“My
guitar class is a patriarchy.”
Ada
satu adegan di film ini ketika karakter utama memperoleh pertanyaan sederhana,
yaitu jika karakter utama diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya
sendiri apakah ia lebih memilih untuk menjalani kehidupannya kini yang tampak
kelam itu atau justru memutuskan tidak ingin dilahirkan saja. Pertanyaan
tersebut tadi diberikan oleh orangtua sang wanita yang kemudian memilih opsi
pertama, sebuah dasar dari perjuangan yang sedang ia lakukan kini, yaitu
berjuang mencari kebahagiaan. ‘Saint
Frances’ : a "good time" kind of dramedy about imperfect life.
Seperti
kebanyakan orang lainnya wanita bernama Bridget
(Kelly O'Sullivan) mencoba untuk berbincang dan membangun koneksi dengan orang
lain di sebuah pesta yang ia hadiri, namun celakanya yang ia peroleh justru
sebuah luka. Pria tersebut menceritakan kehidupannya yang ia rasa tidak berarti
kepada Bridget, berusia 34 tahun ia adalah seorang pengangguran yang bangkrut dan
kini merupakan seorang single yang sangat malu dan benci dengan dirinya
sendiri. Tanpa ia sadari kondisi tersebut tadi sangat mewakili kondisi
kehidupan lawan bicaranya, yaitu Bridget.
Kehidupan
Bridget tampak kelam hingga suatu ketika ia memutuskan untuk mengambil tawaran
menjadi seorang nanny bagi anak
perempuan bernama Frances (Ramona Edith
Williams). Tugas Bridget hanya mengawasi dan menemani Frances bermain
ketika ditinggal orangtuanya Annie (Lily
Mojekwu) pergi bekerja sedangkan Maya
(Charin Alvarez) sedang hamil tua. Menariknya pekerjaan yang berawal tidak
mudah serta bahkan sempat ia ragukan tersebut justru menjadi pintu masuk bagi
Bridget untuk menemukan kehidupan yang berisikan kebahagian, hal yang sedang ia
cari.
Ditulis
oleh Kelly O'Sullivan di sini
penonton diajak menyaksikan seorang wanita yang dengan kondisi kehidupan yang
tampak kurang menarik justru masuk dan terlibat di dalam kehidupan sebuah
keluarga yang sukses membawanya menemukan berbagai hal “menarik” bagi hidupnya.
Maya dan Annie adalah dua sosok yang memberi jalan bagi karakter utama kita
tadi, sedang Frances sendiri adalah seorang malaikat kecil yang secara implisit
justru mengemban tugas menuntun Bridget untuk perlahan menemukan apa yang ia
cari selama ini, yaitu sebuah kehidupan yang dapat ia jalani dengan rasa
percaya diri tinggi serta dapat membuatnya merasa bahagia dan berharga.
Secara
konsep cerita memiliki kesamaan dengan apa yang pernah ‘Frances Ha’ hadirkan, sebuah proses pencarian kebahagiaan dari
seorang wanita, yang membedakan mereka adalah di sini Bridget berhadapan dengan
beberapa isu yang jumlahnya lebih banyak. Namun banyak bukan berarti lebih
rumit, di debut penyutradaraannya ini Alex
Thompson tidak menaruh fokus pada usaha memberikan jawaban bagi pertanyaan
yang ada di dalam pikiran Bridget, yang hadir justru sebuah proses yang membuat
Bridget mengerti dengan apa artinya mencintai dan dicintai. Bukankah itu hal
mendasar dari sebuah kehidupan yang bahagia?
Yang
disorot di sini lebih condong ke arah nilai kehidupan yang bergejolak di dalam
batin Bridget, sosok yang baru saja melakukan aborsi. Bridget mengatakan bahwa
ia belum merasa siap untuk menjadi seorang Ibu, namun pekerjaannya kini justru
membuat Bridget belajar untuk menjadi seorang Ibu. Bahkan merasakan
“kenikmatan” dari menjadi orangtua yang harus terus mengarahkan matanya ke sang
buah hati yang masih berusia belia serta bersedia meladeni berbagai keinginan
anaknya. Tik-tok yang terjadi di antara karakter sendiri terasa natural tanpa
kehilangan kesan sentimental dari feminist
movement dan isu yang dibawa, mereka berkembang secara perlahan tapi
menariknya terasa genuine, terutama
antara Bridget dan Frances.
Tentu
ada alasan mengapa film ini berjudul ‘Saint
Frances’ karena meskipun ia merupakan anak kecil yang masih belum tahu
banyak tentang kehidupan namun Frances justru menjadi malaikat penyelamat di
sini. Sensitifitas yang dimiliki Frances memang terasa sedikit advance namun
tidak menghalangi pesona lembut yang natural untuk bersinar dari dirinya,
terlebih chemistry antara dia dan
Bridget juga terasa oke. Melalui dynamic
duo ini Sutradara Alex Thompson menampilkan berbagai pesan yang dibawa
cerita, mereka bekerja secara efektif, dan walaupun memang terasa predictable tetap mampu menciptakan
presentasi yang feel-good dan comforting.
Namun
kata terakhir tadi pula yang membuat ‘Saint
Frances’ terasa kurang mengigit di beberapa bagian kecil. Semua tampak
lembut sehingga punch yang dihasilkan
oleh berbagai penggambaran terhadap isu-isu di dalam cerita tidak semuanya
terasa kuat. Ambil perbandingan lain pada film ‘Tully’ yang berbicara tentang isu yang satu tipe, yaitu postpartum mental health, selain juga
terasa halus namun ia juga memiliki kesan bitter yang menarik. ‘Saint Frances’ terasa kurang dalam hal
ini, yang dilakukan Alex Thompson
lebih ke arah menunjukkan berbagai isu yang jumlahnya cukup banyak itu lalu
melakukan eksploitasi yang secukupnya namun tidak mencoba menggali terlalu jauh
di setiap bagian. Penonton mengerti tapi apakah kemudian akan terasa memorable?
Ya,
tapi tidak semua. Segmented memang
namun yang pasti memorable adalah
kerja sama yang terjalin di antara Kelly
O'Sullivan dan Ramona Edith Williams.
Meskipun overall terasa impresif script yang
ia tulis di beberapa bagian memang terasa kikuk namun sebagai pemeran Kelly O'Sullivan berhasil membuat
Bridget sebagai wanita muda dengan masalah yang menarik diamati. Dua pemeran
Ibu, Lily Mojekwu dan Charin Alvarez, menampilkan permasalahan
dari masing-masing karakter dengan baik, sedangkan berperan sebagai kunci
penting bagi cerita Ramona Edith Williams
terhitung sangat efektif dalam menampilkan seorang Frances yang pintar dan
bijak dengan jiwa anak-anak yang ia miliki.
Overall, ‘Saint Frances’
adalah film yang memuaskan. Memang di satu atau dua hal ia terasa kurang
mengigit namun apa yang ditampilkan Alex
Thompson di sini sukses membentuk berbagai isu seperti aborsi, depresi,
gender hingga arti bahagia itu menjadi sebuah eksplorasi yang menciptakan
koneksi manis antara karakter dan penonton. Banyak tawa, ada penggambaran
tentang moral, dan mungkin akan muncul air mata, ‘Saint Frances’ merupakan sebuah feel-good dan comforting
dramedy tentang tentang menjalani sebuah kehidupan yang tidak sempurna. Segmented.
"You try even when you're scared."
ReplyDelete