“I
want to be photographed in immoral positions.”
Apakah
kini perselingkuhan masih menjadi sesuatu yang sangat taboo? Sejak eksis perselingkuhan memang seolah sudah menjadi salah
satu penyakit paling mematikan di dalam sebuah hubungan percintaan, ia hadir
ketika salah satu dari pria maupun wanita, atau bahkan mungkin keduanya, mulai
merasakan munculnya hasrat nafsu untuk “merasakan” keindahan dan kenikmatan
cinta dari orang lain yang bukan merupakan pasangan mereka. Semakin modern
dunia semakin marak pula “penyakit” tersebut, dan dengan cara dan tampilan klasik
film ini menggunakan itu sebagai dasar bercerita. ‘Curiosa’ : an erotic ode about why love is gratification of the
senses.
Wanita
muda bernama Marie de Heredia (Noémie
Merlant) memiliki semacam ketertarikan birahi dengan Pierre Louÿs (Niels Schneider), ada hasrat nafsu yang akan
bergelora setiap kali dirinya berada di dekat pria yang tampak seperti
seseorang dengan jiwa yang bebas. Tidak heran memang, Pierre yang menyukai
fotografi itu memang gemar berpertualang namun ia juga merupakan erotomaniac yang di sisi lain membuat
dirinya tampak memiliki pesona pria dengan percaya diri tinggi. Tidak heran
mudah bagi Pierre untuk mendapatkan wanita, salah satunya adalah Marie.
Namun
sayang kisah cinta mereka tersebut bertemu dengan sebuah rintangan besar.
Karena tuntutan keluarga maka Marie kini menjalin hubungan asmara dengan pria
kaya yang merupakan seorang penyair bernama Henri
de Régnier (Benjamin Lavernhe), sedangkan Pierre dengan jiwa bebasnya terus
mengeksplorasi kegemarannya di bidang fotografi erotis, ia bahkan telah
memiliki seorang gundik bernama Zohra Ben
Brahim (Camélia Jordana). Namun suatu ketika masalah hadir kembali di kisah
cinta itu, Marie menginginkan foto dalam keadaan telanjang yang harus difoto
oleh Pierre.
Sulit
untuk memungkiri bahwa dari sinopsis di
atas yang kemudian ditambah dengan poster
yang ia gunakan maka ekspektasi yang tercipta di dalam pikiran penonton adalah
ini merupakan sebuah film erotis. Faktanya memang seperti itu, ‘Curiosa’ hadir dengan dipenuhi berbagai
adegan nude yang “frontal” dalam
menampilkan eksplorasi terhadap seni nude
photography. Namun menariknya adalah Sutradara Lou Jeunet terhitung cukup berhasil menampilkan sisi lain yang
sudah ia ciptakan bersama Raphaëlle
Desplechin di sektor cerita, semacam eksplorasi lainnya terhadap keindahan
yang dimiliki dari sebuah rasa cinta itu sendiri.
Setting
cerita ada di abad ke-19 lengkap dengan berbagai kesan elegan dan bangsawannya
itu, lalu kemudian muncul sebuah kisah perselingkuhan yang uniknya juga cukup
mampu untuk tampil sama elegannya pula. Tidak berada di kelas atas memang namun
berbagai isu yang coba disajikan oleh Lou
Jeunet berhasil mencapai target dengan cukup baik di sini. Isu utamanya
sendiri yaitu perselingkuhan hadir dengan eksplorasi yang lebih mencoba
menempatkan gejolak batin serta emosi yang terjadi di antara karakter, rasa
bimbang yang mereka rasakan atas perasaan nikmat tersebut dan lantas memaksa
mereka bergerak ke posisi harus mengambil keputusan.
Kualitas
emosi dari cerita sendiri cukup oke, Lou
Jeunet lebih menggunakan pendekatan yang cenderung subtle dan implisit di sini, dari tatapan mata hingga ekspresi
tubuh penonton terus dibawa hanyut dalam gelora cinta di antara dua karakter
utama. Ada grafik perkembangan positif yang kumulatif di sana, secara perlahan
terus bergerak dengan baik untuk mencapai titik akhir yang juga terasa cukup
oke. Lou Jeunet sendiri terbantu target awal yang tampaknya tidak terlalu besar
sehingga cerita tidak terasa terbebani untuk “mengeksplotasi” secara mendalam
keingintahuan tentang cinta di antara para karakter, lebih ke arah menunjukkan
secara tepat guna.
Hal
tersebut tadi membuat ‘Curiosa’ punya
potensi untuk memecah penonton karena kisah yang juga mencoba bercerita tentang
emansipasi ini memang bermain-main di antara serius dan santai secara
bergantian. Tapi untungnya sebagai karakter utama Marie adalah sosok wanita
yang menarik, ia terperangkap dalam keingintahuan dan fantasi sensualnya yang
oke tapi di sisi lain ia juga punya semacam semangat kebebasan yang perlahan
tumbuh. Itu adalah charm terbesar
Marie, ia menggunakan nude photography
itu sebagai jalan untuk mencoba mencari jawaban dan menggebrak rasa takut yang
selama ini ia rasakan, sebuah pemberontakan untuk mencari kebebasan serta
menemukan jati diri.
‘Curiosa’
juga merupakan sebuah ode bagi sisi
gila yang dimiliki oleh cinta itu sendiri, sebuah rasa hasil kepuasan indera
yang dapat dihinggapi oleh rasa keterasingan serta berbagai manipulasi. Lou Jeunet memberikan sedikit nada dramatic untuk menunjang hal-hal
tersebut, berawal dari energi dan juga fantasi di mana kemudian bertemu dengan
kenaifan yang dihasilkan oleh rasa cinta hingga akhirnya berhadapan dengan
kesesatan yang terasa manipulatif. Lagi dan lagi hal-hal seperti konsep cinta
dan sentiment di dalam cinta itu
tampil subtle dan tidak frontal, berbanding terbalik dengan
berbagai visualisasi nafsu dan emosi dalam bentuk nudity dan adegan seks yang “panas” itu.
Kamera
berhasil menangkap ekspresi wajah dan tubuh karakter untuk menjadi sebuah
penggambaran semangat dan jiwa muda yang mereka punya, dan uniknya meskipun
eksplisit namun tidak ada dari mereka yang terasa cheap. Justru mereka terasa
artsy, sama seperti bagaimana para pemeran menampilkan emosi dari karakter
yang mereka perankan. Benjamin Lavernhe
berhasil menjalankan tugasnya sebagai cuckold
yang berjiwa besar, sedangkan Niels
Schneider membuat Pierre punya pesona necis yang menarik. Bintang utamanya
adalah Noémie Merlant, di tangannya
Marie konstan menjadi semacam api liar yang perlahan tumbuh besar dan jelas
dalam pertarungan dengan nafsu dan keingintahuan di dalam dirinya itu.
Overall, ‘Curiosa’
adalah film yang cukup memuaskan. Ini adalah sebuah kejutan yang menarik,
memang pada akhirnya tidak berada di kelas atas namun sama seperti judulnya ‘Curiosa’ berhasil menjadi sebuah
penggambaran yang oke terhadap keingintahuan yang dihasilkan oleh rasa cinta,
memiliki berbagai isu menarik bahkan terkait emansipasi semua dihadirkan oleh Lou Jeunet layaknya sebuah puisi yang
sensual dan erotis. Not bad. Segmented.
"Her body was expressive like a face."
ReplyDelete