“I'll
remember the first time I wanted to kiss you.”
Dengan
adanya “Parasite” tahun lalu yang
kemudian berhasil merajai berbagai ajang penghargaan film hingga berakhir di
posisi tertinggi dengan menyabet predikat Best
Picture di Oscars, membuat film
ini harus puas untuk sekedar menjadi nominasi dan runner-up di berbagai kompetisi dalam kategori film berbahasa non-english. Berbicara kualitas ia
sebenarnya berada di kelas yang tidak jauh berbeda, sebuah penggambaran lembut
tentang hasrat dan juga cinta dengan menggunakan lukisan sebagai jalan. ‘Portrait of a Lady on Fire’ : a charming
autopsy of love, passion and desire.
Di
pulau Brittany kala itu Marianne dibayar untuk melukis seorang wanita bernama Héloïse (Adèle Haenel), sosok yang dalam
waktu dekat akan menikah dengan bangsawan dari Milan. Namun Marianne bukan
pelukis pertama yang diundang, sudah banyak yang gagal karena Héloïse sendiri
menolak untuk berpose agar dapat dilukis. Karena rintangan tersebut Marianne
mencoba mengggunakan cara lain, yaitu menemani keseharian Héloïse untuk
mengingat wajah dan tubuh wanita tersebut lalu memindahkannya ke dalam bentuk
sebuah lukisan.
Di
karya terbarunya ini Sutradara Céline
Sciamma (Water Lilies, Tomboy,
Girlhood) kembali mewarnai kanvas yang ia gunakan dengan berbagai warna
yang mencoba untuk membentuk komposisi dengan “kesan” sederhana. Kali ini ia
menaruh konflik tentang melukis wanita yang tidak mau dilukis sebagai konflik
utama namun di sisi lain ia juga mewarnai konflik tersebut dengan berbagai isu
menarik tentang hasrat dan juga cinta dalam tampilan yang sederhana. Ada di
satu momen film ini di mana yang dilakukan oleh karakter Marianne serta Héloïse hanyalah
melihat satu sama lain dan saling bertukar tatap, namun aksi observasi dari dua
sisi tersebut berhasil memancarkan aura cinta yang kuat.
Ya,
aura yang sensual menjadi andalan Céline
Sciamma di sini dan hal tersebut ia gunakan dengan sangat baik untuk
mengembangkan kesan manis yang dimiliki dari dasar sebuah rasa gairah atau
hasrat. Intelektual memiliki porsi yang dominan di sini, meskipun berurusan
dengan cinta dan hasrat namun tidak ada eksplorasi yang terasa berlebihan dan
murahan. Justru sejak awal hingga akhir kesan artsy terasa sangat kental di sini, Céline Sciamma bentuk secara tajam dan presisi sehingga berbagai
gambar yang ditangkap oleh kamera terus memupuk semangat tentang cinta dan juga
hasrat yang bersembunyi di belakang dan secara perlahan mulai tampil.
Dengan
setting cerita di abad ke-18 ‘Portrait of
a Lady on Fire’ bermain layaknya sebauh opera klasik, dengan staging yang
tenang dan tertata penonton bertemu dengan sebuah upaya "pemberontakan"
dari karakter utama yang dilakukan layaknya air yang sedang dipanaskan. Mereka
mendidih secara bertahap dan perlahan tapi kita tahu bahwa panas yang
terkandung di dalam air tersebut semakin tinggi pula, begitulah cara ‘Portrait of a Lady on Fire’ bermain,
ada semacam api erotic yang semakin
lama terasa semakin intens tapi tetap dalam tampilan yang sederhana dan lembut.
Terdapat hidden attraction yang
keindahannya muncul dan terasa secara perlahan di sini.
Dua
karakter utama mengalami gejolak di mana mereka mencoba menahan diri dari
hasrat yang mendadak hadir, namun usaha tersebut justru menciptakan semacam
frustasi yang membuat api kemudian bergelora semakin besar. Hal tersebut
menjadi nafas bagi cerita yang manis itu, kisah tentang di mana karakter berada
dalam kondisi terluka baik itu hati maupun pikirannya lalu kemudian menemukan
cahaya yang ia yakin dapat membuatnya kembali merasakan bahagia dan kebebasan
yang telah ia rindukan. Isu tentang emansipasi wanita juga terselip manis di
sini, sebuah penolakan ketika peran dan statusnya direduksi menjadi sebuah
objek tanpa kebebasan.
Ini
menarik karena Céline Sciamma sendiri
tidak menunjukkan isu-isu human rights
seperti kontrol terhadap tubuh, pilihan seksual, takdir serta isu tentang
aborsi tersebut ke dalam bentuk yang gamblang lalu diberikan tackle yang keras, justru mereka tampil
dalam bentuk perlawanan yang bersembunyi. Tapi jangan salah di tangan Céline Sciamma cara tersebut justru
membuat output jadi terasa genuinely "disturbing", itu
karena meskipun kisah yang berawal dari cinta pada pandangan pertama ini
dibentuk seperti sebuah observasi atau character
study yang sederhana dan tampak simple
tapi ia berjalan dengan energik dan terus membuat penoton merasa bahwa ada “bom
waktu” yang akan segera meledak di dalam cerita.
Dan
benar memang, dibantu dengan camerawork
yang membungkus kinerja cantiknya sepanjang cerita dengan sebuah shot ke arah wajah Héloïse serta musik yang
hanya muncul sesekali saja sejak awal, scene
penutup menghasilkan sebuah emotional
climaxes yang sangat menawan. Perubahan emosi di wajah Héloïse juga berhasil menjadi penutup yang cantik dari seorang Adèle Haenel atas kinerja aktingnya di
sini, menjadi subjek observasi sembari cerita terus digerakkan dengan manis
oleh Noémie Merlant (Curiosa). Noémie tidak menggunakan emosi dengan range yang terlalu besar di sini, tapi gerakan dan ekspresi kecil
yang ia tunjukkan sukses membuat emosi yang hadir dari Marianne terasa memikat.
Overall, ‘Portrait of a Lady on Fire
(Portrait de la jeune fille en feu)’ adalah film yang sangat
memuaskan. Céline Sciamma berhasil
menghadirkan sebuah proses lahirnya hasrat dan cinta yang manis, menggunakan human rights sebagai pondasi serta
menaruh konflik utama pada masalah lukisan ia berhasil membuat ‘Portrait of a Lady on Fire’ menjadi sebuah drama yang sederhana namun sukses menghujam
penonton dengan sangat kuat. Berisikan proses yang terus berkembang perlahan
untuk menjadi sebuah gejolak emosi yang rumit ‘Portrait of a Lady on Fire’ adalah sebuah aksi “pemberontakan”
yang sangat menarik, membedah secara indah isu-isu tentang love, passion, desire, and of course, pleasures. Segmented.
“When you're observing me, who do you think I'm observing?”
ReplyDelete