki oleh cerita dan karakter yang familiar itu justru ia akali dengan cara membuat penonton terpaku
dan semakin terpikat pada pesona hubungan asmara di antara karakter utama. Mood cerita terasa manis, pergeseran timeline tidak membuat mood juga ikut berubah frontal namun
justru terasa kumulatif dalam hal pesona, semua berkat cara bertutur Jung
Ji-woo dalam merangkai cerita serta membentuk karakterisasi.
Harus
diakui bahwa Hyun-woo dan Mi-soo merupakan dua sosok dengan karakterisasi yang
tidak hanya terasa menarik namun juga kuat. Sejak awal koneksi yang terjalin di
antara mereka langsung meroket tinggi sehingga ketika rintangan itu tiba ada
semacam “thrill” manis yang juga
hadir. Ji-woo lebih mengedepankan proses di sini, membawa penonton mengamati
perkembangan kehidupan karakter lengkap dengan berbagai bumbu menarik seperti
hadirnya variable pembanding serta
masalah di masa lalu. Mereka berdua melalui berbagai proses yang dirangkai
dengan baik oleh Jung Ji-woo lewat
cara yang terbilang cukup konvensional, tidak mau membuatnya tampak glossy namun justru sederhana dan
cenderung bersahaja.
Tidak
heran ketika ia berakhir rasa yang tercipta juga terasa lembut, karena bagian
penutup yang hadir tersebut tidak mencoba untuk menjadi sebuah jawaban atas
pertanyaan. Yang ada justru ia menjadi sebuah garis finish dari upaya yang selama ini dilakukan oleh dua karakter utama
untuk saling tuning agar dapat berada
di satu frekuensi yang sama. Dan menariknya adalah dibalik tampilannya yang
lembut serta sederhana itu Jung Ji-woo
justru terbilang berhasil menghantarkan berbagai isu menarik yang dimiliki
sebuah hubungan percintaan, seperti ego, sikap memaafkan, sikap mengalah, serta
upaya untuk membuat satu sama lain menjadi sosok yang semakin baik.
Kesuksesan
tersebut juga tidak lepas dari kinerja akting yang ditampilkan para pemeran.
Karakterisasi yang oke berhasil digunakan dengan baik oleh para pemeran untuk
membuat karakter mereka bersinar, Kim
Guk-hee membuat Eun-ja terasa
memorable sedangkan Park Hae-joon (The World of the Married) mencuri perhatian di
setiap kesempatan yang dimiliki Jong-woo.
Sementara itu Kim Go-eun (Monster, Coin Locker Girl, Canola) dan Jung Hae-in
(Prison Playbook, Something in the Rain, A Piece of Your Mind) benar-benar
menunjukkan kualitas mereka di sini dalam membangun chemistry dari dua insan yang terjerat rasa cinta, saat sendiri
mereka kuat namun ketika bersama mereka terasa memikat.
Overall, ‘Tune in for Love’
adalah film yang memuaskan. Ini adalah sebuah kisah cinta yang klasik, baik
dari segi cerita maupun karakter penonton telah dapat menduga pada apa yang
akan hadir selanjutnya. Namun dibantu dengan karakterisasi serta cara bercerita
yang oke Sutradara Jung Ji-woo
sedikit menggeser fokus kepada proses yang harus dilalui oleh dua karakter
utama untuk diamati penonton yang telah ia “paku” sejak awal dengan pesona yang
manis dari dua karakter utama. Hasilnya kisah tentang upaya dua insan manusia
untuk dapat berada di frekuensi yang sama tersebut berhasil menjadi sebuah
sajian romance yang simple namun manis.
They fall in love, but can't quite seem to get the timing right. :)
ReplyDelete