“He
knows our private rhythms.”
Bukan
berarti dunia semakin banyak berisikan kesesatan, namun seiring semakin
berkembangnya pemikiran manusia kini semakin mudah menemukan berita di mana
muncul berbagai kultus yang mencoba eksis, dari yang mengedepankan politik
hingga kepercayaan religious. Hal
tersebut menjadi salah satu materi empuk untuk dieksplorasi bagi para filmmaker, menggunakan berbagai keunikan
atau bahkan keanehan yang menjadi ciri khas kultus untuk menyajikan dramatisasi
yang kerap mencoba memprovokasi atau hanya sekedar menciptakan opini penuh ambiguitas.
‘The Other Lamb’ : what happen when Midsommar fall asleep.
Wanita
muda bernama Selah (Raffey Cassidy) secara
garis besar sama seperti wanita lainnya pada sebuah komunitas yang dipimpin
oleh seorang pria yang mereka panggil sebagai Shepherd (Michiel Huisman). Tinggal di dalam hutan dengan segala
macam keterbatasan akses interaksi sosial dan juga komunikasi dengan dunia
luar, Shepherd merupakan segalanya bagi Selah dan para wanita lain di komunitas
tersebut, ia yang mengajarkan mereka dengan hal-hal yang selama ini tidak
mereka ketahui, ia yang menjadi pelindung mereka, ia pula yang menjadi kekasih
mereka.
Suatu
ketika masalah menimpa komunitas tersebut yang memaksa Shepherd untuk mengambil
keputusan, yaitu mereka harus pindah untuk menemukan rumah atau tempat tinggal
baru yang mereka sebut Eden. Selah
memiliki sedikit perbedaan dengan wanita lainnya, meskipun mengikuti ajaran
dari Shepherd namun di sisi lain wanita muda yang keras kepala itu telah merasakan ada hal ganjil pada diri Shepherd. Perjalanan yang harus mereka lakukan tersebut
kemudian membawa Selah ke babak baru pada rasa ragunya tersebut, apa yang
sebenarnya terjadi di dalam komunitas yang hanya memiliki satu orang pria
tersebut?
Menyebut
dirinya sebagai sebuah horror pada dasarnya
merupakan sebuah trik yang digunakan oleh ‘The
Other Lamb’ untuk membentuk image yang
ia miliki, karena di sisi lain pada dasarnya ini merupakan sebuah drama dengan
rasa art house yang dapat dibilang
cukup kuat dan kental. Screenplay
yang ditulis oleh C.S. McMullen
memiliki struktur dengan eksposisi yang bermain layaknya sebuah film art house, begitupula dengan cara
Sutradara Małgorzata Szumowska
membentuk materi tersebut. ‘The Other Lamb’
terus menebar ambiguitas yang terasa “melayang” dengan berbagai tanda tanya di
dalam cerita, cara ia berjalan juga tampak tenang seolah tidak mau terlalu terburu-buru
untuk melangkah maju.
Tipe
bercerita seperti itu bukan sesuatu yang buruk sebenarnya namun di sisi lain
harus pula didampingi dengan pertanyaan dan misteri yang memiliki kualitas dan
pesona mumpuni dan konsisten sepanjang film. Małgorzata
Szumowska berhasil menciptakan itu di bagian awal, menyaksikan sekumpulan
wanita dari usia dewasa hingga anak-anak berada di sebuah hutan memuja dengan
sangat seorang pria tentu menciptakan sebuah pertanyaan besar. Rasa penasaran
penonton berhasil dibawa naik secara perlahan melalui karakter Selah, dari
awalnya hanya melalui tatapan mata penonton seolah dituntun untuk ikut
merasakan bahwa ada sesuatu yang “salah” di dalam komunitas tersebut.
Dari
sana setiap momen yang kemudian muncul harus diakui masih terasa menarik, kita
dibuat mengamati sembari menantikan pengungkapan apa yang akan muncul. Hal
tersebut juga dibarengi dengan kondisi di mana berbagai isu lain juga satu per
satu muncul, dari hubungan antara pria dan wanita misalnya, bersama dengan
Selah penonton dapat merasakan situasi “terperangkap” yang dialami karakter
utama kita itu. Terisolasi dari kehidupan luar matanya mulai terbuka, namun
sayangnya dengan kecepatan yang terasa lambat. Hingga pada satu titik di mana
proses mencoba mengamati isi kepala Selah itu jadi terasa repetitif dan
monoton, penonton yang dibuat menunggu perlahan akhirnya akan merasakan situasi
stuck.
Penyebabnya
adalah meskipun memiliki karakter utama yang menarik namun di sekeliling
karakter utama itu tidak ada materi, konflik, atau isu yang memiliki daya tarik
dengan kontras yang kuat. Mereka eksis, tapi terasa redup, dan jumlah mereka
juga tidak banyak. Teknis presentasi yang digunakan Małgorzata
Szumowska mengandung banyak metaforis dan alegoris yang terasa
kurang kuat, contohnya seperti penindasan wanita yang eksis namun tidak punya power yang memikat. Szumowska justru
membentuk ambiguitas di bagian-bagian itu, shot panjang yang kemudian bergerak
mendekat ketika karakter sedang menatap pada satu titik, seolah-olah
menunjukkan ada sesuatu yang besar atau menarik tersimpan di sana.
Sayangnya
teknik tersebut kurang berhasil di sini. Bergerak dengan pace yang lamban koneksi yang terjalin antara ide dasar dengan
berbagai alegori dan metaforis tadi terasa kurang oke. Hal tersebut terasa
miris karena upaya untuk tampak misterius itu telah mengorbankan development yang seharusnya dapat terasa
lebih simple dan tajam, di sini
mereka justru terasa tumpul. Małgorzata Szumowska
ingin penonton mengerti dari proses mengamati bersama berbagai kiasan, dia
ciptakan atmosfir eerie yang oke
dengan tensi yang tidak terasa buruk, visual juga terasa cantik dengan
permainan warna yang terasa vivid, tapi
sayangnya yang Szumowska berikan hanya akses namun tidak dengan subjek dan
objek yang sangat menarik hingga akhir.
Pada
akhirnya pada momen ketika Selah menggendong domba itu tidak ada sebuah
“tamparan” yang terasa mantap. Cerita akan meninggalkan pintu yang terbuka
lebar bagi para penonton untuk bermain dengan interpretasi mereka
masing-masing, namun buat saya itu terasa kurang oke mengingat presentasi yang
ia tampilkan sendiri tidak mengandung konflik atau isu dengan pesona yang
menarik untuk ditelusuri lebih jauh lagi. Raffey
Cassidy (Tomorrowland, The Killing of a Sacred Deer) sudah berusaha dengan baik menjadikan karakter Selah sebagai wanita
dengan pergerakan motif yang terasa oke, namun sayangnya ia tidak dipersenjatai
dengan materi yang kuat untuk dapat “mengganggu” pikiran para penonton
setelahnya.
Overall, ‘The Other Lamb’
adalah film yang kurang memuaskan. Berhasil membawa penonton bertemu dengan
Selah dan kemudian membawa mereka masuk ke dalam “pikiran” wanita muda tersebut
bersama dengan permainan mood dan
atmosfir cerita yang oke, sayangnya ‘The
Other Lamb’ tidak punya kedalaman yang menarik di bagian cerita, memiliki
berbagai isu yang sebenarnya dapat menjadi provokasi yang menarik namun
sayangnya tidak memiliki pesona mengintimidasi yang kuat serta kemampuan untuk
“mengganggu” pikiran penonton, hal yang sangat penting dimiliki oleh film yang
mencoba tampil ambigu sejak awal agar penonton dapat bermain dengan
interpretasi mereka masing-masing kemudian. Segmented.
"I don't want your grace."
ReplyDeleteKeberatan bahasa nya ga enjoy baca malah kayak copas.
ReplyDeleteKocak. Thanks for visiting btw. :)
Delete